Maaf lama baru update. Authir (author amatir) lagi nyiapin penerbitan naskah ini.
Jangan lupa Vote!!!
Ada gemuruh halus di rongga dada, apakah aku cemburu. Tidak! Mana mungkin. Aku bukan siapa-siapanya. Tak ada hak untuk itu. Lagi pula statusku masih istri orang. Sebejad apapun suamiku, paling tidak aku masih menghormati skaralnya arti sebuah pernikahan. Betapapun sakitnya itu.
Jam digital di ponsel sudah menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Hampir dua jam aku duduk seorang diri di sini. Masih ada waktu sekitar empat jam lagi. Semestinya aku bisa menggunakan senggang ini untuk beristirahat atau tidur misalnya, tapi mau tidur di mana?
Aku memaksa otak untuk berpikir, wajah ibu berkelebat di pelupuk mata. Aku merindukannya. Pulang? Mungkin aku terlalu naif untuk itu. Malu, takut semua berkecamuk di benak, ketika mengingatnya. Malu, karena pilihanku tak sebaik perkiraan. Takut, ibu pasti memaafkan, tapi kakakku? Ah ....
Untunglah saat ini aku bekerja, bisa mandiri secara finansial. Dulu, impianku adalah memiliki apotek sendiri. Apotek? Ya, Apotek! Kenapa aku tidak kepikiran dari tadi. Di belakang ada ruang kosong, yang digunakan untuk ruang istirahat.
Aku menyambar ponsel untuk menghubungi Novita. Namun belum sempat aku m
"Grey! Mau kemana? Ayo aku anterin." Wajah Rastra terlihat di balik kemudi, setelah kaca mobil turun. Aku hanya menggeleng lemah. Sebenarnya tak ingin menolak. Namun, tatapan aneh gadis yang duduk di sampingnya membuatku jengah.
"Ayo masuk!" Sekali lagi dia memaksa. Pandangan gadis itu semakin tidak enak. Aku masih bergeming. Lelaki bermata sipit itu turun. Menarik lenganku lalu membuka pintu.
City car hitam melaju pelan membelah jalanan kota. "Ini Pandhita. Dhit, ini Grey," ujar Rastra memperkenalkan kami.
Oh ... namanya Pandhita. Gadis itu hanya melirik sekilas dengan senyum dipaksakan melalui spion. Aku membalasnya dengan anggukan disertai senyuman semanis mungkin.
"Grey kamu mau kemana?" Rastra bertanya, sambil mata sipitnya terus berkonsentrasi melihat jalan.
"Ehmm ... sebenarnya, aku mau ke apotek saja. Di rumah bosan. Enggak ada teman," sekali lagi aku berdusta.
"Bukannya kamu masih kebagian shift sore? Baiklah, setelah aku antar Pandhita ke tempat fitnes, lalu kita nongkrong dulu gimana?"
"Boleh," sahutku cepat. Usul yang tidak buruk menurutku. Namun, dari spion aku dapat melihat wajah gadis bercepol itu semakin keruh.
"Aku nggak mau ke gym dah, Mas. Mau ikut kalian saja." Pandhita menyela.
"Lho, gimana sih?" Hanya itu yang keluar dari mulut si dokter muda itu. Dahi yang berkerut membuat alis tebalnya bertaut.
Mobil Rastra masuk ke sebuah restoran mini bergaya modern dengan gaya minimalis. Rastra memilih tempat di dekat jendela.
"Grey, mau pesan apa?" Rastra membolak-balik daftar menu. Si waitress menunggu dengan memasang wajah manis. Aku yang masih kenyang, sebenarnya tak mau lagi mengisi perut lagi. Tapi, kalau hanya untuk makanan kecil aku pikir tidak ada salahnya.
"Terserah, kau sajalah. Asal jangan makanan berat. Aku tadi sudah sarapan. Dan ini masih terlalu dini untuk makan siang."
Pria berlesung pipi itu mengangkat alisnya. "Pisang bakar keju dua sama minumnya jus alpukatnya dua," ujarnya pada si waitress. Dengan sigap mbak-mbak bertubuh mungil itu mencatat.
Ternyata Rastra masih ingat makanan kesukaanku. Padahal, sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu.
"Kamu?" Rastra mengalihkan pandangan pada Pandhita yang dari tadi terlihat menekuk muka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Perawan (OPEN PO)
RomanceKekisruhan rumah tangga Randu dan Grey ini bermula pada saat malam pertama. Setelah mereguk kenikmatan dunia, justru Sang suami bermuram durja. Ia muntab, karena tahu sang istri tidak memiliki tanda kegadisan yang umum dimiliki oleh seorang perawan...