Twenty-fifth

2.4K 509 232
                                    

Namjoon, black robes dan segelas whiskey adalah hal terkutuk yang pernah Seokjin temui di sepanjang hidupnya. 

Karena tidak ada dalam benak Seokjin sebenarnya untuk mengikuti Namjoon secara sukarela, sedangkan otaknya sendiri sudah membunyikan sirene tanda waspada sedari awal ia menapaki anak tangga. 

Semua sungguh terjadi di luar perkiraan Seokjin. Tahu-tahu saja tanpa Seokjin sadari, ia sudah menyamankan diri di dalam kamar tidur Namjoon, duduk manis di atas sofa sewarna susu, sedang si pemilik kamar sibuk mencari remote untuk kemudian menyalakan pengatur suhu ruang agar tidak terlalu dingin.

Seokjin berdengung kecil. Dagunya diangkat tinggi-tinggi hanya untuk meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.

Setidaknya ini malam terakhirnya bersama Namjoon, pikir Seokjin dan ia sudah memutuskan untuk menyenangkan hati pria tersebut.

Sementara Seokjin tengah bergelut dalam keterdiaman, Namjoon kembali mendekat sembari mengeratkan ikatan kain pada black robes miliknya. Ia duduk persis di samping Seokjin yang keyakinannya langsung mengempis layaknya sebuah balon.

Dihitungnya bunyi detak jam dari arah dinding, Namjoon menarik napas panjang sebelum akhirnya mulai bersuara.

"Maaf kalau aku egois, Seokjin-ssi, memintamu untuk menemaniku, padahal besok kalianー"

"Umー" Seokjin menyela, merasa ragu namun tetap nekat berbicara, "bisakah kita tidak membicarakan tentang besok, Namjoon-ah? Kau memintaku untuk menemanimu malam ini, bukan?"

Namjoon lalu terdiam. Ucapan Seokjin benar adanya. Jari-jarinya kemudian terulur di antara helaian pirang Seokjin, menyelipkan dan menggenggamnya gemas, serta mengacaknya. Tidak peduli dengan Seokjin yang berjengit risih. Senyum manis terpoles pada bibir Namjoonーsenyum yang sangat teramat manis, sampai-sampai Seokjin tidak bisa untuk tidak ikut tersenyum pada akhirnya, lalu balas menyentuh pipi Namjoon. Ia berujar pelan, memberi kepercayaan pada sang arsitek bahwa menemaninya bukanlah suatu masalah besar.

"Keluarkan saja apa yang menjadi isi hatimu saat ini, Namjoon-ah. Karena aku ada di sini untukmu. Kita bisa bertukar cerita, kalau kau mau." Itu yang di katakan Seokjin. Semata-mata hanya ingin membantu Namjoon yang mendungnya sama seperti waktu malam di Nathalucian.

Dan bohong jika Namjoon tidak terkesima. Hatinya menghangat, seakan harapan yang sudah nyaris tenggelam ke dalam palung kembali muncul ke permukaan. Seraya menahan tangan Seokjin dan mencegahnya untuk beranjak menjauh, Namjoon perlahan menggeser jari-jari ramping itu ke depan bibirnya sendiri dan mengecupnya lembut.

"N-Namjoonー" Seokjin mulai kehabisan kata-kata.

Sedetik kemudian satu tangan Namjoon sudah merayap saja pada punggung Seokjin, menyalurkan getaran listrik yang membuat syaraf-syaraf Seokjin kaget setengah mati. Belum berhenti sampai di situ, tangan Namjoon aktif bergerak turun hingga ke bokong, mengangkat tubuh si pirang yang tidaklah ringan tersebut ke atas pangkuannya. Tangan Seokjin refleks menyentuh dada bidang Namjoon, hanya itu satu-satunya cara agar tercipta jarak di antara mereka.

"Sssh, tenanglah, tidak akan kuapa-apakan, kok," Namjoon meyakinkan Seokjin.

Keduanya duduk berhadapan, dengan kelopak mata Seokjin yang menutup rapat, begitu terbuai oleh aroma pinus hutan yang membuat kepalanya pusing tanpa ampun.

Inikah efek tiga teguk whiskey yang ia minum?

Namjoon tertawa melihat kerutan pada puncak hidung Seokjin. 

"Buka matamu, Seokjin-ssi, katanya kau ada untukku malam ini?" guraunya.

Sedikit demi sedikit Seokjin memberanikan diri membuka mata, mengerjap terpesona begitu dihadapkan langsung oleh paras tampan dengan tekukan kecil pada kedua pipinya. Seokjin salah tingkah dibuatnya.

NATHALUCIAN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang