9

5.7K 143 17
                                        

Vote yess!!

Terasa ada angin sejuk yang menyapu lembut pipiku, bersama dengan aroma minyak kayu putih memenuhi rongga hidung. Saat tabir kegelapan tersingkap pada pandang netra ini, titik hitam bercampur keemasan sirna, meninggalkan pusing yang teramat nyeri.

"Grey ... alhamdulillah kamu udah siuman," ujar Rastra menutup botol minyak kayu putih.

Di mana ini? Ruang sempit, berukuran sekitar empat kali empat meter ini terlihat sangat bersih. Ada meja kerja  setengah biro dan kursi kerja di sana, tak jauh dari tempatku berbaring.

Sebuah stetoskop, kalender meja, pulpen dengan kertas kecil juga terdapat di atas meja. Lalu sebuah timbangan jarum juga ada di lantai samping kanan meja.
"Ini ruang praktekku," ujar Rastra. Mungkin ia mengerti kebingunganku.

Dokter muda itu mengambil tensimeter dan stetoskop. Ia segera memakaikan manset pada lengan kananku, dan menempelkan kepala stetoskopnya ke pergelangan tangan tepat pada nadi. Balon tensi ditekan, terasa aliran darahku mengalir pada satu arah berpusat pada manset, menimbulkan nyeri ringan seperti tersengat listrik.

"80/50. Tekanan darah rendah."

Lalu Rastra beralih mengambil alat pengecek gula darah. Pria berwajah oriental itu tampak serius.

Ia mendekat dan meraih jariku siap menembakkan alat semacam pulpen yang terpasang jarum.

"Nggak mau!" Aku menarik tanganku cepat.

"Sebentar, nggak bakalan sakit."

Dia memaksa, menggenggam jariku dan menembakkan jarum itu ke jari tengah. Sedikit perih. Sial! Dari kecil aku benci jarum. Ia mengoleskan darah yang terpercik pada sebuah strip, dan memasangnya pada alat itu.

"Tensi darah rendah, gula darah juga rendah. Sudah berapa hari enggak makan?" tanyanya menginterograsi.

Ya, aku lupa kapan terakhir kali memasukkan makanan ke mulut ini. Selera makanku seakan mati.

"Meskipun kamu bukan dokter, sebagai farmasis, sedikit banyak tau dong, tentang kesehatan. Ya, kan?"

Dia membuang strip, ke tempat sampah. Lalu mecangklong tas ranselnya.

"Sebaiknya, kamu aku antar pulang," ujar Rastra sambil bersiap memapahku.

"Eh, aku enggak mau di rumah."

Alisnya bertaut, mata sipitnya memandangku dengan tatapan menyelidik. "Sebenarnya ada masalah apa?"

Tatapannya membuatku kikuk. "Kalau di rumah, aku bakal inget sama Tom terus," cetusku, berbohong.
"Tom?" Mata sipitnya masih menatapku, aneh.
"Ya, kucing kesayanganku. Sepulang dari apotek kemarin, aku tak menemuinya. Bahkan ia tidak pulang semalam," ujarku sambil memasang wajah, pura-pura sedih.

Mata sipitnya membelalak. Rastra menepuk dahi. "Kucing?"
Aku mengangguk lemah.

"Jadi mata sembap itu gara-gara kucing? Astaga! Dasar perempuan!" ujarnya sambil menggelengkan kepala.

Maaf Rastra, sekali lagi aku berbohong padamu. Tak mungkin aku ceritakan masalah rumah tangga ini padamu.

Kamu tidak tahu, Ras. Hewan itu bukan binatang biasa. Dia kucing garong. Kucing yang sudah mencabik hati hingga mencederai harga diri sampai tak bersisa.

Suasana sesaat berubah hening. Ia sedang sibuk mengutak-atik ponselnya. Aku bergeming, menikmati denyut nyeri di kepala.

Beberapa saat kemudian, Rastra keluar dan kembali dengan menenteng dua buah kantung plastik

"Makan dulu, nanti aku cariin kucing yang lebih cakep, deh. Janji." Rastra menyodorkan kotak makanan. Dari aromanya, aku yakin itu bubur ayam. Aku bergeming. "Mau di suapin?"
Aku mendengkus kesal. Segera kuaambil alih sekotak bubur ayam yang Rastra sodorkan. Ia tersenyum.
Dengan enggan aku jejalkan bubur ini ke mulut. Aku harus sehat. Harus. Kenyataan ini menuntut agar lebih kuat. Aku tidak boleh sakit. Yidak.

Darah Perawan (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang