Thirteenth

3.2K 601 177
                                    

Wajah Namjoon tidak berwarna, jauh lebih buruk dari yang Seokjin lihat tadi pagi. Napasnya sedikit tersengal, Seokjin bahkan bisa melihat bibir pria itu tampak kering dan mengelupas saat ia memasuki kedai.

Begitu selesai menata pesanan, Seokjin memutuskan untuk mengantar lamb chops dan espresso milik Namjoon. Jeongguk yang sedari tadi berada dibalik meja kaunter tersenyum penuh rahasia dan mengacungkan ibu jari tinggi-tinggi ke udara.

Seokjin mendengus tidak paham.

"Namjoon-ah," sapanya saat tiba di meja Namjoon. Dilihatnya Namjoon mengangkat wajah, dua tekukan manis di masing-masing pipi muncul saat ia tersenyum.

"Kau sakit? Kenapa tidak langsung pulang saja dan istirahat? Aku bisa meminta Yoongichi untuk memasak makan malam, kalau kau mau. Masakan buatannya tidak kalah enak dengan milikku." Seokjin meletakkan cangkir dan dinner plate di atas meja, lalu terdiam sejenak untuk sekadar meraba kening Namjoon. "Badanmu hangat, Namjoon-ah."

Namjoon menahan napas, merasakan betul-betul tiap sentuhan kulit Seokjin yang menyentuh keningnya. Sungguh sejuk dan menenangkan pikiran.

"Entah kenapa aku ingin melihat bagaimana kau bekerja, Seokjin-ssi. Sekalian aku berencana untuk pulang bersamamu malam ini," ujar Namjoon menjelaskan.

"Tapi Namjoon-ahー"

Namjoon tidak mau dengar. Ia lantas menurunkan tangan Seokjin dari keningnya. Sempat meremas tangan itu pelan sebelum akhirnya Namjoon mengangkat cangkir espresso dan meneguknya.

"Aku tidak apa-apa, Seokjin-ah. Shift-mu sudah hampir selesai, kan? Kita bisa langsung pulang setelah ini,"

paling tidak, aku sudah mengisi energiku dengan melihatmu malam ini, lanjut Namjoon dalam hati.

Seokjin bingung harus merespon bagaimana. Perbincangan mereka semalam, kecanggungan yang tercipta setelahnya, sungguhーSeokjin rasanya ingin menyembunyikan wajah setiap kali melihat ekspresi lembut Namjoon padanya.

Seharusnya ini tidak menganggunya. Seokjin sudah menebak perasaan Namjoon jauh-jauh hari dari aura yang dikeluarkan pria tersebut. Namun ketika Namjoon mengucapkannya secara langsung, rasanya berbeda seratus delapan puluh derajat dari yang Seokjin bayangkan. Sikap pura-pura tidak tahu yang coba Seokjin tanam seketika ambyar tidak berbentuk.

Bagaimana ia harus bersikap, agar hubungan mereka dapat senyaman dulu?

Sementara Seokjin tenggelam dalam kegelisahannya, Namjoon sibuk merutuk diri dalam hati. Menyayangkan kebodohannya sendiri yang nekat mendatangi Seokjin, setelah apa yang terjadi malam itu. Namjoon khawatir, sungguh.

Takut kalau-kalau Seokjin akan menolaknya lagi. Padahal Seokjin sendiri tidak berkata apa-apa padanya. Dasar pikiran negatif sialan.

"Akuー"

"Um, Seokjin-ssi?"

Seokjin memberanikan diri menatap manik kecil Namjoon yang begitu pekat. Tidak berani protes setelah Namjoon memotong ucapannya. Hitamnya manik Namjoon membuat Seokjin seakan tenggelam, ia bahkan tidak berusaha mengelak saat tangan hangat Namjoon meraih jemarinya.

"Maaf kalau aku lancang, tapi aku ingin kau menjawab jujur. Apakah kau tidak nyaman denganku? Apalagi setelah," Namjoon berdeham,"ーsemalam?

Namjoon bisa melihat bahu Seokjin mendadak tegang, pria pirang itu mengusap tengkuk belakang dengan gerakan kaku.

"Akuーtidak," jawab Seokjin pada akhirnya. "Tidak apa-apa Namjoon-ah, lupakan saja pembicaraan awkward kita yang tadi malam. Anggap kau tidak berkata apapun padaku dan aku juga tidak mendengarkan apapun darimu. Begitu akan lebih baik, bukan?"

NATHALUCIAN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang