Kali ini aku sungguh tak bisa menahan diri. Dia selalu menyalahkan aku. Menganggap diri ini sebagai pesakitan. Selama ini aku diam, hanya karena satu hal. Menghormati mertua yang ada di rumah ini.
Namun selaksa pengorbanan seperti tiada artinya bagi Randu. Mungkin benar, awal masalahnya ada di aku, darah perawan yang tak pernah aku miliki, membuat perangainya berubah seratus delapan puluh derajat. Namun, itu di luar kuasaku. Jika kekurangan yang ada pada diri ini selalu dijadikan tameng bahkan kambing hitam di setiap permasalahan, tidak. Aku tak bisa membiarkan itu. Mungkin aku bisa sabar, tapi tidak akan pernah ikhlas.
"Apa? Sumber masalah?" Aku sekarang tidak peduli dengan keberadaan mertuaku. Walaupun waktu itu lelaki berambut ikal itu meminta agar Mamanya jangan sampai tahu bahwa hubungan kami ada masalah. Namun apabila selalu begini, menyalahkan diriku atas setiap persoalan, sampai kapan aku mampu bertahan?
"Ya semua ini gara-gara kamu!" jawabnya sengit.
Api amarah benar-benar telah membakar habis logikaku. Kaki ini tergerak untuk melangkah mendekat, "Atas dasar apa!?"
"Nduk sudah nggak usah dijawab!" Mama meraih lenganku. Mencegah agar aku tak mendekat pada Randu.
"Tunggu dulu, Ma! Ini masalah harga diri Grey!" Aku menepis kasar tangan wanita paruh baya itu. Sesuatu yang tak pernah aku lakukan pada orang yang lebih tua. Aku terus mendekat pada Randu, "Jangan mentang-mentang kamu berstatus suami kamu bisa seenaknya saja, menginjak-injak harga diriku, Randu!" ujarku dengan napas memburu. Kulihat rahang lelaki berambut ikal iti mengeras. Dia melengos, membuang muka dari tatapanku.
"Nduk, sudah!" Sekali lagi mertuaku menarik lenganku untuk menjauh dari anaknya.
"Kenapa, Ma? Karena Randu anak Mama. Anak kesayangan Mama, jadi Mama nggak peduli perasaan grey. Ya saya tau Ma. Saya cuma menantu. Beda memang antara anak dan menantu!"
Mertuaku terdiam, ada rasa kecewa yang terpancar dari rona wajah wanita paruh baya itu.
Aku meninggalkan Mama yang bergeming, duduk terpaku di sofa dengan mulut ternganga dan tatapan kosong. Dari sudut mataku, terlihat ada buliran bening memgalir di wajah tuanya. Mengapa hatiku terasa teriris melihat mertuaku menangis?
*
Malam ini terasa begitu hambar. Tak ada teman bicara, bahkan aku merasa rumah ini sudah tak nyaman untuk ditinggali. Jika di dalam, mau tidak mau, aku harus berinteraksi dengan Mama. Diam di kamar, aku harus bersama lelaki yang selalu membuat aku kesal itu.
Di sinilah aku sekarang, halaman belakang rumah. Gemericik air dari kolam ikan mini ini, sedikit mengobati sakit hati ini.
Terdengar suara motor keluar dari halaman rumah. Aku yakin itu Randu.
"Nduk ...." Mama memanggil lembut, sembari memegang bahuku. Aku tak menyahut. Hanya menarik napas pelan, lalu menoleh ke arahnya.
Waktunya makan malam. Seharian ini Mama nggak lihat kamu makan. Yuk masuk dulu."
Aku hanya menggeleng lemah. Kejadian hari ini, telah membunuh selera makanku.
"Maafkan Randu, ya!" Seperti ada yang tercekat di kerongkongan. Sampai detik ini, aku belum tahu apa sebenarnya masalah yang terlah terjadi. Namun, untuk bertanya pun aku audah tak sudi. Persetan dengan semua itu. Kalau ujung-ujungnya akulah yang tetap menjadi kambing hitam.
"Saya juga minta maaf, Ma. Sudah berkata kasar sama Mama," ucapku basa-basi. Aku sudah berlaku kurang sopan padanya, dan ia mendatangiku serta meminta maaf terlebih dahulu.
Wanita di sampingku ini menghela napas dalam, pandangannya menerawang seperti sedang mengingat sesuatu. "Kau tau, Mama membesarkan Randu seorang diri. Ayahnya meninggal saat Randu masih ada dalam kandungan. Beruntung Mama dulu, adalah seorang pegawai jadi Mam bisa menyambung hidup, walau tak ada lagi suami."

KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Perawan (OPEN PO)
RomansaKekisruhan rumah tangga Randu dan Grey ini bermula pada saat malam pertama. Setelah mereguk kenikmatan dunia, justru Sang suami bermuram durja. Ia muntab, karena tahu sang istri tidak memiliki tanda kegadisan yang umum dimiliki oleh seorang perawan...