Twenty-first

2.6K 501 126
                                    

Jadi, ketika dirinya sendiri berpikir bahwa tidak banyak yang bisa mereka bicarakan lagi setelahnya, kenyataan justru berbanding terbalik dengan apa yang Namjoon khawatirkan. Seusai obrolannya dengan Jung Hoseok, Namjoon merasa Seokjin malah lebih membuka diri akan segala ketakutan yang selama ini ia rasakan. Semua perkataannya begitu lepas, seperti deburan ombak yang bergulung menuju pantai. Ia sering bercerita kepada Namjoon akan hal ini dan hal itu, walaupun akhirnya secara tidak langsung Seokjin telah mentransfer kegelisahannya pada Namjoon sampai pria itu senewen diam-diam.

Tapi tentu saja, Namjoon sama sekali tidak berkeberatan jika Seokjin mau lebih mempercayainya lagi.

"Seokjin-ssi,"

"Hm?"

"Apa pernah terlintas dalam pikiranmu, untuk seterusnya menetap di dunia ini?"

Seokjin terdiam, meletakkan novel yang baru dibaca sepertiga isinya dengan wajah bingung. "Maksudmu?"

"Kau betah tidak berada di sini?"

Seokjin menelengkan kepala, memandang Namjoon yang sedang duduk di atas sofa hingga berat tubuhnya membuat lekukan tidak seimbang pada permukaan linen. Namjoon menopang tubuhnya sendiri dengan siku pada lengan sofa, sedang tiga kancing kemeja paling atas dibiarkan terbuka begitu saja.

Mata Seokjin mengerjap pelan.

"Aku bukan tidak betah, Namjoon-ah. Hanya saja di sini bukanlah tempat tinggalku."

Sekuat mungkin Namjoon mencoba menyembunyikan ekspresi wajahnya yang kecewa walau ia tahu sekarang Seokjin tidak bisa lagi melihat aura miliknya. Namjoon hanya ingin memastikan satu hal saja sebelum ia benar-benar harus rela melepas Seokjin.

"Bagaimana kalau kau mulai mencoba membiasakan diri? Di sini banyak tempat-tempat menarik yang bisa kau kunjungi. Kau juga sudah memiliki teman-teman baru yang menyenangkan, bukan? Tidakkah menyedihkan jika harus meninggalkan semuanya?"

Seokjin menahan napas, berusaha mengalihkan pandangan pada lantai, plafon, pantri atau apapun itu, pokoknya bukan kepada Namjoon. Ia berupaya untuk berpikir dan Namjoon memang memberinya waktu untuk berpikir. Sampai akhirnya dada Seokjin mengempis saat ia membuang napas berat ke udara, Seokjin akhirnya memberanikan diri untuk memandang sang penanya.

"Sedih, pastinya. Tapi memang sudah seharusnya aku segera pulang, Namjoon-ah. Tetua Min memintaku pergi untuk mencari obat, bukan mencari tempat tinggal di dunia lain. Aku juga memiliki keluarga di sana dan aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kau tahu itu, kan?" Senyum tipis terukir di bibir kemerahan milik Seokjin. Ini bukan yang pertama kali Namjoon memintanya mempertimbangkan keputusan untuk kembali dan jawaban Seokjin selalu saja sama.

Pada akhirnya, mereka melewatkan detik-detik yang berlalu begitu saja dalam diam. Namjoon dengan televisi yang menyiarkan berita tengah malam dan Seokjin yang sibuk menghitung waktu secara teratur dalam hati, dengan sebuah novel klasik di tangan.

Demi Tuhan ini sudah larut malam dan Yoongi belum juga pulang, batin Seokjin cemas.

Ia belum bisa tidur dan beruntung, Namjoon berinisiatif menemaninya sepanjang malam. Walau Seokjin tahu arsitek tampan itu pasti sangat lelah, Seokjin tetap saja tidak bisa memaksanya untuk tidur kalau itu bukan keinginan Namjoon sendiri.

"Hoseok bilang Yoongi-ssi baik-baik saja, jadi kurasa sebentar lagi dia pasti akan pulang dengan selamat," ungkap Namjoon saat mengetahui bahwa Seokjin sudah berpuluh-puluh kali mencuri pandang ke arah pintu.

Seokjin meringis kecil mendengarnya.

Ketika lima belas menit kemudian kembali terlewati, mereka berdua mendengar suara pintu dibuka pelan. Seokjin yang pertama kali melonjak lega dan segera menghampiri Yoongi di ruang tengah dengan langkah terburu-buru.

NATHALUCIAN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang