2

11.1K 157 9
                                        

Vote !
Vote!

"Cerai? Tak semudah itu, Grey!" Kali ini memang tak terlihat letupan emosi dalam ucapannya. Gelegak amarah itu tak tampak. Namun, itu lebih menyeramkan. Serupa lautan yang tenang tapi di dalamnya menyimpan seribu misteri yang sulit diketahui, sebelum kita mampu menyelami.

Bersamaan dengan ketakutan yang muncul, datang pula sebuah harapan dari hati yang sempat tergores. Aku pikir mungkin masih ada cinta yang tersisa.

"Kenapa tersenyum? Jangan pikir aku akan percaya begitu saja setelah kamu mengambil sumpah." Ia melanjutkan celotehnya, yang lagi-lagi bernada sinis.

Rupanya ia memperhatikan aku. Aku tak sadar, ketika terbersit harapan di lubuk hati, bibir ini melengkungkan seyum. Ah ... sial.

Aku menyalakan televisi, untuk menetralisir hati yang mulai tersulut emosi.

"Ran, seberapa pentingnya, sih, tanda kegadisan itu untukmu?" tanyaku oada Randu ketika dirasa suasana sudah mulai kondusif.

"Penting, sangat penting!"

"Oya?"

"Sepenting apa?"

"Sepenting harga diriku."

"Ck ...." Aku mendecak. Mungkin baginya terdengar seperti cibiran. Ia membalas dengan tatapan sinis. Tak ada lagi wajah sendu yang dulu selalu kurindu.

Kusambar remote lalu mematikan teve dengan kasar.

"Apa kau tidak tau, ada beberapa wanita yang selaput daranya tipis. Sehingga tidak mengeluarkan darah saat malam pertama. Atau mereka yang mengalami kecelakaan pada waktu kecil dan selaput daranya robek, walaupun mereka masih gadis," jelasku berapi-rapi. Sampai tak sadar aku berdiri di hadapannya.  Berharap dia akan mengerti.

"Tau, tapi itu kan hanya sebagian kecil. Sekarang aku tanya kamu, apakah kamu pernah mengalami kecelakaan, atau apakah kamu seseorang yang senang melakukan olahraga yang berat?"

Masih dengan posisi duduk dengan kaki bersilang, dia mengelak dengan pertanyaan yang tepat. Manik mata yang sewarna dengan tanah basah itu, menatap tajam tepat dia kedua retina ini. Berkilat, aku melihat seperti hunusan pedang yang siap menebas leher orang yang ada di hadapannya.

Nyaliku menciut. Sejurus terdiam, tersadar bahwa langkah yang kuambil salah. Memang aku tak pernah mengalaminya.

"Jawab!" Bentaknya. Seketika aku tersentak. Belum pernah ada orang yang membentak sekasar itu seumur hidup. Lututku terasa lemas, hingga terduduk. Seketika mata ini berembun, lalu membentuk aliran anak sungai di pipi.

Dia mendengus kasar.

"Tidak usah gunakan air matamu sebagai senjata."

Harapan yang sudah teruntai, pupus. Pikiran kembali kalut.

"Bagaimana caranya supaya kamu mau menerima aku?" Mungkin baginya pertanyaanku terdengar seperti rintihan anak kucing yang baru lahir. Terdengar menyedihkan.

Dia menghela napas berat lalu berkata, "Mungkin benar kau tidak punya tanda itu. Tapi aku laki-laki, Grey," ia berhenti sejenak terlihat menelan ludah. Aku mengangkat wajah memberanikan diri menatapnya. Kata-katanya seolah menandakan dirinya sudah bisa menerima kekuranganku. Namun, pertanyaanya mungkinkah secepat itu? Karena aku kenal Randu dengan baik.

"Grey, aku ingin wanita yang utuh."

"Aku juga ingin merasakan bagaimana menjadi lelaki yang menerima kegadisan wanitanya, secara nyata. Seperti orang lain."

Sekali lagi, seperti ada cakar singa meremas jantungku. Sakit tak terperi. Percuma! Percuma semua penjelasanku. Tak ada artinya bagi Randu. Egois! Ada rasa kesal, benci, dan marah bercampur menjadi satu. Menghasilkan satu kata, Muak!

Bagiku sumpah di atas kitab suci adalah pembuktian tertinggi dari sebuah kesungguhan. Karena manusia yang meyakini adanya Dzat Yang Maha Agung, kalam Tuhan adalah sesuatu yang sakral. Namun, mungkin saat ini Randu dibutakan oleh sesuatu yang dianggap lazim. Apakah ia tidak tahu bahwa disetiap ciptaan-Nya selalu ada pengecualian sebagai tanda kebesaran Tuhan?

Aku terus terisak. Di sisi lain hati ini, terasa kian menipis rasa sabar yang tersedia. Sebisa mungkin aku menambahnya agar selalu ada ruang untuk berpikir secara jernih. Namun, di bagian lain, ada rasa panas yang terus menjalar ke rongga dada hingga ubun-ubun.

"Oalah Grey, jadi ini yang kamu dapat. Setelah ninggalin keluarga demi laki-laki ini. Lu nggak berharga Grey."

Aku mendengar ada bisikan di telinga, yang entah dari mana datanganya. Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba menelusup dalam diri yang menambah derajat panasnya hati.

"Kau masih perjaka?" tanyaku sengit. Dia tak menjawab. Hanya mengangkat sebelah alis dan ujung bibirnya yang kiri. Aku merasa dia sedang mencibirku.

"Sinting!" ucapnya sembari tertawa dan menggelang-gelengkan kepala. Masih dengan nada yang sama, sinis.

"Kenapa? Jawab saja!" cerocosku tak mau kalah. Apa mau dikata? Dia yang mulai duluan. Genderang perang sudah ditabuh. Benar kata pepatah, benci dan cinta itu bedanya tipis sekali.

Aku bangkit dari sofa, berjalan ke dapur untuk mengambil minuman di kulkas. Suasana siang yang dingin karena hujan semalam, tak mampu mendinginkan kepala dan hatiku yang telah membara.

"Jika kau bisa membedakan gadis atau bukan, berarti kamu sudah merasakan sebelumnya bukan?" Aku melanjutkan celotehku, sengaja untuk memojokkan Randu. Diakhiri dengan tawa yang mungkin saja terdengar pahit.

Dia sontak bangkit dari duduknya, menatapku tajam dengan telunjuk tepat mengarah ke wajahku sambil berteriak, "Kau!?"

Mata yang memerah dengan rahang yang mengeras dan napas yang tersengal, menggambarkan dengan jelas emosinya saat ini. Ia marah. Takut? Sedikit. Semenjak mengenalnya, tak pernah aku melihatnya seseram ini.

"Apa?" tanyaku berusaha untuk tenang sambil, menyibak tangannya yang terarah padaku. Meskipun sebenarnya jantung ini berpacu, tapi aku tetap berusaha untuk tersenyum. Walau terasa getir. Ini bukan senyum bahagia, tapi lara. Entah setan mana yang merasukiku saat ini. Entahlah ....

"Jika kau bisa membuktikan keperjakaanmu, aku juga akan buktikan bahwa aku tidak seperti yang kamu tuduhkan. Bisa?"

Aku menatap Randu, sekali lagi, dengan tatapan yang mungkin terlihat mengejek atau apa sejenisnyalah. Lalu berlalu pergi masuk ke kamar tidur kami. Rasanya tak mampu meneruskan perdebatan ini.

Di kamar, air mataku tumpah.
Awal yang harusnya indah, tidak terjadi padaku. Hariku muram. Malam pertama yang biasa menjadi lelucon indah, justru menjadi tragedi. Setiap orang memiliki cerita tersendiri dalam pernikahannya. Ada yang manis, pahit, getir itu biasa. Namun, jika awalnya sudah pahit bagaimana? Padahal kepercayaan adalah fondasi dari sebuah hubungan. Apakah yang harus kulakukan. Haruskah aku meneruskan pernikahan ini?

Next

Darah Perawan (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang