002

12 4 0
                                    

Dengan terpaksa, Sierra mengikuti mata kuliah keduanya hari ini. Dia mengambil bangku paling belakang yang artinya paling atas, tempat dimana para laki-laki malas duduk.

Kali ini dosen pengampunya adalah dosen paling muda yang dimiliki di fakultasnya. Dosen dambaan mahasiswi. Pak Dinata.

Ketika sedang asyik menulis dinotenya untuk menghilangkan rasa jenuh, dosen muda itu menyapanya menggunakan mikrofon. "Hooo, ada Nona Hudson." Seketika Sierra melepaskan kesibukannya dan menatap Pak Dinata yang terlihat jauh dari tempat duduknya. Dia tersenyum canggung.

Nona Hudson? Ahh Sierra lupa, dosennya ini sudah tau dengan dua namanya. Pasti dia bingung untuk memanggilnya Manuella atau Sierra. Hufff.

Semua mahasiswa/wi yang ada didalam kelas celingukan mencari sosok manusia yang disapa oleh Pak Dinata. Mengetahui kalau mahasiswa/wi kebingungan, Pak Dinata membenarkan. "Maksud saya Sierra."

"Sierra, bisakah kau turun dan membantu saya menjelaskan desain ini." Tambahnya.

"Pak, apa bapak sedang bercanda? Sierra sudah lama off dari perkuliahan, bagaimana dia bisa menjelaskan?" Ucap Tiara, asisten dosen dengan nada pelan dan hanya mendapat senyuman dari Pak Dinata.

Bagaimana Pak Dinata tidak memilih Sierra, desain resort ini yang paling paham disini hanya Sierra. Karena arsitek yang membuatnya adalah Galatea Sameus Hudson. Kakak tertua Sierra yang sekarang menjadi seorang arsitek terkenal di negara maju Eropa.

Sierra tidak menolak, dia dengan langkah malas menuruni tangga, menerima mikrofon yang diberikan asisten dosen.

Sierra mulai menjelaskan tanpa ragu setiap seluk beluk desain tersebut seakan-akan dialah asisten dosen yang sudah diberi materi ini sebelumnya.

"Ada pertanyaan?" Tanya Sierra diakhir penjelasan dan benar saja, banyak tangan menjulur ke atas. Tiara memberikan mikrofon lain ke salah satu mahasiswa.

"Sebelum nanya, boleh kan aku nyapa kamu dulu, Ra? Hai Ra, you look gorgeous today. Suka banget sama stylemu yang sekarang." Ucap mahasiswa yang Sierra kalau tidak salah ingat namanya Dewa yang pernah menjadi pengagum rahasianya di semester awal. Semua mahasiswa mencibir tingkah Dewa. Sierra tersenyum, "Makasih banyak."

"Sudah basa-basinya, Wa?" Sindir Pak Dinata. Dewa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan nyengir-nyengir tidak jelas.

"Udah lama gak ketemu Sierra, jadi lepas rindu dulu gak apa kan, Pak?" Serentak seluruh siswa berhuuu ria. "Oke-oke nih aku tanya. Cincin cantik dijari lentik kamu itu bukan cincin tunangan kan, Ra?"

Hmm Sierra merutuki kebiasaannya yang memegang benda dengan tangan kiri. Gagal sudah buat menyembunyikan cincin itu!

"Astaga, Wa! Mutu dikit napa!" Teriak salah satu mahasiswa.

"Ya sorry, aku cuman mau bantu tuh orang yang dari tadi kaya cacing kepanasan pas Sierra pidato." Dewa menunjuk temannya yang duduk di barisan tangah yang memang selama Sierra menjelaskan didepan, dia selalu merubah posisi duduknya seperti tidak nyaman.

Semuanya ikut melihat ke arah yang Dewa tunjuk. Tak terkecuali Sierra.

"Lah sianjir, pidato!" Ucap Nandar, orang yang sedang menjadi pusat perhatian seisi kelas.

Tidak mau semakin ribut, Tiara mengambil mikrofon dan menyerahkan ke seorang mahasiswi lain.

"Loh kok diambil, kan belum dijawab!"

Pak Dinata yang menjawab, "Pertanyaan kamu diluar materi, Dewa!" Dewa mendengus. "Oke kita lanjut!"

*

Di mata kuliah ketiga Sierra memilih untuk pulang. Rasanya dia sudah enggan untuk berlama-lama dikampus. Kakinya melangkah menyusuri koridor yang ia tahu akan mengantarnya ke pintu keluar.

Baru hampir sampai di persimpangan koridor, Sierra menghentikan langkahnya. Dia baru ingat kalau jalan yang dia pilih ini akan melewati ruang BEM*, ruangan yang sedari pagi tadi dia hindari. Tapi apa daya, Sierra melanjutkan langkahnya.

Sierra mulai parno sendiri, namun keparnoannya seketika hilang saat melihat tidak ada orang disekitar ruangan itu. Bahkan ruang BEM tertutup rapat. Sierra mengerutkan keningnya mengetahui lampu didalam ruangan tersebut menyala. Tak berapa lama, beberapa suara terdengar dari dalam.

Sierra melihat jam tangannya. Hm, rapat dijam makan siang. Apa sedarurat itu? Batinnya. Sierra berhenti didepan ruangan itu. Bukannya apa-apa, dia hanya menunggu notifikasi dari seseorang.

"Kurang 1 bulan lagi dan kekurangan dana kita masih sebesar ini. Apa yang mau kalian lakukan? Pihak kampus pasti akan langsung membatalkan acara kita kalau mereka tahu keuangan kita masih jauh dari yang kita butuhkan." Ucap seseorang didalam dengan nada lebih keras dari suara sebelumnya. Benar dugaan Sierra, didalam sedang ada rapat para eksekutif.

"Bagaimana kalau kita lakuin apa yang Sierra lakuin tahun lalu? Masukin proposal kemana aja yang penting nutup target." Ucap salah seorang lainnya. Sierra tiba-tiba merasa bersalah.

"Sierra? Sierra kan yaa?" Panggilan itu membuat Sierra hampir tersentak dan membuat orang didalam ruangan seketika diam.

"Eh, Mace. Iya, ini Sierra, Mace." Sierra mencoba tenang. Pasalnya dia seperti orang yang kegep ngupingin ibu-ibu ngerumpi.

"Kamu kemana aja, kok baru kelihatan." Sierra hanya nyengir. "Yuk kantin, aku kangen makan bareng kamu nih."

Sierra menggelengkan kepalanya, "Maafin aku, ya, Ce. Aku gak bisa temenin kamu makan. Kayanya temenku udah jemput. Next time yaa." Sierra langsung meninggalkan temannya dengan langkah besar.

"Next time, bener yaaa." ucap Mace dengan nada sedikit di perkeras karena Sierra sudah berjalan menjauh.



========== ========== ==========

* Badan Eksekutif Mahasiswa

STONE COLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang