Chapter Nine

3.6K 497 17
                                    

     “K-kau?” Taehyung membulatkan matanya.
   “Halo. Namaku Kim Namjoon.” ucapnya memperkenalkan diri.
   “Kami tahu. Maksud kami, apa yang kau lakukan disini? Apa—”
   “Aku tahu pasti banyak sekali pertanyaan di otakmu hei kau siapa yang bermata sipit?” tanya Namjoon.
   “Aku Jimin. Park Jimin.” jawab Jimin dengan nada kesal. Bagaimana bisa orang asing mengatainya begitu.
   “Ah ya. Park Jimin.” Namjon mengangguk.
   “K-kau bukannya orang yang di depan rumah Hoseok hyung?” tanya Taehyung hati-hati.
   “Kau benar. Itulah kenapa aku disini. Hoseok memberitahuku bahwa kalian disini.” jelas Namjoon.
     “Benarkah?” gumam Taehyung aneh.
   “Dari mana Hoseok tahu kami disini?” tanya Jimin.
   “Ya! Dia lebih tua darimu! Tidak sopan sekali cih.” Namjoon mendecih.
   “Iya iya.” Jimin mengangguk. Ia memang mengerti bahwa itu tidak sopan, tapi entah kenapa rasanya kesal saja.
   “Omong-omong tahu dari mana namaku?” Namjoon mengernyitkan dahinya.
   “Ingat saat kau menabrakku di toko buku?” tanya Jimin.
   “Ahhh itu. Maafkan aku. Aku memang sedang terburu-buru mengantarkan pesanan waktu itu. Aku bekerja di toko chicken delivery.” jelas Namjoon sambil mengingat.
   “Saat itu aku tak sengaja membaca name tag mu.” ucap Jimin. Namjoon mengangguk mengerti.
   “Jadi untuk apa kau kesini?” tanya Taehyung.
   “Ah soal itu ak—” ucapan Namjoon terpotong karena seseorang yang menghampiri.
   “Ayo kita pulang.” ajak orang yang baru saja menghampiri.
   “Hoseok hyung?” ucap Taehyung.
   “Kami tidak bisa kare—”
   “Karena Jeon Jungkook mengatakan bahwa kalian yang mendorong Yeonjun?” jawab Hoseok memotong perkataan Jimin.
   “Bagaimana bisa kau tahu?” tanya Taehyung terkejut.
   “Aku melakukan koordinasi dengan beberapa orang staff disekolah saat mendengar kejadian itu. Aku melakukan analisis untuk kejadian yang sebenarnya. Aku menemukan cctv terdekat dan memahami tiap potongan video tersebut.” jelas Hoseok.
   “Ah jinjja?” ucap Jimin penasaran.
   “Jadi intinya kalian mau pulang atau tidak? Polisi sudah membebaskan kalian. Aku sudah menyerahkan barang bukti tersebut.”  tawar Hoseok sambil melengos pergi.
   “Yaa gidaryeo!” ucap keduanya bersamaan.
.
.
.
.
.
   “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Jimin sambil menyesap teh yang dibuat Hoseok. Tentu saja malam ini mereka dirumah Hoseok, setelah Jimin dan Taehyung memberi tahu Sandeul bahwa semua baik-baik saja.
   “Ah Namjoon hyung, apa kau menemukan ponselku? Mungkin saat kita tidak sengaja bertabrakan aku menjatuhkannya.” tanya Taehyung.
   “Ponsel? Tidak.” Namjoon menggeleng yakin.
   “Aigoo.. dimana aku menjatuhkannya kalau begitu?” Taehyung menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.
   “Ah, Hoseok hyung. Ingat tidak saat kau mengajak Taehyung kemari? Taehyung bilang kau sudah ijin padaku? Tapi aku tidak merasa kau mengatakannya.” selidik Jimin.
   “Iya memang tidak secara langsung. Tapi aku sudah titip pesan pada Yeonjun waktu itu. Entah kenapa ia sendiri yang menawariku, aku sendiri perlu membawa ranselku yang tertinggal di kelas sampai akhirnya aku mendengar berita ini.” jelas Hoseok.
    “Ani. Yeonjun tidak memberitahuku apapun. Aku hanya bertemu Jungkook yang datang ke ruang latihan dan mengatakan bahwa ia melihat kau dan Taehyung pergi entah kemana.” Jimin menggeleng.
    “Ah maaf, bolehkah aku ke toilet?” tanya Taehyung.
    “Tentu. Dari sini lurus lalu belok ke kiri.” tunjuk Hoseok. Taehyung mengangguk dan mulai beranjak.
    “Sebenarnya dimana ponselku ya..” gumam Taehyung setelah tiba di toilet. Ia membasuh tangannya sambil berpikir. Sepertinya ia benar-benar tidak ingat dimana terakhir kali ia memegang ponselnya. Bahkan untuk menghubungi Sandeul hyung saja meminjam ponsel Jimin.
     ‘tok tok’ terdengar suara ketukan dari luar.
     “Iya sebentar.” ucap Taehyung.
      ‘tok tok’ suara ketukan terdengar lagi.
      “Siapa?” tanya Taehyung.
     “Kau belum selesai?” tanya seseorang yang mengetuk tadi yang ternyata suara Hoseok.
      “Ini aku akan keluar.” jawab Taehyung.
      ‘Cklek’ Taehyung membuka pintu kamar mandi dan—
      “Oh kemana Hoseok hyung? Aku terlalu lama ya sampai dia beralih ke kamar mandi lain?” Taehyung memiringkan kepalanya dan berjalan ke ruang tengah.
      “Kau terlihat bingung." ucap Namjoon.
        "Aku? Ah, Hoseok hyung bukankah kau ingin ke toilet? Aku sudah selesai." tawar Taehyung.
        "Aku tidak ingin ke toilet. Apa yang kau katakan?" tanya Hoseok bingung.
        "Lho, bukannya tadi mengetuk pintu sampai dua kali?" tanya Taehyung sembari duduk ditempatnya kembali.
        "Aniya. Aku sama sekali tidak beranjak kemana pun." Hoseok menggeleng.
        "Yaaa Jimin shhiiii!" teriak Taehyung.
        "Apa?!" tanya Jimin kesal.
        "Kau ini bisa lihat makhluk yang berkeliaran atau tidak sih sebenarnya?!" omel Taehyung.
        "Kalau bisa kau mau apa, dan kalau tidak bisa kau mau apa?" ucap Jimin.
        "Buat mereka semua berhenti menemuiku karena aku benar-benar ketakutan!!" pinta Taehyung.
        "Em, kau bisa melakukan itu?" tanya Namjoon tiba-tiba.
        "Melakukan apa?" tanya Jimin dan Taehyung bersamaan.
        "Maksudku Jimin, kau bisa melihat hal yang tidak bisa orang lain lihat?" tanya Namjoon dan Hoseok ikut penasaran.
        "Aku bisa, ." Jimin mengangguk.
        "Benarkah? Apa kau bisa melihat Hosiki hyung?" tanya Hoseok antusias.
        "Hosiki hyung?" ucap Taehyung dan Jimin bersamaan.
        "Bu-bukankah itu nama yang selalu Jungkook sebut saat melihatmu?" tanya Jimin aneh. Pasalnya Hoseok selalu menyangkal soal itu jika didepan Jungkook.
        "Ah em.. Maaf aku terlalu menggebu-gebu." Hoseok terdiam.
        "Hosik-ah sebenarnya dia keluarga Hoseok. Tepatnya saudara kembarnya." jelas Namjoon.
        "Ah sudah kuduga." Jimin mengusap dagunya.
        "Apa?" tanya Taehyung sambil melirik Jimin bingung.
        "Kau ingat hari dimana aku mengatakan bahwa aku sedikit-sedikit mulai bisa melihat?" tanya Jimin.
        "Um ne." Taehyung mengangguk.
        "Dan kau ingat bahwa aku selalu tidak suka dengan keberadaan Hoseok? Ah Hosok hyung maksudku. Kau ingat?" tanya Jimin lagi.
        "Aigoo dasar tidak sopan! Iya aku ingat, wae?" tanya Taehyung. Namjoon dan Hoseok hanya memperhatikan keduanya.
        "Disitulah kenapa aku membencinya. Aku pernah merasakan keberadaannya dirumahmu. Hantu itu, mirip sekali dengan Hoseok hyung. Aku selalu berfikir bahwa kalian adalah wujud yang sama. Maka dari itu aku selalu menganggap penglihatanku salah dan merasa belum bisa membedakan mana hantu dan mana manusia. Tapi sekarang aku tahu bahwa aku benar." Jimin mengangguk.
       "Maksudmu sosok yang membuat Seokjin hyung begini adalah sosok kembaran dari Hoseok hyung?" tanya Taehyung sementara Hoseok terkejut akan hal itu.
       "Sepertinya begitu. Tapi ia mempunyai elemen yang tidak pasti." ucap Jimin.
       "Maksudmu?" tanya Hoseok.
       "Terkadang ia terlihat sedih dan putus asa. Terkadang ia terlihat sangat marah. Suatu hari aku pernah bertanya padanya, tentu saat kau tak ada Taehyungie. Aku bertanya tentang apa permasalahannya sehingga masih menetap di dunia." Jimin mengingat-ingat.
       "Lalu? Ah kau bertemu dengannya dimana?" tanya Taehyung.
       "Di rumah sakit. Sesekali ia mengunjungi hyungmu. Ia tidak pernah menjawab. Hanya menggeleng dan meneteskan air mata. Aku menjadi gila karenanya. Terutama jika melhat Hoseok hyung. Aku tidak tahu itu kembaranmu." ucap Jimin.
       "Hosiki hyung.." Hoseok menunduk.
       "Semua pasti karena mereka Hoseok-ah. Aku yakin. Mereka yang membunuh hyungmu. Ia juga temanku Hoseok-ah." Namjoon meremat tangannya.
       "Maksudmu apa Namjoon hyung?" tanya Taehyung.
       "Hosiki adalah sahabatku disekolah. Aku, Yoongi, dan Jungkook juga. Kejadiannya sudah satu tahun yang lalu, saat aku dan Yoongi kelas 3 dan Jungkook kelas 1." jawab Namjoon.
       "Hosiki adalah orang yang baik, ramah, dan pintar tentu saja. Setiap murid di sekolah pasti kenal dengannya. Bagaimana tidak, ia pandai bermain alat musik, pandai menari, dan juga pandai menulis lagu." Namjoon tersenyum sementara Hoseok terus menangis.
       "Lalu?" Jimin dan Taehyung penasaran.
       "Lalu saat itu sore hari, Hosiki masih disekolah bersama kami. Ia mengatakan bahwa dirinya sedang cemas karena banyaknya kegiatan yang harus dilakukan dan belum selesai. Kami akhirnya pergi ke kantin untuk sekedar memakan camilan. Namun tiba-tiba ia mengatakan bahwa ia ingin pulang duluan dan besoknya ia ditemukan menggantung dirinya sendiri di ruangan bawah tanah rumahnya." jelas Namjoon. Hoseok semakin menangis mendengar penjelasan Namjoon.
       "Apa hubungannya dengan 'mereka' yang kau maksud? Apa itu karena Jungkook? Atau Yoongi hyung?" tanya Jimin.
       "Karena saat Hosiki pamit pulang, mereka berdua pun pamit agar bisa menyusul untuk menemani Hosik. Sampai akhirnya kejadian itu.." mata Namjoon berkaca-kaca.
       "Em.. Dan Hoseok hyung kemana saat itu?" tanya Taehyung.
       "Aku, aku.. aku tinggal di Jepang bersama eomma dan appa. Aku kemari karena Namjoon yang mengabari." jawab Hoseok.
       "Ah. Em.. Baiklah. Kami harus pulang kalau begitu. Kebetulan besok minggu. Kami harus menjaga Seokjin hyung di rumah sakit. Kita akan bicarakan lagi di lain waktu. Ayo Taehyung." Jimin beranjak dari duduknya.
        "Baiklah hati-hati." Hoseok tersenyum.
        "Tapi Jim-"
        "Ayoayo hehe. Sampai jumpa lagi hyung." Jimin membungkuk diikuti Taehyung lalu pergi
.
.
.
.
.
         "Aku tidak menganggap itu sebagai cerita bohong. Tapi kita juga tidak bisa menganggapnya benar." ucap Jimin serius sambil membenarkan selimut Seokjin.
         "Maksudmu?" Taehyung mengerutkan keningnya bingung.
         "Kita juga harus tahu bagaimana cerita sebenarnya dari perspektif Jungkook dan Yoongi hyungnya." jawab Jimin.
         "Kau benar. Tapi kita tidak bisa tiba-tiba mengungkit ini. Ini soal kematian seseorang. Tapi tidak mungkin jika cerita tadi salah. Apa mungkin Hoseok hyung membunuh saudaranya sendiri?" tanya Taehyung.
         "Ah akujuga tidak menuduh begitu. Kau lihat ekspresi Jungkook saat melihat kita pada kejadian Yeonjun?" tanya Jimin.
         "Iya kau benar. Sulit mencurigai pelaku sebenarnya." Taehyung mengangguk.
         "Tapi omong-omong bagaimana dengan biaya rumah sakit hyungmu? Pasti semakin hari semakin membengkak." ucap Jimin.
         "Iya. Aku juga perlu menghemat untuk biaya makanku." Taehyung terlihat sedih.
         "Tunggu sampai hyu-"
         "Ji-Jiminie.. hyung membuka matanya! Astaga hyungggg!!!" ucap Taehyung bergembira. Setelah sekian lama akhirnya hyungnya sadar.
         "Panggil dokter. Aku telepon Sandeul hyung." ucap Jimin.
.
.
.
         "Sebuah keajaiban kau bisa sadar Hyung. Bagaimana perasaanmu?" tanya Taehyung sambil mendorong kursi roda Seokjin ke halaman rumah sakit.
         "Em biasa saja. Sudah berapa lama aku dirumah sakit?" tanya Seokjin.
         "Lama sekali. Sebulan mungkin?" pikir Taehyung.
         "Cih. Yang benar saja. Terlalu lama." Seokjin mendecih tak percaya.
         "Memang apa yang terjadi?" tanya Taehyung penasaran.
         "Itulah yang ingin kutanyakan. Apa yang terjadi?" tanya Seokjin. Taehyung terdiam dan menghentikan langkahnya.
         "Kau tidak ingat apa pun?" tanya Taehyung aneh.
         "Tidak." Seokjin menggeleng.
.
.
.
         "Setidaknya hyungmu sudah sembuh." ucap Jimin. Hari ini hidup mereka kembali normal dan sudah kembali sekolah dengan tenang layaknya murid lain.
         "Hyung. Kudengar kau melihat kejadiannya secara langsung ya." ucap seseorang yang baru saja duduk tanpa permisi.
         "Apa yang kau bicarakan Soobin-ssi?" Tanya Taehyung aneh sambil mengaduk jajangmyeonnya.
         "Tentang Yeonjun." tanya Soobin si anak kelas 1 dari seni teater yang satu kelas dengan Yeonjun untuk kelas mata pelajaran umum.
         "Siapa yang bilang?" tanya Jimin.
                  "Semua tau itu." ucap Hueningkai, si anak campuran dari kelas sastra menghampiri sambil mengunyah makanannya.
         "YA! Apa yang kalian lakukan disini?" tanya Jimin kesal karena mengganggu makan siangnya saja.
         "Menggosip hyung." ucap keduanya sambil mengangguk polos.
         "Dasar bocah gila. Memang apa yang kalian tau?" tanya Taehyung.
         "Iya, para murid heboh bahwa Yeonjun bunuh diri, bahkan tuduhan pada kalian pun semuanya tau. Kalian benar-benar jadi terkenal." Hueningkai mengangguk sambil berpikir.
         "Mereka mendapat informasi bahwa kalian lah yang mendorongnya. Namun setelah itu beritanya dikoreksi dan menyatakan jika kalian adalah saksi mata. Apa yang terjadi hyung?' tanya Soobin.
         "Kalian dapat informasi darimana?" tanya Jimin menghentikan suapannya.
         "Ketua murid. Semua grup kelas di kakaotalk membicarakan itu." Soobin menunjukkan ponselnya.
         "Ah jinjja?" tanya Taehyung. Keduanya mengangguk.
.
.
.
.
.
.
      “Apa yang kau lakukan selama ini Kim Taehyung?!” tanya Seokjin sambil memberesi dapur.
       “Apa hyung? Aku tidak mengerti.” Taehyung menggeleng sambil mengerjakan tugasnya di ruang tengah. Waktu menunjukkan puku 7 malam.
       “Mengapa saat aku pulang rumah sangat berantakan?” tanya Seokjin ulang.
       “I-itu hantu yang melakukannya.” jawab Taehyung sambil celingukan.
       “Yang benar saja.” Seokjin menggeleng menatap dongsaengnya dari arah dapur.
       “Benar. Kau juga koma karena hantu itu kan?” ucap Taehyung.
       “Apa maksudmu Kim Taehyung?” raut wajah Seokjin serius dan menghampiri ke ruang tengah.
       “Em..” Taehyung menatap Seokjin bingung. Entah harus memulai cerita dari mana.
       “Tolong jelaskan.” ucap Seokjin.
       “Ah hyung. Ponselku hilang omong-omong.” Taehyung menggaruk tengkuknya.
       “Aku akan membelikannya yang baru. Tapi jelaskan apa maksud perkataanmu barusan?” tanya Seokjin duduk di sebrang sofa Taehyung.
       “Kau tidak akan marah?” tanya Taehyung.
       “Soal ponsel? Tidak.” Seokjin menggeleng.
       “Baiklah. Kau koma selama sebulan lebih. Kau lihat bekas luka ditubuhmu hyung?” tanya Taehyung.
       “Ah iya. Itu kenapa?” tanya Seokjin.
       “Astaga! Kau ini kenapa sih? Masa tidak ingat.” omel Taehyung.
       “Astaga! Kalau ingat aku tidak akan bertanya.” Seokjin memutar bola matanya malas.
       “Baiklah hyung, kau yang selalu benar.” Taehyung menghela nafasnya.
       “Jadi itu kenapa?” tanya Seokjin lagi.
       “Kau yang melukai dirimu sendiri.” Taehyung menatap Seokjin.
       “Jangan bercanda.” Seokjin melipat kedua tangannya di dada.
       “Apa aku terlihat sedang bercanda?” Taehyung menunjuk wajahnya.
       “Tapi apa kau percaya aku melakukan itu pada diriku sendiri?” tanya Seokjin.
       “Aku percaya. Karena kau sudah terpengaruh oleh pena yang kau temukan. Kau bisa tanya Sandeul hyung kalau kau tidak percaya.” ucap Taehyung.
      “Pena?” Seokjin mengingat-ingat.
      “Ne. Pena hitam pekat dengan garis emas. Kau mendapatkannya dimana?” tanya Taehyung.
      “Ah itu. Seingatku aku membelinya.” jawab Seokjin.
      “Dimana?” tanya Taehyung antusias. Mungkin saja ia akan mendapat petunjuk.
      “Lupa. Seseorang dijalan. Aku bertemu dengannya dan menjual itu padaku. Aku membelinya karena aku tahu pena itu adalah pena mahal dan tidak dibuat di Korea. Ia menjualnya dengan murah.” ucap Seokjin.
     “Kau tau? Semua yang kau tulis dengan pena itu menjadi kenyataan?” tanya Taehyung serius.
.
.
.
.
.
    “Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa hyungmu tidak mengingat apa pun.” ucap Jimin.
    “Entahlah aku juga tidak mengerti. Tapi apa kau sadar? Semenjak kejadian itu aku tidak pernah melihat Jungkook di sekolah.” ucap Taehyung yang fokus dengan bukunya.
    “Ah kenapa kita lupa ambil pena Seokjin hyung ya?” tanya Jimin.
    “Oh aku juga belum melihat Hoseok hyung disekolah.” Taehyung melirik Jimin.
    “Mereka ini benar-benar menyusahkan. Apa kita harus melanjutkan ini Tae? Lagi pula hyungmu sudah sadar.” Jimin menyandarkan bahunya pada kursi taman. Iya, mereka sedang berada di taman kota hari ini. Rasanya suntuk sekali dengan kegiatan sehari-hari yang sama persis.
    “Aku juga tidak tahu. Mungkin selama kita baik-baik saja kita bisa mengabaikan urusan mereka.” Taehyung berpikir.
    “Aish.. Apa yang kau mau?” tanya Jimin kesal.
    “Apa? Aku?” Taehyung menunjuk dirinya sendiri sambil menatap Jimin.
    “Bukan. Itu anak kecil yang berdiri di dekatmu.” Jimin menggeleng.
    “Ti-tidak ada siapa pun.” Taehyung celingukan.
    “Ah aku lupa kau tidak bisa melihatnya.” Jimin menepuk keningnya pelan.
    “Kyaaaaahhhhh Jimin-shiii! Kau menakutiku?” Taehyung berdiri dari duduknya.
    “Tidak menakutimu. Habis dia menatapku terus. Aku jadi kesal. Hahaha.” Jimin tertawa.
    “Me-memangnya siang bolong begini ada hantu?” tanya Taehyung.
    “Tentu saja ada. Kau pikir hanya malam saja?” tanya Jimin aneh.
    “Ya, ya kupikir begitu.” Taehyung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
    “Dan tentu saja—ah awas Tae!!”
    ‘BRUKKKK’ sebuah dahan besar terjatuh dari pohon beringin besar di belakang Taehyung. Jika Jimin tidak menyelamatkannya mungkin entah apa yang terjadi dengan Taehyung sekarang.
    “Untung saja.” ucap Jimin dengan nafas tersenggal.
    “A-apa yang terjadi Jimin.” Taehyung terduduk dengan wajah blank-nya.
    “Sesuatu ingin mencelakaimu. Dan dia ada di— Hosiki hyung? Apa itu dia?” Jimin menyipitkan matanya untuk melihat sesuatu yang baru saja terbang.
    “Lagi-lagi. Apa yang dia inginkan sih?” tanya Taehyung kesal.
    “Dia.. Sepertinya dia tidak ingin kita berhenti. Ia terlihat tidak tenang Taehyung. Aku merasakannya.” Jimin masih menengadah ke atas meskipun hantu tadi sebenarnya sudah pergi.
    “Abaikan saja.” Taehyung berdiri untuk mengambil bukunya yang terjatuh cukup jauh karena dorongan Jimin tadi.
    “Tidak. Kita harus membantunya. Kau akan celaka jika mengabaikannya. Lagi pula aku juga merasa kasihan.” Jimin menatap Taehyung.
.
.
.
.
.
.



Continued..

I purple U 💜

ᵀʰᵉ ᵀʳⁱˡᵒᵍʸ [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang