part 7

725 60 18
                                    

Ify terdiam dengan laptop menyala di depannya. Gelang yang kini berada di tangannya ia perhatikan lebih rinci. Siapa tahu ia menemukan petunjuk. Mungkin saja sang pemilik mengukir namanya di sini. Namun setelah sekian lama, ia tak juga menemukan apa yang ia cari. Gelang ini benar-benar licin tanpa coretan sedikitpun.

Ify tersentak saat mengangkat wajahnya, Rio sudah berdiri di depannya.

"Bisa nggak sih, nggak muncul tiba-tiba?" sungut Ify.

Rio mendesah kesal. "Terus aku harus gimana? Ketuk pintu dulu?"

"Ya kan bisa kamu munculnya dari jauh, nggak langsung di depanku gitu."

"Udahlah nggak penting. Gimana? Udah ada perkembangan?" tanya Rio.

Ify membalik laptopnya ke hadapan Rio, menyuruh pemuda itu untuk membaca. Ify mengamati ekspresi Rio yang serius membaca, sesekali keningnya mengkerut, terkadang matanya sedikit membola. Mungkin sama terkejutnya seperti ia dan Agni saat membaca pertama kali. Jika diperhatikan lebih dalam, Rio memang sangat manis.

"Bodoh!" Ify memukul kepalanya sendiri. Bisa-bisanya ia terpesona dengan makhluk tengil satu ini.

"Siapa yang bodoh?" tanya Rio dengan kening berkerut. Meski berbisik, Rio masih bisa mendengar karena jarak mereka lumayan dekat.

"Nggak ada. Emang siapa yang ngomong?" elak Ify.

Rio mengedikkan bahunya tak peduli dan memilih melanjutkan bacaan tentang gelang aneh yang ditemukan di taman belakang rumahnya.

"Ini ... serius?" Rio bertanya lirih setelah selesai membaca artikel tentang gelang itu.

Ify hanya mengangguk sebagai jawaban lalu keduanya terjebak dalam keheningan yang cukup lama. Baik Ify maupun Rio sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Yo!"

"Fy!"

Rio dan Ify berucap bersamaan.

"Duluan aja!"

Lagi-lagi keduanya berucap bersamaan. Setelahnya, tawa keduanya pecah bersamaan.

"Ladies first," ucap Rio pada akhirnya.

Ify terdiam sejenak. "Aku lupa mau bilang apa," katanya kemudian yang membuat Rio mendengus kesal.

"Katanya pinter, gitu aja lupa," cibir Rio sambil menoyor kepala Ify.

"Eh, tangan jangan kurang ajar, ya? Ini kepala bukan bola," sungut Ify sambil menepis tangan Rio yang nyatanya hanya menampar angin.

"Nggak adil, nih!" protes Ify.

Kening Rio mengkerut. "Kenapa?"

"Masa cuma kamu doang yang bisa pegang, sementara aku nggak?"

"Ya mana aku tahu!" Rio mengedikkan bahunya tak peduli.

"Nyebelin! Pergi sana!" usir Ify agar ia bisa tidur siang dengan nyenyak.

"Nggak! Aku nggak akan pergi, kita harus ke rumah Dea."

"Mau ngapain lagi?" tanya Ify dengan muka memelas. Ia sangat ingin tidur siang. Saat seperti ini, kasur adalah surga, daripada di jalan di panggang sama sinar matahari.

"Tentu saja cari tahu tentang gelang ini."

****

Siang panas yang terik membuat Ify sudah bercucuran keringat. Apalagi jarak dari rumahnya lumayan jauh, rumah Dea terletak di komplek Kebayoran Lama.

"Beneran masuk, nih?" tanya Ify ragu-ragu.

"Mau di sini terus?" Rio balik bertanya.

"Kamu aja, gih yang masuk. 'Kan nggak bakalan dilihat orang!"

Second Time √ (Tersedia Dalam Versi Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang