7. Sebaris senyum

12.5K 562 13
                                    

"Pelajarilah akhlak, sebelum kau mempelajari ilmu."

(Al-Imam As-Syafi'i)

***

Waktu telah menunjuk angka 22 saat Harris tiba di rumah sakit. Setelah memarkirkan mobilnya, Harris segera beranjak, hampir saja lupa kalau saat itu dia tidak sendiri, di sampingnya ada seorang gadis yang tak sengaja ia temukan di jalan. Masalahnya gadis itu sedang tidur, dan Harris bingung memikirkan cara membangunkan gadis itu tanpa harus menyentuhnya. Mau memanggil namanya, Harris tidak tahu, mereka 'kan belum berkenalan. Meneriaki gadis itu juga bukan ide yang baik. Beruntung gadis itu terbangun di waktu yang tepat, sebelum Haris merealisasikan ide buruknya.

Nirmala menggeliat, mengerjap, lalu menatap sekeliling, sampai mendapati sepasang iris gelap tengah menatap dirinya.

Satu detik...dua detik..tiga detik... mata keduanya terkunci. Lalu Nirmala berkedip sekali. Saat itulah Harris mendapatkan kembali kesadarannya, ia lekas membuang muka seraya beristighfar dalam hati, karena telah lancang menatap sesuatu yang tidak halal baginya.

"Kita dimana?" Nirmala bertanya, lirih.

Kita. Kata itu terdengar janggal di telinga Nirmala. Namun sudah terlambat untuk menarik kembali ucapannya. Ia hanya berharap lelaki di sampingnya tidak menyadari kecanggungan yang ditimbulkannya.

"Di rumah sakit. Mama saya dirawat di sini," jawab Harris.

"Kenapa saya diajak ke sini juga? Saya 'kan minta diturunin di dekat Masjid," protes Nirmala. Ia kebingungan mencari tempat untuk tidur malam ini.

"Kamu tidur sepanjang jalan. Tidak mungkin saya melempar kamu keluar," Harris sedikit kesal. Gadis itu.. tidak tahu terima kasih.

"Maaf." Nirmala meringis. "Terus sekarang saya bagaimana? Masak saya harus turun di rumah sakit. Memangnya rumah sakit di sini ada Masjidnya? Terus, memang boleh kalau saya numpang tidur semalam saja?"

Cerewet. Harris menarik napas panjang, lalu melepas seatbelt yang mengikatnya. "Kita masuk saja dulu. Mama saya sudah menunggu."

Eh, kita?

Nirmala harus sedikit berlari saat mengikuti langkah Harris yang dua kali lebih lebar dari langkahnya. Mereka naik ke lantai dua, menyusuri koridor. Setelah bertanya kepada perawat, akhirnya mereka tiba di ruangan tempat Mama Endah dirawat. Tampak Mang Ujang --sopir keluarga Harris-- duduk di kursi tunggu, di depan ruangan.

"Assalamu'alaikum. Mang gimana kondisi Mama?"

"Wa'alaikumsalam. Eh, Mas. Alhamdulillah kondisi ibu sudah baik. Tadi sudah ditangani sama dokter. Sekarang lagi istirahat. Mas Harris masuk aja. Dari tadi lho ditanyain terus sama ibu," jawab Mang Ujang, sembari mencuri pandang ke arah Nirmala. Tepatnya Mang Ujang penasaran. Namun pria berusia 43 tahun itu tak berani bertanya, karena itu bukan kapasitasnya.

Harris mengangguk. Perlahan ia mendorong pintu agar tak mengganggu Mamanya yang sedang istirahat. Tapi rupanya Mama Endah masih terjaga. Beliau menoleh saat mendengar decit pintu terbuka. Senyum merekah begitu netranya menangkap sosok putera bungsunya. "Mas Haris."

"Mama." Harris beranjak, mencium punggung tangan Mama Endah. "Mama kenapa bisa begini. Mas tadi ditelpon Bi Yati, ngabarin katanya Mama pingsan lagi."

Masih dengan senyum, Mama Endah mengusap kepala Harris yang bersandar pada tangannya. "Mama gak apa-apa, Mas. Cuma pusing. Bi Yati aja yang lebay."

Harris berdecak. "Tapi katanya Mama muntah-muntah juga. Mama gak boleh gitu. Jangan bikin Mas khawatir. Kalau Mama merasa gak enak badan, Mama bilang sama Mas, biar Mas langsung telepon dokter. Biar gak sampe kejadian kayak gini lagi."

Jodoh Pilihan Mama (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang