Chapter 4

2K 135 0
                                    

Suasana kantor terasa lebih berat dan suram, ini gara-gara sang CEO mereka berwajah masam.

Bryan mengerutkan keningnya saat membaca laporan keuangan perusahaan bulan ini. Ia menatap Edo yang masih berdiri gugup didepan meja kerjanya.

"Edo, kenapa laporan keuangannya berbeda?" Tanya Bryan dengan nada menuntut.

Seingatnya, bulan lalu masih baik-baik saja. Perusahaan pun tidak mengeluarkan banyak dana untuk pembangunan selain menggaji karyawan.

Apa ada yang korupsi? Jika memang ada, berani sekali mereka!

"Saya juga bingung pak. Saya sudah cek berkali-kali. Tapi hasilnya tetap sama." Jawab Edo seadanya. Karena hal ini, waktu kerjanya jadi semakin panjang. Dan memutuskan untuk lembur.

Bryan yakin, ia tidak menangkap nada bohong atau gerak-gerik aneh dari sekretarisnya. Pria itu menghela nafas panjang, kemudian Bryan menatap Farrel lewat ekor matanya.
"Baiklah, kamu boleh kerja lagi, dan tolong berkas bahan rapat selanjutnya segera selesaikan. Klien akan datang satu jam lagi."

"Baik pak, saya mengerti." Setelahnya Edo kembali duduk di ruangan sebelah kiri Bryan.

Farrel yang mengerti tatapan Bryan tadi segera menghadap. Tangannya mengulurkan berkas yang Bryan minta. Juga hukumannya kemarin.

"Muka kamu pucat sekali Rel, padahal saya mau minta tolong sama kamu." Ujar Bryan tanpa mengalihkan perhatiannya dari berkas laporan Farrel.

Alis Farrel bertaut heran, tak biasanya Bryan ragu saat memberinya tugas. Dan apa tadi? Bryan memperhatikan dirinya?
"Memangnya boss mau minta tolong apa? Saya akan lakukan jika memang itu harus." Katanya sopan.

Bryan menatap wajah Farrel, asistennya ini sangat loyal. Ia benar-benar sangat beruntung.
Setelah berpikir sejenak, Bryan mengulurkan berkas laporan keuangan yang dibawa oleh Edo tadi.
"Tolong periksa, cari tahu siapa yang melakukan kecurangan didalamnya. Kalau kamu sudah menemukan orang itu segera beritahu saya." Ucapnya dengan nada rendah.

Farrel mengangguk patuh, ini tugas mudah baginya.
"Baik boss."

"Saya dengar kamu dikerjain sama Gladys kemarin." Bryan terdiam sejenak. "Saya minta tolong, jangan pernah marah sama dia." Sambungnya kemudian.

Farrel mengangguk sambil tersenyum, walau agak dipaksakan. Ia tahu bahwa Gladys salah satu orang yang Bryan jaga.
"Saya tahu boss, lagi pula. Senakal apapun dia, saya tetap aja gak bisa marah sama dia. Saya sudah menganggap Gladys seperti adik saya sendiri." Ujar Farrel pelan.

"Baguslah kalau begitu."

Farrel pun beranjak dari tempatnya berdiri, ia kembali duduk di kursinya. Meninggalkan Bryan yang menatap kosong.

Kemarin, ia kembali mendapat masalah. Tidak terlalu besar memang, hanya saja sedikit menguras emosinya. Kali ini ia bermasalah dengan keluarga dari istrinya.

Alvaro.

Nama yang sangat dibenci oleh Bryan juga Sasya. Kenapa mereka kembali mengusik kebahagiaan Sasya nya?
Bryan tak habis pikir, apa mereka masih belum cukup membuat istrinya menderita?

Tangan Bryan terkepal erat, seperti sebelumnya. Ia akan menyingkirkan siapapun yang membuat istrinya menderita. Siapapun yang menghalangi kebahagiaannya. Akan berakhir nahas.

Itu pasti.

.
.

Dua bulan kemudian.....

.
.

Hari ini Bryan tidak pergi ke kantor, ia memilih untuk menemani istrinya di rumah. Walaupun memang hari ini libur. Tapi bagi Bryan tidak ada kata libur dalam kamusnya.

Banyak orang yang bergantung padanya, ia bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri.
Bryan menanggung tanggung jawab yang lebih besar selain menjadi seorang suami.
Tapi sejak pagi tadi, Bryan merasa kalau Sasya ingin mengatakan sesuatu, namun setelah ia tunggu beberapa saat. Sasya tak mengatakannya juga.

Bryan bingung sendiri dibuatnya.

Sedangkan Sasya masih betah menatap wajah tampan Bryan lebih dalam. Akhir-akhir ini ia merasa aneh jika tidak melihat Bryan barang sedikitpun.

Sadar dirinya diperhatikan, Bryan menatap balik kearah istrinya. Dahi Bryan berkerut dalam, itu juga membuat ketampanan nya semakin meningkat.

Entah sudah berapa kali Sasya jatuh cinta pada suaminya sendiri. Yang jelas, Sasya tidak pernah bisa menghitung jumlah nya.

"Kamu kenapa sih yang? Ada yang aneh sama wajah aku hm?" Tanya Bryan penasaran.

Menggeleng lemah Sasya malah tersenyum lebar. "Di wajah kamu gak ada apa apa kok Bryan, tapi kok aku gak mau lepas pandangan aja." Ada jeda sebentar.
"Sayang aja kalo ngelewatin cogan yang satu ini." Gumamnya lirih.

Bryan kembali menatap laptop nya, tak berselang lama. Sasya minta dibelikan rujak.
Mengusap pelipis, Bryan berpikir dimana ia bisa mendapatkan makanan tersebut.

"Ayolah Bryan... Masa gak mau beliin sih? Kan jarang-jarang aku minta." Gerutunya.

Bryan menatap aneh, jangan-jangan yang dibilang Lian kemarin itu benar. Kalau Sasya sedang.. ngidam.

"Ya sudah.. aku pergi dulu. Kamu baik-baik di rumah." Pamit Bryan sebelum pergi.

Sasya mengambil kentang goreng yang dibuatkan oleh Gladys tadi lalu memakannya. Entah perasaannya saja atau memang nafsu makannya naik menjadi dua kali lipat?
Mengendikkan bahu cuek, Sasya beranjak dari ruang bacaan.

Tiba-tiba saja dirinya ingin melihat ikan di gazebo.

Sedang diluar sana, Bryan sibuk mencari penjual rujak.
Andai saja bukan Sasya yang minta, pasti Bryan tidak akan mengabulkan nya.

Satu jam berlalu, akhirnya Bryan menemukan penjual rujaknya.

"Pak saya pesan dua porsi." Ujar Bryan pelan. Matanya sibuk memperhatikan penjual yang tengah memotong buah.

"Buat istrinya ya?" Tanya sang penjual tiba-tiba.

Bryan tersenyum tipis, "Iya pak." Jawabannya kalem.

Penjual terkekeh mendengarnya. "Wajar kalau lagi ngidam, suka yang aneh-aneh." Gumamnya. Pria paruh baya tersebut belum menghilangkan senyumannya.
"Tapi kalau bisa, tuan harus menyanggupi permintaan istrinya." Ia memberi tahu.

Alis Bryan terangkat. Dengan penasaran Bryan bertanya. "Memangnya kenapa pak?"

Si penjual tertawa kecil. "Kalau gak diturutin nanti anaknya ileran."

Bryan menggeleng cepat, ia tidak mau hal itu terjadi. Apapun akan ia turuti, ia tidak mau anaknya itu ileran.
Bisa gawat.. ia akan repot nanti kalau harus selalu bawa tisu kemanapun ia pergi.

"Kalau boleh tau, ini anak yang ke berapa?" Tanya penjual rujak itu.

"Sebenarnya saya belum tau pasti kalau istri saya sedang hamil atau tidak. Tapi jika benar, ini adalah anak pertama kami." Ujar Bryan jujur.

Pria paruh baya tersebut menatap Bryan.
"Kalau betul, selamat anda akan menjadi seorang ayah."

Bryan tak dapat menahan senyum manis nya lebih lama.
"Terimakasih pak." Ujar Bryan sebelum membayar dan pergi.

Bahkan Bryan menambahkan bonus pada si penjual rujak.

Pria paruh baya tersebut tertawa melihat kelakuan Bryan. Ah.. ia merasa teringat kembali saat berada di posisi yang sama dengan Bryan.

Bryan segera meluncur dengan kecepatan tinggi.
"Kalau emang iya Sasya lagi hamil, aku sangat bahagia, ah iya. Aku harus buat janji sama Azuna." Gumam Bryan lirih.

Ia tak sabar menantikan kehadiran Bryan junior ataupun Sasya mini.

Next....?

25 Jan 2019

Gimana hayo sama chapter ini? 😋👻

Menara Cinta (Season 2) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang