Thirty-second

2.4K 459 153
                                    

Sudah empat hari Kakek Kim bersikap aneh. Bukan dalam artian negatif, hanya saja Seokjin menangkap pria tua itu menjadi lebih pemuram sekarang.

Terlepas dari segala masa lalu yang mulai terkuak, tidak jarang di setiap kesempatan kakek Kim sering bertanya pada Seokjin, apakah Seokjin akan meninggalkannya atau tidak. Dan hati Seokjin seperti teriris sembilu setiap kali mendengarnya.

"Tidak, Kek, akuーastaga Tuhan, kenapa Kakek bisa berpikiran bahwa aku akan meninggalkanmu?"

"Karena kau punya hak, Seokjinie. Kau punya hak untuk kembali ke negeri asalmu. Dan aku akan merasa sangat berdosa jika memaksamu untuk terus mengikuti egokuーego Yunho, ego kami, penduduk Nathalucian."

Seokjin merenung penuh bimbang. Terbayang dalam benaknya, bagaimana sepasang manik mata abu-abu itu memandangnya nelangsa. Seakan merasa takut, namun juga pasrah pada apapun yang menjadi keputusan Seokjin. Seokjin jadi khawatir jika harus meninggalkan kakek seorang diri.

"Kalau aku pergi, lalu Kakek bagaimana?"

"Aku baik-baik saja, Seokjinie, jangan khawatirkan aku. Aku sudah bersalah sekali menyembunyikan semuanya ini darimu. Maafkan Kakek, ya."

Bola mata Seokjin terhujam oleh panas dan perih. Saat itu ia hanya sanggup memeluk tubuh ringkih kakeknya.

Tidak mungkin kan Seokjin membawa Kakek ke bumi sekali pun ia sangat ingin melakukannya? Pria itu sudah terlampau tua untuk melewati portal dimensi. Terlebih ketika Seokjin menjadi saksi, bagaimana Yoongi semakin hari semakin lemas ketika berada di bumi.

Dia yang seharusnya tidak boleh egois di sini.

Seokjin mendesah lemas, menatap lurus pada guguran salju yang menyelimuti halaman. Sesekali jemarinya berusaha menggapai kepingan putih yang turun, membiarkannya meleleh akibat terkena suhu hangat tubuh. Seokjin menggigil samar.

"Bohong kalau aku tidak ingin kembali, Kek. Aku inginーsangat ingin. Aku ingin bertemu lagi dengannya. Tapi aku tidak bisa," bisiknya pada angin, membiarkan perkataannya terembus sampai ke langit. Edaran pandang Seokjin kemudian berpindah pada lautan hitam tanpa bintang di angkasa. Ia tersenyum sendu.

"Namjoon-ah, bagaimana kabarmu? Kalau kau ada diposisiku, apa yang akan kau lakukan sekarang?"

.
.
.

Pukul tujuh lewat empat puluh lima menit.

Jadi malam ini seharusnya Jimin sudah santai di rumah. Menonton TV sambil bertukar pesan dengan seseorang, mungkin? Atau kalau pun ia harus pulang dengan setumpuk pekerjaan, setidaknya Jimin bisa sedikit bersantai dengan setelan kaos tanpa lengan dan celana pendek selutut favoritnya. 

Bukannya masih harus berkutat di kantor!

Jimin bersungut, membuka pintu ruang kerja Namjoon dan menemukan sepasang sahabat yang sangat ia kenal masing-masing sudah menekuk muka. Dihadapan mereka ada setumpuk kertas berukuran A3 berisikan lembar desain. Coret-coretan abstrak drawing pen bertintakan warna merah menghias di beberapa sudutーJimin menduga, kertas-kertas biadab itu salah satu penyebab tekukan menyebalkan di wajah Namjoon dan Hoseok.

Jimin tidak sengaja menutup pintu dalam sekali hempas. Ia sendiri melompat kaget pada akhirnya.

"Ah, maafーpermisi?"

Hoseok menoleh, masih bersedekap tenang, namun senyumnya mengembang tipis dari sudut ke sudut ketika menemukan Jimin. Dan Namjoon masih saja terlihat lusuh dibalik meja kerjanya. Jimin menarik kursi dan duduk di sebelah Hoseok.

"Jadi, Boss, aku masih belum boleh pulang nih? Sudah hampir jam delapan, lho. Tidak kasihan lihat mataku sudah berkantung seperti ini?"

NATHALUCIAN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang