Thirty-fifth

2.6K 449 81
                                    

ーwarningー

.
.
.

"Kau yakin akan meninggalkan Seokjin-ssi tanpa berpamitan padanya?"

Jimin memegang kuat setir mobil. Kendaraan roda empat milik Namjoon yang di kemudikannya meluncur mulus tanpa hambatan di sepanjang ruas jalan utama. Kondisinya masih minim aktivitas. Sementara detik-detik terlewati dalam hening, Yoongi memandang tempat-tempat yang mereka lewati dari balik jendela sembari memangku satu dus kecil berisikan beberapa botol garam buluh. Ia membutuhkannya untuk penelitian lebih lanjut, dan Yoongi bersumpah ini yang terakhir kali ia membawa benda tersebut ke Nathalucian.

"Itu yang terbaik, Park Jimin," jawabnya kemudian. Bagaimana pun juga Nathalucian harus bisa bangkit dari keterpurukan akibat penyakit tanpa harus mengandalkan portal, teleportasi dan Kim Seokjin.

"Lalu bagaimana kalau Seokjin-ssi histeris dan mencarimu?" tanya Jimin khawatir.

Yoongi terdiam. Lalu menggeleng. "Itu... tidak akan mungkin terjadi. Yang dia butuhkan adalah Kim Namjoon, bukan aku."

Jimin lantas mengatupkan bibir rapat-rapat. Menyedihkan, pikirnya. Mungkin Jimin memang bukan orang yang jenius, tapi kejeniusan terkadang tidak diperlukan untuk bisa menebak suasana hati seseorang. Melihat muram di wajah Yoongi, mau tidak mau ia turut merasa prihatin.

"Kalian tidak akan bertemu lagi setelah ini, Yoongi-ssi," Jimin berucap dengan sangat hati-hati, "jangan sampai ini menjadi penyesalanmu di belakang."

Yoongi tertawa masam. Menertawakan Jimin dan pemikirannya. "Penyesalan bagaimana? Toh kami juga akan berpisah kan pada akhirnya? Mau aku pamit, mau aku diam-diam, kami akan tetap kembali ke kehidupan kami masing-masing. Jadi, cepat atau lambat dia pasti akan melupakanku. Dan aku pun harus terbiasa memulai hidup tanpanya. Jadi apa yang perlu kusesali?"

Banyak, bego. Ingin Jimin meraung demikian. Tapi urung dilakukan tatkala sudut matanya menangkap kilat emosi di mata Yoongi sepanjang ia berbicara. Bukan hal yang mudah memang, ketika harus berpisah dengan orang yang dicintai untuk selama-lamanya. Jimin tidak bisa membayangkan jika itu terjadi pada dirinya.

"Aku hanya menyarankan saja, Yoongi-ssi. Kau pikir mudah untuk melupakan seseorang yang dulu pernah dekat dengan kita? Masing-masing dari kalian pasti akan merasakan efek dari perpisahan ini, bukan hal yang mustahil kalau nanti Seokjin-ssi akan merasa kau membuangnya jika kalian tidak membicarakan ini baik-baik," jelas Jimin, kakinya sigap menginjak pedal rem sementara ia menarik tuas hand brake saat mobil berhenti di parkiran rumah sakit. Matahari mengintip malu-malu dari ufuk timur, Jimin mematikan pendingin suhu dan membuka jendela untuk sekadar menghirup udara segar.

'Tentu ada bedanya,'

Dan Yoongi tersenyum sinis. Apa bedanya? Pertanyaan itu mengawang dalam pikiran. Setelah ini, ia sangat yakin bahwa sang Ayah akan menutup portal dimensi. Untuk keseimbangan Nathalucian dan Bumi, agar tidak lagi terjadi hal-hal merugikan seperti sekarang. Perpindahan dimensi sudah berdampak pada perubahan iklim di Nathalucian, pun portal sudah memakan korban jiwa. Yang tersisa hanya Yoongi dan tetua Min yang bisa berteleportasi, dan pasti sang Ayah tidak ingin mereka berakhir seperti Yunho akibat terlalu sering menggunakan kekuatannya. Jadi satu-satunya cara memang,

melepaskan Kim Seokjin untuk selamanya.

Haah, napas Yoongi terhempas kasar ke udara. Memikirkan Seokjin hanya bisa menimbulkan rasa lelah, sakit dan guncangan yang mencengkeram dada tanpa ampun. Mau bagaimana lagi, pikirnya. Dalam satu parting phrase goodbye, terselip kata good yang berarti baik, bukan? Dan Yoongi berharap itu yang akan terjadi ke depannya.

NATHALUCIAN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang