"Grey! Haloo ....!"
Aku baru tersadar ketika dia menjentikkan jarinya tepat di depan wajahku.
"Eh ...." Hanya itu yang keluar dari mulut ini , saat tersadar lelaki di hadapanku ini telah memergoki aku yang sedang melamun.
"Ngelamunin apa, sih?" tanya lelaki berwajah oriental itu, sambil melangkah ke samping kanan Novita. Kemudian mengambil posisi di belakang kursi wanita yang sedang hamil tua itu. Ia berdiri seraya melipat tangan di dada, sambil menyenderkan badannya ke tembok.
"Eh, kalian sudah saling kenal, ya?" Novita bertanya keheranan. Pandangan mata bulatnya bergantian ke padaku, lalu memandang ke lelaki itu.
"Iya," sahut Rastra dengan singkat. Ia melangkah maju, ke arah kursi calon Bosku. Eh sudah Bos, ya. Bukan calon lagi. Rastra meletakkan tangannya di kursi tepat di belakang bahu wanita berambut lurus itu. "Ini dia Grey, wanita yang aku ceritain pernah nolak aku waktu itu," sambung Rastra. Ya ... ampun, dia berujar sambil tersenyum manis menatapku. Hatiku mencelos.
Novita tak bersuara, hanya tatapan menyelidik dan senyuman aneh yang keluar dari bibir merahnya. Suasana hatiku mendadak jadi tak enak, melihat raut wajah di hadapanku ini. Apa dia cemburu?
Namanya Rastra Sewakottama. Dulu aku satu universitas dengannya. Dia Fakultas kedokteran, sedangkan aku farmasi. Kampus kami berdekatan.
Aku pernah menolak Rastra, karena dia dulu hanya kujadikan ajang taruhan bersama teman satu geng. Lelaki berwajah oriental ini, dulu pendiam dan juga kutu buku. Namun, tidak culun seperti di cerita sinetron. Dan juga tidak sekeren oppa-oppa korea. Biasa saja. Namun sekarang jauh berbeda.
Setelah kejadian penolakan itu, Aku justru jatuh hati padanya. Sifatnya yang tenang dan pendiam, membuatku penasaran. Sikapnya juga tidak berubah setelah tahu bahwa dia dijadikan ajang taruhan. Masih tetap ramah, bahkan ia tidak sedikitpun menunjukkan rasa kecewa apalagi marah. Ya ... Tuhan aku merasa bersalah sekali saat itu. Namun, aku tak berani mengutarakan isi hati ini padanya. Gengsi, dong. Setelah menolak, masa' aku yang nembak. Mau ditaruh di mana mukaku?
"Jadi Bu Novi itu istrimu?" Tak ada jawaban dari mereka berdua. Hanya saling pandang dan melempar senyum satu sama lain. Aku semakin kikuk, "Kalian mirip, pantas berjodoh," ujarku berusaha menetralisir kecanggungan. Namun, mereka berdua malah tergelak.
"Tentu saja mirip, dia adikku!" sahut Rastra di sela tawanya.
"Oalah ... jadi ini ya, wanita yang membuat kakakku patah hati, hingga belum menikah sampai sekarang," cerocos Novita diakhiri kekehan geli, yang lebih terdengar seperti sebuah ledekan di telingaku.
"Hush ... ngawur!" Rastra menoyor kepala sang adik dengan gemas.
"Aduh!" Novita meringis sambil memegang perutnya.
"Kenapa, Sayang?" Rastra panik.
Novita menyandarkan punggung, sambil mengelus-elus perut buncitnya, "Ini nih si dedek nendang!"
"Ayo pulang, kamu harus banyak istirahat. Mas, anter, ya?"
"Mbak Grey, besok tepat jam delapan pagi sudah ada di sini ya!" ujar Novita dengan tegas, sambil mengemasi laptopnya.
"Baik Mbak. Saya pamit dulu." Setelah bersalaman dengan Bu Bos, aku segera beranjak. Tak lupa memberi anggukan takzim pada Rastra. Bagaimanapun ia adalah atasanku juga di sini.
"Grey ...." Suara bariton Rastra menghentikan langkahku tepat di pintu kantor itu.
"Ya?" Aku membalikkan badan.
"Hati-hati, ya!" Ada hawa sejuk yang tiba-tiba menelusup, saat Rastra memandangku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan itu. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan, dengan senyum yang terkulum.
"Cie ... cie ... inget dia udah punya suami," goda Novita pada kakaknya.
"Ish ... apaan sih. Usil banget." Dari ekor mata ini aku dapat melihat, Rastra mendelik pada Novita.
*
Sepanjang perjalanan pulang, aku masih terngiang ucapan Novita. Apa benar Rastra patah hati hingga tidak mau menikah sampai saat ini? Jika iya, betapa bahagianya aku. Eh?Iya benar, di satu sisi aku merasa tersanjung. Siapa, sih, yang tidak suka dipuja dan dicintai? Apalagi sampai sebegitu dalamnya. Namun, di sisi lain aku merasa sangat bersalah. Semoga suatu saat kelak ia menemukan jodoh yang pantas untuknya.
Sesampainya di rumah, aku lihat Randu sedang duduk di kursi teras dengan wajah murung. Ada apa gerangan? Biarlah, aku tak peduli. Kaki ini terus melangkah ringan tanpa perlu menyapa atau sekadar basa-basi. Toh, tidak ada Mama juga. Jadi tak perlu membuang waktu untuk bicara dengannya.
"Aduh, Nduk dari mana saja kamu?" Mama menyambutku di balik pintu dengan wajah khawatir.
"Hanya keluar sebentar, ke rumah teman," jawabku sekenanya.
"Haduh Nduk gawat, ada masalah."
"Masalah? Masalah apaan sih, Ma?"
"Randu ...." Mama setengah berbisik lalu menarik tanganku dan mengajak duduk di sofa.
"Begini, Randu ...." Ucapan mama terhenti, melihat anaknya memasuki rumah dengan wajah lesu dan langkah gontai. Padahal, pria itu tidak memperhatikan kehadiranku, tentu pula dengan apa yang akan dibicarakan. Namun entah mengapa, seperti ada ketakutan yang teramat dalam pada wanita paruh baya itu, untuk menceritakannya padaku. Padahal aku 'kan istrinya.
"Sebenarnya kenapa, sih?" tanyaku, masih penasaran.
Mama tak menjawab, hanya mengedipkan mata sambil melirik ke arah Randu yang terus melangkah menuju ke arah belakang. Sebentar kemudian, terdengar suara kompor yang dinyalakan.
Mama melongok ke arah dapur, sepertinya ia sedang memastikan putra bungsunya itu, tidak akan mendengar pembicaraan kami. Setelah dirasa aman, dengan setengah berbisik ia berkata, "Nduk, kamu yang sabar, ya," ucap mertuaku dengan pandangan iba, sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku masih tidak mengerti, tapi aku tidak ingin menyela. Meskipun rasa penasaran ini begitu menggelegak sampai ke ubun-ubun.
"Maafkan Mama, jika selama ini tidak berkata jujur--"
Kata-kata Mama terhenti saat terdengar suara langkah kaki dari arah dapur. Tak lama berselang, Randu keluar dengan membawa segelas besar kopi hitam dengan sebatang rokok yang ia jepit di antara jari telunjuk dan jari tengah di tangan kanannya.
Lelakiku tampak kuyu. Rambut ikalnya berantakan, dari pandangan mata yang biasanya teduh itu, terlihat ada sesuatu yang ia pikirkan. Ia juga merokok. Setahuku batang tembakau ia cari, jika ia berada dalam situasi yang sulit. Apakah itu adalah masalah yang berat? Ah ... sudahlah . Dia membawa kopi itu ke kamar. Ya ampun aku tak suka kamarku bau asap rokok.
"Jangan merokok di kamar!" Aku tak bisa menahan diri untuk tidak menegurnya. Dia menghentikan langkah, lalu melirik tajam ke arah kami.
"Bukan urusanmu!" sahutnya ketus, lalu melangkah masuk ke kamar.
"Sudahlah, Nduk ... sudah! Randu sedang kalut," sergah wanita yang melahirkan suamiku itu. Aku menghela napas berat. Berusaha menetralkan segala rasa yang berkecamuk di hati.
"Sebenarnya ada apa sih Ma?" Aku sudah tidak sabar ingin tahu.
Mama memandangku dengan tatapan serius. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Tidak seperti tadi, saat ini hatiku merasa ada yang tidak beres.
"Begini, Randu itu--" baru saja hendak berujar, suamiku sudah berdiri di depan pintu kamar. Memandang kami dengan sinis.
"Tidak usah menceritakan apapun, pada wanita itu, Ma!" Lagi, dia bersikap dingin bahkan terkesan memusuhiku. "Mama tau, dia itu sumber masalahnya!"
Aku? Sumber masalah? Apa maksud Randu? Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang sesungguhnya terjadi selama aku pergi. Ya Tuhan aku bisa jadi gila.
Next.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Perawan (OPEN PO)
RomanceKekisruhan rumah tangga Randu dan Grey ini bermula pada saat malam pertama. Setelah mereguk kenikmatan dunia, justru Sang suami bermuram durja. Ia muntab, karena tahu sang istri tidak memiliki tanda kegadisan yang umum dimiliki oleh seorang perawan...