Butterfly

629 61 54
                                    

'Aku ingin meraihmu, tapi kau pasti akan terbang jauh dan hancur karenaku. Aku takut, sangat takut.'

.

Aira berjalan dengan tatapan kosong menyusuri sepanjang rel kereta api itu. Menggenggam tali tas punggungnya erat sembari menahan air mata yang mendesak keluar. Kata-kata kasar yang dilontarkan padanya beberapa saat lalu masih membekas di ingatannya. Kalimat yang berulang kali berputar di kepalanya seperti mantra yang mematikan.

'Kau anak tidak berguna!'

'Bisakah kau melakukan sesuatu dengan benar?!'

'Kenapa aku harus terjebak di dunia ini bersamamu?'

'Begini saja kau tidak bisa!'

'Kau menyedihkan! Lebih baik kau saja yang pergi waktu itu!'

'Pembunuh!'

Tanpa sadar kini Aira sudah terisak dengan sangat menyedihkan, orang-orang di sekitarnya melihatnya aneh sambil berbisik-bisik. Aira tau, tapi dia tidak terlalu ambil pusing. Hatinya sedang sangat terluka, dan dia tidak tau harus kemana.

Pulang?

Ya, dia sangat ingin pulang. Ke rumah yang memberikan kenyamanan, ke tempat setiap orang biasanya mengadukan semua keluh kesahnya dengan lantang namun tetap merasa aman.

Rumah, ya?

Apa dia memiliki hal itu di dunia ini?

Badan Aira menegang tiba-tiba saat ia mendengar suara klakson kereta yang menggema di seluruh wilayah itu. Langkah kakinya terhenti dan ia membalikkan badannya hati-hati.

Gadis bermanik cokelat itu melihat sebuah cahaya menyilaukan dari arah yang bersebrangan dengannya. Diiringi dengan suara yang mengerikan bagi siapapun yang mendengarnya kala itu.

Tubuhnya bergetar takut. Dia ingin lari dari sana dan menyelamatkam diri, tapi sisi lain dirinya memintanya untuk tetap tinggal.

Jika kereta itu menabraknya, apa semua beban hidupnya akan hilang? Apa dengan cara ini dia bisa melarikan diri dari penderitaan yang menderunya setiap detik dalam hidupnya?

Aira tersenyum kecil. Mungkin memang inilah jalan keluar yang ia cari. Tidak akan ada yang menangis kalau dia pergi dari dunia ini 'kan? Jadi, untuk apa dia bertahan?

Gadis cantik itu menarik nafas dalam, tangan terkepal di sisi tubuhnya kuat. Ia memejamkan matanya perlahan kala kereta semakin dekat. Meskipun di dalam hatinya Aira sangat ketakutan akan yang terjadi setelah kereta itu berhasil meraihnya, tapi Aira seakan dibutakan oleh kebebasan semu yang akan dia dapatkan bila ruhnya terpisah dari raganya.

"Ini dia." Aira berujar lirih, ia bisa merasakan kereta itu hanya beberapa meter saja dari dirinya. Air matanya kembali menetes sebelum akhirnya ia merasakan tubuhnya terhempas ke samping. Berguling beberapa kali sebelum akhirnya ia mendarat pada sesuatu yang empuk.

Ini aneh. Kenapa rasanya ia seperti berada di atas—

Manusia?

Aira membuka matanya cepat saat ia mendengar suara rintihan di bawahnya. Matanya membulat dramatis seolah ia melihat makhluk tak kasat mata. Bagaimana Aira tidak kaget? Sekarang, di bawahnya ada seorang laki-laki berkulit seputih salju yang menatapnya tidak bersahabat.

Garis wajahnya tegas meskipun pemuda ini memiliki kulit yang nampak halus. Matanya kecil, tapi tatapannya setajam pisau buatan Jerman. Sungguh, semua hal yang ada pada pemuda ini mengandung kontradiksi.

LIFELINE | K.T.HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang