Part 3

9K 146 9
                                    


Sejak pertengkaran itu, hubungan kami semakin merenggang. Walaupun serumah, aku dan Randu jarang bertegur sapa. Hanya bicara seperlunya saja. Sungguh, ini rumah tangga apa? Walaupun aku masih melaksanakan kewajibanku sebagai istri, seperti meyiapkan baju-bajunya dan menyediakan makanan. Namun hanya psebatas formalitas saja. Bahkan saat ini aku sudah tidak sekamar dengan Randu.

Aku tidak mengerti apa mau Randu sebenarnya. Jika memang sudah tak hendak meneruskan rumah tangga ini lagi, mengapa tak diakhiri saja. Buat apa menikah untuk saling menyakiti?

Akupun sudah tak peduli lagi dengan statusku nanti. Janda. Terdengar menyakitkan di telinga, tapi lebih baik. Dari pada menjadi istri tapi hanya status. Hanya di atas kertas.

"Ran, tunggu." Aku berusaha mengajaknya bicara, saat ia pulang dari kantor. Mungkin waktunya kurang tepat, lelah setelah bekerja seharian, bisa membuat emosi lebih rentan meletup. Tapi aku tidak peduli.

Dia menghentikan langkah. Hanya berhenti, tak menoleh ataupun mengeluarkan suara untuk merespon. Aku melangkah cepat lalu berdiri tepat di hadapannya.  Berusaha mensejajarkan tatapan ini dengan matanya. Walaupun, untuk itu aku harus mendongakkan kepala, karena ia terlalu tinggi untukku.

"Ran, apa maumu! Aku tak mau begini terus." Aku terus berteriak geram. Dia masih bergeming. Tak acuh. Hanya mendengus pelan lalu membuang pandangan ke arah lain.

"Randu jawab!"

Dia kembali menatapku lalu berbalik cepat berjalan menuju kamar.

"Randu! Randu! Buka pintunya!" Merasa diabaikan, seperti ada hawa panas yang mulai menjalar ke rongga dada. Aku masih berusaha mengajaknya berdebat dengan mengejarnya. Namun Randu lebih cepat. Ia tak terkejar. Aku terhenti di depan pintu kamar kami. Lelaki bermata elang itu menguncinya dari dalam. Dan aku tak bisa masuk. Tunggu! Kamar kami. Bukan, sekarang itu kamar Randu. Hanya dia dan barang-barangnya. Sedangkan aku, tidur di kamar tamu.

"Randu, buka! Buka!" Aku terus menggedor-gedor pintu kamar Randu.

"Kita harus bicara, aku nggak bisa gini terus. Buka!" perintahku, memaksa. Namun tak ada jawaban dari dalam.

"Assalamualaikum!" Lamat-lamat, terdengar suara orang dari luar. Aku menghentikan teriakan, memasang telinga, meyakinkan diri bahwa tak salah dengar.

"Permisi!"  Ternyata benar ada tamu. Mengapa ia begitu udik. Bukannya sudah ada bel di samping pintu. Umpatku dalam hati. Aku segera merapikan diri seadanya lalu bergegas membuka pintu.

"Mama?"
Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku saat melihat wanita paruh baya dengan perawakan mirip dengan menteri perikanan, Susi Pudjiastuti. Mertuaku.

"Duh, lama banget seh buka pintunya. Dasar penganten baru. Hayo tadi lagi ngapain?" tanya Mama sambil mengedipkan mata. Ish, menyebalkan sekali.

Ia melangkah masuk ke ruang tamu, tanpa menunggu dipersilakan. Melewati aku yang berdiri di pintu.

"Mama, mau di buatin minum apa?" tanyaku, sembari meraih punggung tangannya. Saking terkejutnya, aku lupa menyalami ibu dari suamiku ini.

"Nggak usah, nanti Mama ambil sendiri. La wong, Mama mau tinggal di sini untuk beberapa waktu, kok," ucapnya dengan ringan.

Aku tercekat. Kamar di rumah ini cuma dua. Satu ditempati Randu, satunya lagi aku. Lalu bagaimana dengan Mama. Ya ... Tuhan, mati aku!

"Randu. Ran ... ada Mama, nih!" panggilku sambil mengetuk pintu kamar Randu, pelan.

"Oalah ... anak jaman sekarang, masuk ke kamar sendiri pakai ketuk pintu." Mama terkekeh melihatku. Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Lalu menggaruk kepala yang tidak gatal. Berpikir keras, jangan sampai Mama tau masalah ini. Namun, aku ragu. Bagaimana dengan Randu?

Darah Perawan (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang