Apakah Ini?

179 12 0
                                    

Tak sehebat raja siang
yang menyusupkan cahayanya ke dasar kegelapan
Ku tak sanggup mengisi ruang gelap hati
Semakin ku perkeras, pantulan cahaya malah menyilaukan mata
Perih, walaupun tak berfisik
Sempurna, tak pernah terusik.

~ Pemburu Badai ~
~~~~~~~~~~

Bel berbunyi, seluruh siswa berkumpul di lapangan. Sekitar seribu siswa memenuhi lapangan upacara madrasah.

Naira berjalan menuju lapangan bersama dua orang sahabatnya, Dea dan Tia. Ada empat orang laki-laki mengiringi dari belakang, mereka nampak tergesa-gesa, aku kira mereka mau mendahului.

Namun disitu aku merasa kesal, mereka menyambilkan menggoda Naira, calon istriku sekarang. Untung saja mereka menggodanya tidak sekarang. Kalau sekarang, habis mereka. Hilang mereka di bumi. Ku patahkan tulang lehernya, ku jalin tulang rusuknya, ku potong telinganya sebelah. Astagfirullah, maklum, seorang laki-laki yang lagi cemburu.

Pak Syam sebagai pembina upacara di hari itu, membahas tentang anak kelas XII yang tinggal 300 hari umurnya di Madrasah.

"Terbanglah kalian, cari ilmu sebanyak-banyaknya, banggakan Madrasah kalian ini. Tuliskan sejarah di diri kalian bahwasanya kalian pernah menuntut ilmu di sini"

Itu kata-kata Pak Syam untuk memotivasi dan menunjukkan bahwa dia peduli terhadap murid-muridnya yang hendak tamat sebentar lagi. Aku secara pribadi terdongkrak semangatku untuk optimis dan berambisi bisa melanjutkan studi ke Mesir. Insya Allah, sekarang aku salah satu bagian dari Universitas tertua di dunia tersebut.

Pukul 10.00, waktu istirahat dan shalat Dhuha, aku dan Ayub beranjak ke Masjid. Gofur tidak sekolah hari itu, katanya mau ke wisuda abangnya di Banten.

Setelah dari masjid madrasah, kami bergegas ke kelas, dan banyak yang dibicarakan, mulai dari pelajaran, kuliah, hobi, dan latihan untuk band. Kami juga merencanakan membuat film pendek. Itu semua wacana, tak pernah terwujudkan.

Aku melihat keluar jendela, siang yang terang, angin menghiasi panas saat itu. Mata tergoda untuk terpejam menikmati lembutnya belaian angin. Sontak aku teringat akan buku yang telah ku siapkan untuk Naira.

Aku merogoh tasku, ku dapati bungkusan buku itu. Bungkusan yang bagus pikirku. Saat itu semua Guru sedang rapat, jadi hari itu bisa dikatakan tidak belajar seharian, walaupun paginya belajar, namun tidak maksimal. Karena guru yang masuk ke kelasku hanya memberikan tugas pada kami, dan harus dikumpulkan sebelum istirahat tadi.

Aku bergegas keluar kelas, ku sapu seluruh antero sekolah dengan kelopak beningku. Terlihat banyak siswa yang sedang duduk-duduk di depan kelas, lapangan, di bawah pohon rindang, dan melakukan aktivitas seru lainnya.

Sepoian angin menambah semangat dalam hatiku, ku hirup nafas panjang dan ku pejamkan mata. Dan aku niatkan untuk memberikan buku itu kepada Naira saat itu juga, hatiku menggebu-gebu, saat itu bahagia dan rasa cinta menguasai jiwaku. Aku bergegas ke kelas X I, tempat di mana ruangan Naira mendengar pelajaran.

Aku hampir tiba di depan kelas Naira yang rindang, ada tempat duduk dibawah pohon yang rindang. Pohon itu melindungi dari panas matahari dan kita lebih leluasa menikmati angin. Ku pikir strategis untuk nongkrong.

Naira dan dua sahabatnya ku lihat sedang bercanda gurau di bawah bawah pohon itu. Terdengar suara tertawa Tia yang memekak, aku pikir mereka sepikiran denganku terhadap tempat strategis untuk nongkrong tersebut.

Mereka tidak menyadari kedatanganku, wajar, aku masih berada cukup jauh dari mereka. Aku hendak melangkah, ku siapkan kata-kata untuk Naira.

Aku menggaruk kepala belakang yang tidak gatal, aku rela kepanasan hanya untuk mematangkan mental untuk bertemu Naira. Ku hirup napas, ku yakinkan diriku. Aku mantapkan langkah ke sana dengan tidak ragu, walaupun jantung memberontak di dalam dada karena gugup.

Wanita Taman SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang