vii. golden love (jeongin/yena)

262 22 2
                                    

[ y.jeongin/c.yena ; pg-13 ]

.

.

.

Usia dua puluh lima tahun mungkin terbilang masih cukup muda untuk membina sebuah keluarga. Namun dalam lingkungan famiglia, usia dua puluh lima tahun sudah terbilang matang. Kebanyakan dari para Don menikah di usia yang lebih muda lagi. Jeongin agaknya tidak peduli dengan perkataan orang lain. Sebelum ini ia sama sekali tidak memikirkan tentang pernikahan. Baginya kelangsungan famiglia lebih penting, sepenting tugasnya yang menjadi pimpinan dalam klan mafia ini.

Hanya saja, yang terjadi setelahnya sungguh di luar dugaan. Kematian ayahnya membuat famiglia gempar. Para tetua segera mengatur rapat untuk membahas strategi yang akan mereka lancarkan demi mempertahankan eksistensi famiglia. Salah satu yang paling memungkinkan adalah mencarikan Jeongin pasangan hidup. Sebagai anak tunggal keturunan resmi famiglia, hanya dirinya yang dapat memperbaharui garis keturunan setelah sang ayah meninggal.

Ia tidak pernah membantah apapun kata tetua, termasuk untuk rencana yang satu ini. Lagipula Jeongin pikir ia tidak perlu memikirkan pernikahan ini terlalu dalam. Toh wanita yang akan dinikahkan dengannya mungkin hanya peduli dengan harta dan statusnya. Jeongin pun hanya peduli dengan anak yang akan dilahirkan wanita itu. Jeongin tidak perlu mengkhawatirkan apapun karena pernikahan ini hanyalah sebuah kewajiban yang harus ia jalankan dengan baik.

Tidak ada yang perlu ia khawatirkan.

Setidaknya pemikiran itu yang selalu Jeongin tanamkan di dalam kepalanya sebelum ia menemui sendiri calon istrinya.

Nama wanita itu Choi Yena, seorang anak dari pemimpin famiglia yang merupakan teman dekat mendiang ayah Jeongin. Bukan hal yang aneh sebenarnya mendapati putri seorang mafia menolak pernikahan politik--Jeongin sudah mengantisipasi hal tersebut. Ia pun sudah berpesan pada tetua agar tidak memaksakan penyatuan ini jika memang pihak wanita tidak menyetujui. Hanya saja, penolakan itu ternyata hanya bertahan sebentar. Diskusi singkat antara dirinya dan Choi Yena agaknya mencapai kata sepakat lebih cepat dari estimasi waktu yang dipikirkan Jeongin karena mereka berdua ternyata memiliki pemikiran yang sama.

Namun rasanya aneh saat mengetahui bahwa wanita ini tak sedikitpun membahas tentang ekspansi kekuasaan ataupun pembagian harta setelah menikah. Pun Jeongin tidak melihat sinar tamak dalam tatapannya ketika pemuda itu membeberkan kekayaan yang ia punya. Alih-alih tertarik, Yena justru terlihat bosan. Itulah yang membuat Jeongin berpikir bahwa diskusi ini tak perlu diperpanjang, langsung pada intinya saja.

"Aku setuju menikah denganmu cuma karena kau bukan pria tua berperut buncit dan kepala plontos," Yena berucap sembari menyesap teh dalam cangkir yang ia genggam.

Jeongin menaikkan alis, "Hanya karena itu?"

"Ditambah," Yena segera menyambung kalimatnya, "kita punya misi yang saling melengkapi. Kau ingin keturunan dariku, aku ingin kebebasan yang kau tawarkan."

Perlahan Yena meletakkan cangkir tehnya di atas tatakan sebelum mengulurkan tangan ke arah Jeongin.

"Senang bekerja sama denganmu, Yang Jeongin."

.

.

.

Selama satu bulan sebelum hari pernikahan yang dinantikan tiba, Jeongin terus memikirkan tentang kesepakatannya dengan Choi Yena yang jauh di luar dugaan. Setiap kali mereka bertemu, yang mereka bahas adalah bagaimana Yena ingin bertarung bersama Jeongin ketika famiglia terancam bahaya. Bukan hanya itu, Yena pun membeberkan rencana masa depannya yang penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tidak sedikitpun ia membahas harta, pun dengan kekuasaan yang ia dapat. Binar di matanya ketika membicarakan tentang pertarungan atau senjata entah bagaimana membuat jantungnya berdebar aneh. Sesuatu yang tidak pernah ia sangka akan terjadi dalam dua puluh lima tahun hidupnya yang membosankan ini.

Of Words And Hidden Feelings ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang