"Bagaimana?" tanya Gabriel saat Ify sudah masuk ke mobil.
"Beres!" sahut Ify sambil mengenakan earphone kecil di telinganya.
Gabriel tersenyum tipis. Rencana hari ini lancar, Ify berhasil menempelkan penyadap suara ke pigura foto yang diperlihatkan oleh pembantu di rumah Dea tadi.
"Kamu dapat darimana sih alat itu?" tanya Ify heran. Pasti alat itu sangat mahal.
"Kepo, ya?"
"Nggak!" sahut Ify singkat dengan tangan terlipat di depan dada. Meski sangat ingin tahu, tapi ia juga tak mau jika terkesan ingin mau tahu banget. Setidaknya jual mahal sedikit biar Gabriel nggak terlalu mengejeknya, karena entah sejak kapan Gabriel selalu menempel padanya dan selalu menyiapkan hal yang ia perlukan untuk menyelesaikan kasus ini.
"Kenapa?" tanya Gabriel saat Ify tiba-tiba saja terdiam.
"Bagaimana kamu tahu?"
"Apanya?" tanya Gabriel bingung.
"Bukankah aku tidak pernah cerita masalah sebenarnya padamu?"
Gabriel mengangguk paham. "Apa kau akan percaya jika aku bilang kalau aku seorang analisi yang hebat?"
"Bermimpilah, aku tak akan percaya." Ify mendengus. Selalu saja pemuda satu ini terlalu percaya diri. Ify mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil. Keduanya terdiam hingga mobil Gabriel berhenti di depan rumah Ify.
"Nggak nawarin masuk, pulang sana!" ucap Ify sebelum Gabriel sempat bicara.
Pemuda itu merengut, bibirnya mengerucut.
"Nggak usah pasang muka minta ditabok, tanganku terkadang bergerak otomatis."
Gabriel menormalkan ekspresinya lalu terkekeh. Ify memang tidak ada manis-manisnya sama sekali, sudah dibantu bukannya bilang terimakasih malah mengusir.
"Selamat beristirahat, Tuan Putri!"
Gabriel memberikan senyum terbaiknya sambil masuk ke mobil. Ify masih diam di tempat hingga mobil milik Gabriel melaju meninggalkan pekarangan rumahnya. Setelah mobil Gabriel hilang di ujung jalan, barulah Ify masuk ke rumahnya.
Tak terlalu jauh dari rumah Ify, tepat di atas dahan pohon mangga, Rio menatap interaksi keduanya. Ada senyum tipis terukir meski tangannya mencengkram dahan pohon mangga itu hingga buku-buku jarinya memutih.
****
Ify menghempaskan tubuhnya ke kasur, ia memandangi headshet yang menghubungkan dengan penyadap suara di rumah Dea. Sejauh ini belum ada sesuatu yang mencurigakan. Meski nanti ia tak bisa selalu mendengarkan apapun yang terjadi di rumah Dea, untung saja Gabriel memberikan alat yang tak tanggung-tanggung. Headshet itu dilengkapi dengan alat perekam suara yang bisa diputar ulang. Bentuknya sangat kecil, berwarna putih dengan dua tombol berbeda. Kata Gabriel tombol yang di atas untuk mengaktifkan headshet, sementara tombol yang dibawah jika ingin memutar ulang rekaman. Meski Ify selalu memakai saat sekolah, tak akan ada yang menyadari kecuali dia orang yang terlampau jeli.
"Kak, suruh turun sama Mama!" Ray berteriak dari luar pintu mmembuat Ify meletakkan headshet itu di meja belajarnya.
Meja makan sudah penuh dengan hidangan lezat yang menggiurkan. Ray sudah duduk manis beserta Ayahnya sementara Gina sibuk menyiapkan segala sesuatu.
"Wahhh, dalam rangka apa nih?" celetuk Ify sambil duduk di kursi yang bersebelahan dengan Ray.
"Kamu lupa?" Gina bertanya heran. "Kan hari ini ulang tahun kamu sendiri."
Mata Ify terbelalak lebar. Ia benar-benar lupa jika hari ini adalah ulang tahunnya. Pikirannya penuh dengan berbagai kejadian mengejutkan akhir-akhir ini. Tradisi di keluarga Ify memang seperti itu, mereka akan makan besar bersama saat ada salah satu anggota keluarga yang berulang tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Time √ (Tersedia Dalam Versi Cetak)
FanfictionMario Pratama, Mahasiswa UI yang meninggal terbunuh di rumahnya sendiri. Mendapat kesempatan kedua untuk menemukan siapa pembunuhnya karena polisi telah menutup kasus ini sebelum kasusnya selesai. Alifya Zahranti, salah satu siswi SMA PERMATA di Jak...