The Day We Met

861 71 40
                                    

'Aku tau, lari tidak akan menyelesaikan apapun. Tapi aku merasakan kebebasan yang tidak pernah ku rasakan saat aku berlari.'

.

Jantung Taehyung berdetak lebih kuat saat ia menambah kecepatan laju motor sportnya malam itu. Berbekal kemeja flannel berwarna hitam yang senada dengan celana panjangnya serta kaos putih tipis, Taehyung nekat menggeber kuda besinya ke sisi atas Seoul.

Angin malam bulan November kala itu seakan tidak mengganggunya, mata tajamnya terus menatap jalanan fokus. Dari balik helm fullface-nya, terdapat beberapa luka yang sobek dan goresan. Namun, tetap saja, Taehyung tidak peduli.

Yang ia inginkan sekarang hanyalah- lari.

Sakit fisik yang dia rasakan, sungguh tidak ada bandingannya dengan sakit yang dirasakan hatinya. Lubang hitam di hatinya memang tidak terlihat, namun sakitnya jelas nyata. Mengacaukan fungsi tubuhnya. Mengacaukan cara berfikirnya. Mengacaukan-nya.

Suara decitan memekakkan telinga terdengar saat ia mengerem motor sportnya. Taehyung masih diam di posisinya. Merasakan air mata yang ia tolak kehadirannya mulai menumpuk di pelupuk matanya. Perlahan ia mengangkat kepalanya.

Menoleh ke samping kanan dan bahu kokoh Taehyung yang awalnya terlihat kaku kini perlahan melemas. Sepanjang mata rubahnya memandang, lampu-lampu kota bak bintang itu seolah menenangkannya.

Ia mengangkat sebelah tangannya dan membuka helmnya dengan gerakan cepat. Surai biru lautnya jatuh dengan sempurna. Sebagian menutupi bagian matanya. Membuat kesan misterius pada sosok Taehyung.

Taehyung menutup matanya lalu mendongak. Membiarkan angin malam menyentuh lembut wajah tampannya yang dihiasi luka. Rambut birunya seolah bersinar kala sinar bulan menerpanya. Ia terlihat tenang, meskipun rahangnya mengeras. Hidungnya sedikit kemerahan karena dinginnya malam itu. Perlahan sudut bibirnya terangkat, ia menyeringai.

Demi apapun.

Taehyung itu tampan.

Sangat tampan.

Namun ia terlalu lama tersakiti. Terlalu lama memendam perasaannya sendiri. Menolak semua orang yang mencoba-meraihnya. Ia punya alasan untuk bersikap demikian. Menyendiri bukanlah hal yang dia sukai, menjadi pemberontak juga menyalahi hati nuraninya.

Taehyung hanya rindu.

Merindukan rumah yang dulu selalu memberikan kehangatan baginya. Satu-satu alasan baginya untuk tersenyum setelah penat dengan keseharian di sekolah. Tumpuannya di kala ia terhantam masalah. Sumber kebahagiannya, sumber cinta dan kasih sayang yang ia butuhkan. Tempat yang akan ia selalu tuju saat ia lelah dengan dunia.

Sekarang, tidak ada lagi tempat baginya yang layak ia sebut rumah. Karena rumahnya telah hancur. Bersamaan dengan jiwanya yang hancur tiga tahun lalu.

Rumahnya, kini terbelah menjadi dua.

Dua buah istana megah dengan Taehyung seorang di dalamnya. Banyak orang beropini, pasti enak hidup menjadi seorang Kim Taehyung. Tampan, pintar dan berasal dari keluarga kaya.

Apalagi yang kurang darinya?

Ia tak perlu repot-repot belajar untuk mendapat nilai bagus, belajar 5 menit sebelum ujian dan lulus dengan nilai memuaskan sudah biasa baginya. Ia tidak perlu repot-repot memikirkan penampilannya di depan para gadis, bahkan penampilan acak-acakan Taehyung bisa membuat gadis-gadis menjerit. Ia tidak perlu repot-repot memikirkan masa depan karena masa depannya sudah disiapkan.

Menganggumkan bukan? Ya.

Tapi tidak bagi, Taehyung.

Ia menghela nafas berat. Membuka matanya dan menatap lurus ke arah kota di depannya. Ia terkekeh pelan dan terkesan miris.

LIFELINE | K.T.HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang