Aku Nami!

538 40 2
                                    

Aku Nami Maharani, anak yang dibesarkan dari keluarga yang terpecah belah, ibuku menikah lagi dengan suami orang (beliau bahkan rela menjadi istri kedua), sedangkan ayahku menikah lagi dengan gadis yang seumuran denganku. Biaya hidupku sepenuhnya dari warisan kakekku, entahlah sejak SMP sampai sekarang aku memang terbiasa hidup sendiri bahkan tidak suka bergaul.

Hari ini, hari pertama memasuki semester 2 di kelas XII, itu berarti waktu belajarku di sekolah ini hanya tinggal beberapa bulan lagi. Akan banyak latihan dan ujian-ujian yang dihadapi, dan aku hanya perlu sabar untuk melewatinya, karena setelah tamat SMA aku ingin lebih menyendiri di rumah sembari menulis novel. Ya, uang biaya kehidupanku dari warisan kakek cukup banyak bahkan bisa untuk seumur hidup, itu alasannya aku malas untuk melanjutkan pendidikan, tapi aku faham masa depan itu tidak ada yang tahu, jadi ya jalani saja hidup-hidup seperti ini.

Aku bergegas menuju kelas yang berada di lantai 3 dan paling ujung dekat WC, entah kenapa tiba-tiba dari arah berlawanan seorang pria berlari dan menabrakku.

Bruuuk....

Teman-teman saling menatapi kami, aku yang introvert jadi merasa malu dan segera bergegas ke dalam kelas. Namun dia menarik tanganku dan mengatakan "Sialan masih ada ya orang yang klo ada gue gak minggir, nj*r nyia-nyiain waktu". Aku pun masabodo, lalu mengabaikannya dan bergegas pergi.

Di Sekolah ini aku satu sekolah dengan anak dari istri pertama suami ibu, kami seangkatan namun berbeda kelas. Satu sekolah mengetahui bahwa ibuku merupakan istri kedua ayah Elana. Tentu, Elana sangat membenciku, dia selalu menyebutku "Anak Pelakor" hingga hampir semua teman-teman pun mengikutinya. Wajar, semua wanita memang tidak ingin dimadu, tidak ingin merasakan kasih sayang yang terbagi, apalagi bagi seorang anak yang memang masih ingin merasakan kasih sayang penuh dari kedua orangtuanya, aku faham itu.

**Di dalam kelas**

Riri (teman semejaku) "Hei Nami, gimana liburannya? Kemana aja nih kutu bukunya kelas A?" (Sambil tertawa mengajak canda)
Aku pun menjawab dengan singkat "Di Rumah"

Sudah, kata pertama yang muncul di awal semester akhir hanya itu. Riri pun tidak melanjutkan percakapan kami sampai bel pulang berbunyi. Dulu aku menaruh harap pada Riri, aku pernah terbuka padanya dan sudah kuanggap dia sebagai teman dekatku. Namun pada akhirnya ketika aku dalam keadaan terpuruk bahkan di hadapannya pun dia dengan tenang melihatku, matanya penuh kebahagiaan, dan sempat terlihat senyumnya di sela-sela hari itu.

____________________________________


IG @kikibolo7

Titik Terendah Dalam BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang