8

5.8K 152 6
                                    

Vote dong!😆

Tak kuindahkan panggilan Randu. Selanjutnya, bingkai foto itu sudah berada di lantai, dengan kaca yang sudah terserak.

Hancur.

Bunyi ketukan berubah menjadi gedoran yang memekakkan telinga. Terdengar pula suara Mama yang memanggil-manggil namaku. Namun, hatiku tak hendak membukakan pintu itu.

Brrraaakkk!!!

Lelaki berambut ikal itu mendobrak pintu yang terkunci. Mama menghambur memeluk tubuhku, sedang Randu berdiri terpaku di pintu dengan napas yang tersengal.

"Nduk ... sabar , Nduk. Sabar!" Mama melonggarkan pelukannya, lalu mengusap-usap punggungku.

Aku bergerak menjauh darinya, lalu duduk di ranjang, bersandar pada headband dipan.

Sabar? Sabar katanya? Aku mau tau wanita mana yang bisa bersabar saat mengetahui suaminya menghamili wanita lain. Kalau ada tunjukkan padaku!

Semudah itu memang bibir berujar. Apalagi bagi orang yang tidak pernah mengalami, hanya berteori. Bullshit!

"Nduk ...." Wanita itu berusaha mendekat.  Namun hatiku sedang muak. Tak hendak bicara apapun dengan siapapun. Lebih baik diam, dari pada berkata-kata di saat hati panas. Sungguh aku tak ingin menyakiti Mama lagi.

Aku membuang muka. Lalu melipat kaki dan mendekapnya, serta menopangkan daguku. Mungkin saat ini aku terlihat begitu mengenaskan.

"Nduk ... maafkan Randu." Wanita itu menghiba. Air mata luruh lagi. Aku teringat ibu. Jika saja aku memiliki ibu yang seperti Mama. Mungkin aku tak akan sesedih ini.

'Bu, maafkan anakmu! Maafkan Grey, Bu. Ibu benar, Randu jahat, Bu. Dia nyakitin Grey, Bu.'

Hatiku meratap pilu. Aku ingin pergi, tapi kemana?

"Ma, tinggalkan kami berdua. Aku perlu ngomong sama dia," ucap Randu parau. Ia melangkah gontai mendekat padaku. Mama menarik menghela napas. Lalu beranjak pergi.

"Grey, aku ... maafkan aku," ucap Randu terbata dengan suara parau.

Maaf? Semudah itu ia minta maaf. Setelah semua yang ia lakukan, tanpa memikirkan perasaanku.

"Grey, aku tahu kamu pasti kecewa, kamu sakit hati. Tapi ...."

Tapi apa? Semua karena aku. Aku lagi! Sedikitpun aku tak hendak menjawab kata-katanya. Walau hati ini bergemuruh dasyat, serupa gunung berapi yang siap memuntahkan laharnya. Anehnya, bibir ini seperti terkunci. Tulang ini seperti tercerabuti dari tubuhku, sakit, perih, nafas terasa sesak. Mataku pedih, hingga tak mau berhenti mengalirkan bulir bening yang menganak sungai di pipi.

"Grey ...." Sekali lagi dia memanggil seraya mengangkat daguku. Hingga tatapan kami bertemu.

Aku menatapnya nanar. Ingin sekali aku tonjok mukanya, tapi tidak. Kamu harus kuat Grey. Kamu harus tegar! Aku segera membuang muka. "Bisa aku minta tolong," ujarku lirih. Nyaris tak terdengar.

"Apa?"

"Tolong, tinggalkan aku!" sahutku ketus.

"Tapi berjanjilah, kau tidak akan menyakiti dirimu sendiri," ucapnya sok perhatian. Cuih! Munafik! Dia pikir aku sebodoh itu. Tidak!

'Sejak kapan kau peduli. Aku sakit atau tidak, itu bukan urusanmu.' Rutukku dalam hati.

Aku tersenyum sinis, mungkin lebih tepatnya senyum mengejek.

Lelaki di hadapanku itu terdengar menghela napas, berat. Kemudian dengan langkah gontai ia keluar dari ruangan di mana aku berada. Sambil sesekali ia berjingkat menghindari pecahan kaca yang terserak.

Lalu ia berhenti sejenak pada foto pernikahan kami yang hancur berantakan tepat di dekat pintu. Untuk sesaat, dia menatap foto dengan tatapan miris. Kemudian ia melangkah keluar tanpa menutup pintu.

Secepat mungkin aku melangkah ke pintu, dan membantingnya dengan keras. Hingga menimbulkan bunyi berdebam.

Mungkin aku tak sehancur ini, jika saja Randu tak menduakan aku. Hati ini sudah biasa menerima sikapnya yang tak acuh, tapi aku tidak siap menerima kenyataan sepahit ini. Aku tidak kuat. Embun di ujung netra kembali merebak.

*

Sinar mentari yang menyusup dari balik tirai kamar menyilaukan mata. Entah jam berapa aku bisa tertidur. Kepala ini masih terasa pusing. Entah karena kurang tidur, atau kebanyakan menangis. Atau mungkin karena dua-duanya.

Enggan rasanya beranjak dari kasur, tapi aku harus bekerja. Ini hari pertama, aku tidak boleh terlambat.

Aku menyibak selimut, lalu beranjak dari ranjang. Menikam rasa malas yang mendera setiap persendian.

Setelah bersiap segera keluar kamar, menuju taksi yang baru saja kupesan secara daring. Sebenarnya ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke apotek. Namun, berdiam diri saja di rumah, akan membuat suasana hati ini semakin memburuk.

Di ruang tamu, terlihat Randu masih tertidur di sofa. Sedangkan Mama, aku yakin ia di dapur. Terbukti dari aroma bumbu nasi goreng yang menguar memenuhi ruangan. Wanita itu sedang memasak. Dan aku tak ingin berpamitan padanya. Walaupun itu terkesan tidak sopan. Namun, saat ini suasana hatiku sedang tidak baik. 

Sesampainya di apotek, aku tidak segera masuk. Ini masih jam tujuh pagi. Sedangkan jam kerjaku di mulai pada pukul delapan. Aku duduk di bangku panjang bercat coklat, yang ada pojok area parkiran. Sambil melihat antrian panjang pasien Rastra, yang rata-rata berusia lanjut. Mungkin karena dia dokter spesialis penyakit dalam. Dokter muda itu membuka praktek di pagi dan malam hari.

"Grey, sudah datang? Rajin amat." Sapa Rastra, yang urung menuju city car hitamnya, malah berbelok ke arahku. Aku membuka layar ponsel. Jam delapan kurang dua puluh menit. Pantas saja ia keluar. Jam prakteknya sudah selesai sepuluh menit yang lalu.

"Hmm ...." Hanya gumaman pendek yang aku lakukan untuk menjawab sapaan lelaki manis berlesung pipi itu. Berharap dia segera berlalu. Aku sedang tidak ingin mengobrol dengannya.

Dia menatapku dengan pandangan seperti meledek, sambil terkekeh ia berkata, "Pagi-pagi pakai kaca mata hitam segala."

Ternyata biarpun dokter, laki-laki pula, bisa nyinyir juga.

"Mataku, agak sakit," jawabku berbohong. Sebenarnya aku berkaca mata untuk menutupi netra yang tampak sembab karena menangis semalaman.

"Sakit? Coba aku lihat!" Ada rasa khawatir yang terpancar dari air mukanya itu.

Gawat. Ia malah mendekat, "Eh ... enggak usah. Kamu bukan dokter mata," ujarku berkilah. Dia terkekeh sekali lagi, hingga lesung pipi itu muncul lagi.

"Entar kalau ketahuan Ve, kamu malah nggak boleh masuk, lo." Ia semakin mendekat, lalu duduk tepat di samping kananku. Terus membujukku untuk melepaskan kaca mata hitam yang aku kenakan.

Aku membuang muka, sambil menghela napas, berat.

Hening.

Rastra masih di sini. Entah kena apa, tiba-tiba mata ini terasa gatal. Tanpa sadar, aku melepas kaca mata hitam yang bertengger manis di pangkal hidungku.

"Grey, kamu nggak apa-apa 'kan?" Aku Rastra memperhatikan wajahku dengan teliti. Mata sembab ini tak bisa berbohong.
Diri ini merasa kikuk.

"Maaf, ini sudah waktunya. Aku masuk dulu," ucapku cepat berusaha menghindar dari pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Secepat kilat berdiri hendak menjauh dari dokter muda itu.

Namun, tiba-tiba mataku seperti berkunang-kunang. Bersamaan dengan itu, rasa sakit menjalar cepat ke ubun-ubun. Kemudian gelap.

Next

Darah Perawan (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang