5. Bumi Yang Asing

12.7K 556 12
                                    

2 tahun kemudian...

Terlihat seorang gadis memakai tunik berwarna putih dan pashmina biru dongker baru saja keluar dari kantor polisi. Sesekali ia menarik napas panjang, lalu mengedarkan pandangannya seraya mengusap perutnya yang bergemuruh. Saat mata coklatnya merujuk pada seorang ibu penjual asongan, gadis itu segera menarik selembar uang senilai sepuluh ribu dari kantung celananya. Dipandanginya uang itu cukup lama, itu adalah uang terakhir yang ia punya. Kalau uang itu ia belikan makanan sekarang, lalu besok bagaimana ? Dari mana ia akan makan ?

Tapi ya sudahlah, urusan besok itu bagaimana besok. Yang penting sekarang ia bisa memberi makan cacing-cacing di perutnya. Setelah cukup berpikir, gadis itu menghampiri ibu penjual asongan. Hatinya mencelos melihat masih banyaknya dagangan si ibu, padahal hari sudah menjelang sore, seharusnya dagangan ibu sudah terjual habis. Tapi itulah rezeki. Kadang datangnya lancar, kadang sedikit alot.

"Permisi bu, lontongnya berapa ya ?" Gadis itu berjongkok di samping si ibu, yang tampak senang karena akhirnya ada yang mau membeli dagangannya.

"Sebiji dua rebu, Neng," jawabnya dengan logat betawi yang kental.

"Gorengannya berapa ?" Gadis itu, menunjuk bakwan goreng.

"Serebu."

"Oh, saya beli lontongnya dua, bakwannya dua, sama air mineralnya satu, ya."

"Baik, Neng." ibu penjual dengan sigap membungkus lontong dan bakwan ke dalam kertas yang dilipat menyerupai besek. "Ini, Neng. Semuanya jadi sepuluh rebu."

Pas. Gadis itu menerima bingkisan dari si ibu, lalu menyerahkan uang sepuluh ribu, dan bergumam terima kasih.

Aira Nirmala nama gadis itu. Berasal dari kota hujan, Bogor. Datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaaan. Namun naas menimpa Nirmala, ia terkena musibah, kehilangan tas berserta isinya di tengah perjalanan, dicuri orang tidak bertanggung jawab. Nirmala hanya ketiduran sebentar, lalu saat terbangun, tasnya tiba-tiba sudah raib. Sepertinya sengaja ada yang mencuri tas Nirmala. Setelah turun di terminal, Nirmala segera melapor ke polisi, namum setelah dua hari Nirmala belum mendengar kabar mengenai nasib tasnya.

Ini sudah hari ketiga Nirmala terlunta-lunta di jalanan ibukota. Semua barang berharga Nirmala ada ke dalam tas. Hp, dompet, surat lamaran dan ijazah. Bahkan ada nasi timbel juga, bekal dari rumah untuk di perjalanan. Yang tersisa hanya uang dua puluh ribu yang terselip di kantung celana Nirmala, sisa membeli tiket. Mau kembali ke Bogor, tidak punya ongkos. Mau menelpon kerabat-kerabatnya tidak hafal nomor mereka. Nirmala kebingungan, yang bisa dilakukan saat ini hanya menunggu kabar dari pihak kepolisian. Sementara belum punya tempat tinggal, Nirmala menumpang tidur di Mesjid. Lebih baik, daripada meringkuk di emperan.

Sambil menikmati lontong di pinggir trotoar, Nirmala memikirkan  rencana selanjutnya. Kalau sampai besok kasusnya belum ada perkembangan, Nirmala akan mulai mencari pekerjaan di pasar, atau di warung-warung makan, yang tidak membutuhkan ijazah. Tidak masalah, walau hanya menjadi buruh cuci piring, yang penting Nirmala bisa makan. Ya. Keputusannya sudah bulat.

Nirmala melempar bungkus daun ke dalam tong sampah, lalu mengeluarkan lontong kedua. Perut Nirmala belum kenyang hanya dengan makan satu lontong. Lontongnya sangat kecil, ngomong-ngomong. Maklum harga dua ribu. Saat Nirmala hendak menggigit lontongnya, tanpa sengaja pandangannya jatuh pada seorang anak jalanan yang tengah berdiri tak jauh dari Nirmala. Anak itu membawa gitar mini yang digunakan untuk mengamen.

"Kamu sudah makan ?" tanya Nirmala, memperhatikan bocah lelaki sekira umur sembilan tahunan. Bocah itu menggeleng, matanya tertuju pada kue basah di tangan Nirmala. Nirmala tebak pasti bocah itu kelaparan karena tidak punya uang untuk beli makanan. Nirmala pun masih lapar, tapi ia tidak sampai hati makan sendirian, sementara ada bocah kelaparan yang meminta belas kasih Nirmala, meski bocah itu tidak mengatakan secara langsung.

"Nih, kamu makan lontong punya kakak. Masih bersih kok. Kakak baru buka bungkusnya aja, tapi belum sempet makan," Nirmala mengangsurkan lontong beserta gorengannya kepada bocah pengamen.

"Terus Kakak gimana ?" tanya bocah itu, ragu.

"Kakak udah kenyang, tadi udah makan satu. Yang ini buat kamu aja. Ayo diterima." Nirmala meletakan paksa lontong itu ke tangan si bocah. Mata bocah itu berbinar menerima lontong pemberian Nirmala. Ia langsung memakannya, tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Nirmala.

Nirmala juga memberikan botol minumnya yang masih tersisa setengah. "Ini minumnya gak apa-apa bekas ya. Kakak sehat kok, gak ada penyakit menular. Dijamin."

"Gak apa-apa, kak. Makasih. Semoga Allah mengganti kebaikan kakak dengan rezeki yang lebih berlimpah," do'a bocah itu, yang diamiinkan oleh Nirmala.

"Amiin. Ya udah kakak pergi dulu, ya. Udah adzan magrib. Kamu juga cepet pulang, nanti dicariin Ibu." Nirmala mengusap kepala bocah itu, lalu melenggang pergi menuju sebuah Mesjid.

***

Selesai mengucap salam, Nirmala tak segera melepas mukenanya. Ia mengangkat tangan khusuk, berdoa pada sang Khaliq agar diberikan petunjuk kemana ia harus melangkah. Lalu dilanjut dengan dzikir sampai menjelang isya. Setelah sholat isya, Nirmala duduk di teras Mesjid memandang jalanan yang dipadati kendaraan. Meski sudah melewati jam pulang kerja, namun anehnya kemacetan tak berangsur membaik.

"Jakarta kayaknya gak pernah tidur" gumam Nirmala.

Brukk

Mendadak Nirmala dikejutkan oleh suara gedebuk dari sayap kiri Mesjid. Nirmala menoleh, terbelalak melihat seorang wanita terjatuh dan barang bawaannya berhamburan ke tanah. Lekas Nirmala menghampiri wanita itu dan membantunya bangkit.

"Ya Allah. Mbak, gak apa-apa ?"

"Gak apa-apa. Itu tadi saya gak sengaja nginjek tali sepatu, jadi tersandung deh," jawab wanita itu, agak meringis.

"Udah, barang-barang Mbak biar saya yang beresin." Nirmala mendahului kala melihat wanita itu tampak kesakitan saat berjongkok untuk mengumpulkan barang-barangnya yang tercecer.

"Oh. Terima kasih ya, Dek. Jadi ngerepotin."

"Sama-sama. Lain kali hati-hati, Mbak."

"Iya, tadi saya buru-buru."

"Saya bantu carikan taksi ya. Soalnya Mbaknya kayak kesakitan banget." Sebelah tangan Nirmala menjinjing tas, sebelah lagi menggandeng lengan wanita itu. Kasihan melihat wanita itu jalan. "Nanti sampe rumah coba diurut kakinya, Mbak. takutnya terkilir."

"Iya, nanti." Wanita itu tersenyum ramah, yang dibalas Nirmala dengan senyum serupa.

Tak sampai dua menit, terlihat sebuah taxi melintas, Nirmala melambaikan tangan, lalu membantu wanita itu duduk di kursi belakang.

"Sekali lagi terima kasih. Semoga kita bertemu lagi"

"Insya Allah, Mbak...." .

"Kanaya." sambar wanita itu, Naya.

"Mbak Kanaya. Saya Nirmala."

"Sampai jumpa, Nirmala."

"Selamat jalan, Mbak Kanaya," Nirmala membalas lambaian tangan Kanaya. Pandangannya mengiringi punggung taxi, sampai mobil berwarna biru itu hilang ditelan.

TBC

Jodoh Pilihan Mama (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang