Jika saja manusia, mungkin jam beker itu sudah kehabisan suara. Sudah lebih dari tiga puluh menit yang lalu jam beker itu berbunyi tapi gadis yang meringkuk dibalik selimut itu masih asik dengan dunia mimpinya.
"Allahu Akbar, Ify! Ini sudah jam berapa kamu belum bangun?" Seruan wanita paruh baya yang menjabat sebagai Ibunya itu hanya memberikan efek menggeliat untuk Ify.
"Kamu nggak sekolah, hah?" Gina selalu habis kesabaran jika menghadapi putrinya yang sedang tidur. Ibarat kata geledek dan guntur mengamuk, itu tak akan membuat Ify meninggalkan mimpinya untuk mengungsi.
Dengan cepat, Gina membuka tirai jendela hingga cahaya matahari mulai menyinari kamar Ify membuat sang empunya menggeliat karena silau. Saat Ify bermaksud untuk bersembunyi di dalam selimut, Gina segera menarik selimut hingga Ify terganggu dan membuka matanya.
"Apa sih, Ma. Ify masih ngantuk," gerutu Ify dengan mata yang masih setengah terpejam.
"Kamu nggak sekolah, hah? Lihat ini jam berapa!" Gina berkacak pinggang menatap putri sulungnya yang menggeliat malas lalu meraih jam beker dan melihatnya.
Dua detik dalam keheningan sebelum mata Ify terbelalak lebar. Jarum jam di beker menunjukkan pukul 06.40.
"Kyaaaaaaaa!!!!! Ify telat! Kenapa Mama nggak bangunin Ify, sih?" Dengan gerakan super cepat, Ify segera menyambar handuk dan berlari menuju kamar mandi, meninggalkan Ibunya yang hanya bisa mengurut dada melihat kelakuan Ify yang tidak pernah berubah sejak kecil.
Hanya dalam waktu sepuluh menit, Ify sudah turun dengan tangan yang masih menenteng dasi. Langkahnya terburu-buru karena waktunya tinggal sepuluh menit lagi sebelum bel berbunyi dan pagar sekolah di tutup.
"Fy, sarapan dulu!" teriak Gina saat melihat Ify sudah berlari keluar rumah. Sarapan yang sudah ia siapkan sama sekali tak dilirik oleh Ify.
"Nggak sempet, Ma!" Teriakan Ify sudah terdengar sayup dengan derum motornya.
****
"Plisss Pak, bukain pagarnya! Pak Sholeh kan baik," rayu Ify kepada satpam sekolah agar berbaik hati membuka pintu gerbang untuknya. Meski sudah melajukan kecepatan motor secepat yang ia bisa, tapi tetap saja masalah kemacetan menjadi faktor utama kenapa Ify tidak bisa datang tepat waktu. Padahal jika kondisi normal, Ify bisa sampai di sekolah hanya dalam waktu delapan menit, tak peduli meski jarum spedometer hampir menyentuh angka sembilan puluh.
"Maaf, Non. Tapi ini sudah sepuluh menit yang lalu bel berbunyi," sahut Pak Sholeh yang sepertinya sudah bosan dengan rengekan Ify.
"Ayolah, Pak! Hari ini Ify ada ulangan Fisika, Pak Sholeh tahu sendiri bagaimana jahatnya Pak Duta kalau menyiksa muridnya." Ify mengatupkan kedua tangannya di depan dada, memasang wajah memelas yang begitu meyakinkan.
Pak Sholeh mendesah pasrah, pada dasarnya Pak Sholeh terlalu baik untuk menjadi satpam. Apalagi untuk murid seperti Ify yang hobinya terlambat.
"Baiklah! Tapi ini untuk terakhir kalinya terlambat ya, Non!" ujar Pak Sholeh sambil membuka pagar.
"Makasih Pak Sholeh yang Sholeh," sahut Ify cepat lalu melesat masuk meninggalkan Pak Sholeh yang hanya mampu menggelengkan kepalanya.
Ify berhenti di ujung koridor, memeriksa keadaan siapa tahu ada guru piket yang sedang berkeliling. Saat merasa suasana sudah aman, Ify segera melanjutkan langkahnya menuju ke kelasnya yang tinggal beberapa meter lagi.
Sampai di depan kelas, Ify mengintip dari kaca jendela untuk memastikan jika Pak Duta tidak memperhatikan dirinya yang sedang mengintip.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Time √ (Tersedia Dalam Versi Cetak)
FanfictionMario Pratama, Mahasiswa UI yang meninggal terbunuh di rumahnya sendiri. Mendapat kesempatan kedua untuk menemukan siapa pembunuhnya karena polisi telah menutup kasus ini sebelum kasusnya selesai. Alifya Zahranti, salah satu siswi SMA PERMATA di Jak...