Seolah mendapat transfer kekuatan dari sang ayah, Vanessa yang sedari tadi menunduk, tiba-tiba mengangkat kepalanya. Ia menatap, hinga netranya tepat menghunjam mataku. Sejenak, seolah kami bertukar energi yang sulit diterjemahkan dalam kata-kata. Namun, aku merasa kalah. Sebab mata perempuan itu begitu tulus, seperti seorang anak kecil saat meminta sesuatu yang teramat dia inginkan. Begitulah, wajah manis itu terlihat menyedihkan.Kualihkan pandangan pada mawar yang terpajang pada meja di sudut ruang tamu mungil ini. Mawar itu sudah layu, sebagian mahkotanya telah gugur. Sejak pertikaian dengan Randu, jangankan untuk mengurus rumah, untuk hidup pun rasanya semangatku pun berangsur surut.
"Sudah, Pak. Istri saya sudah tau," jawab Randu parau.
Tahu? Tentang apa? Aku menatap Randu, dengan tatapan yang mungkin terlihat sinis.
Jantung semakin berdegup kencang. Hati tak mampu meredam segala tanya yang bermunculan di kepala. Aku wanita yang tidak biasa dengan prasangka. Maka, kuhela napas dalam-dalam. Sedikit mendongakkan kepala, menata kembali perasaan yang berkecamuk dengan berbagai rasa. "Apa maksud Anda datang ke mari?"
Kedua tamu agung itu terdiam. Bahkan wajah Randu dan Mama terlihat semakin kaku. Mematung. Sedangkan pria berkulit legam yang tadi datang bersama dua tamu agung itu, terlihat mondar-mandir di halaman, sambil sesekali melihat ke arah kami.
Sekali lagi pria paruh baya itu terbatuk. Aku tahu itu dibuat-buat. Hanya untuk mengulur waktu. Atau membuat jeda untuk berpikir. Entahlah ...
"Vanesa adalah sekretaris Randu." Bapak-bapak itu berkata tegas.
Bagaikan ada sebuah godam raksasa yang secepat kilat menghantam kepalaku. Rasa aneh yang muncul ternyata adalah sebuah firasat. Semuanya menjadi terang saat ini.
"Lalu?" Aku bertanya datar, seolah tak berpengaruh apa pun. Padahal darah ini seolah mendidih dan hati seperti teriris tipis. Sakit.
"Tolong, cucu saya tidak bisa lahir tanpa ayah, kami ini keluarga baik-baik." Mungkin maksud bapak-bapak itu, hendak menegaskan bahwa keluarganya adalah orang terpandang, sehingga tak kuasa menanggung aib.
Keluarga baik-baik? Baik macam apa yang melakukan hubungan di luar nikah? Ada yang bisa menjelaskan padaku?
"Urusannya dengan saya?" Aku masih pura-pura tolol. Atau memang sudah tolol karena masalah yang sama sekali tak ada sangkut pautnya denganku.
Lelaki itu berdeham lagi lalu menghela napas. Aku rasa bapak itu banyak akting. Mungkin untuk menambah pundi-pundi kesabarannya menghadapi aku. "Saya tidak mau mencampuri masalahmu dengan suamimu. Yang saya mau, Randu segera menikahi Vanessa dengan sah."
"Maksudnya sah?" Aku merasa semakin tolol.
"Sah di mata hukum dan agama."
Jawaban tegas dari lelaki yang rambutnya sudah memutih itu membuatku terperenyak. Seperti terhempas ke dalam jurang yang dalam dan gelap. Mengerikan. Namun, sebisa mungkin aku menguatkan hati. Lagi, mataku sekilas melirik mawar layu di sudut ruangan. Seperti bunga itu, mahkotaku boleh berceceran, tak menarik lagi. Namun, duri-durinya masih kukuh melindungi. Sebisa mungkin aku harus bertahan. Ingat bertahan!
"Ow...!" Seketika mulut tertawa hambar. Sejak mengetahui kasus Randu ini, aku tahu akan datang waktunya, dimintai persetujuan seperti ini.
Awalnya aku memutuskan untuk bercerai saja dari lelaki sialan ini. Namun setelah dipikir-pikir, enak sekali dia yang memulai aku yang menuai. Dia yang berbuat, aku yang sekarat. No ...! Kalian berdua harus merasakan pembalasanku.
"Bagaimana, Randu? Apa kau siap bertanggung jawab?" tanyaku pada lelaki yang menjadi sumber masalah itu.
"Ya," sahutnya cepat dan mantap. Enak saja!
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Perawan (OPEN PO)
RomanceKekisruhan rumah tangga Randu dan Grey ini bermula pada saat malam pertama. Setelah mereguk kenikmatan dunia, justru Sang suami bermuram durja. Ia muntab, karena tahu sang istri tidak memiliki tanda kegadisan yang umum dimiliki oleh seorang perawan...