Catatan ke 20.17
Sebulan sebelum pertemuan dengan Gibran.-Rin POV-
Aku bertemu dengan salah satu mantan kekasih Gibran, lagi. Namanya Sheila Ardina Kasih. Entah alasan apa yang membuatku mengenal dirinya. Tapi, kalau tidak salah kami pernah menjadi teman kecil di area perumahan karena kebetulan rumah kami cukup dekat, hanya berbeda beberapa blok saja.
Awalnya pertemuan itu baik-baik saja. Kami berkenalan seperti biasanya, malah kami berbincang tentang masa lalu, dia mengatakan jika kami pernah satu taman kanak-kanak namun--tentu saja aku lupa.
Kemudian, beberapa minggu setelahnya adalah waktu dimana penempatan ruang kelas dan penjurusan dimulai.
Ada rasa khawatir, dan tentu saja aku berharap masuk ke jurusan yang aku impikan. Agar tak perlu susah lagi untuk meminta pindah kepada pihak sekolah. Plus, semoga aku bertemu orang-orang yang sudah kukenal dari smp, iya semoga.
Di sekolahku ada 6 kelas untuk jurusan ips dan 6 kelas untuk jurusan mipa.
Pada awalnya, aku tidak bertemu lagi dengan Sheila, aku tidak sekelas dengannya. Namun yang kutahu dan kutemui, di kelasku banyak sekali anak alumnus 9-2 dari sekolahku yang dulu, SMP Harapan Nusa yang notabenenya memang anak sekelas Gibran dan Sheila dulu.
Disisi lain, Sheila itu anak yang ramah dan baik, ceria, easy-going. Mirip miriplah dengan Aleesya karena mereka pun memang teman dekat yang cukup terkenal di smp.
Lalu, di minggu ke selanjutnya ada kabar bahwa Sheila akan masuk ke kelas kami. Maksudnya-pindah dan bertukar posisi dengan salah satu anak lelaki yang bernama Firlan Nova Wijaya. Aku agak tak ikhlas sih sebenarnya. Karena pada saat itu, aku cukup menyukai Firlan. Dia selalu membantuku mengerjakan tugas kelompok dengan baik juga taat beribadah. Maka dari itu cukup banyak orang yang menyukainya baik secara harfiah ataupun tidak.
Pada saat itu, ada rumor terdengar. Katanya, Sheila rela pindah ke kelas kami karena keberadaan Gibran. Lalu ada kabar lagi, karena baru beberapa hari masuk Sheila sudah mendapat masalah dengan teman lelaki sekelasnya, yang bernama Reza.
Aku semakin jengah dan bingung. Memang apa sih yang membuat seorang Gibran begitu terkenal akan sikapnya yang baik, tulus, dan pengertian diantara para perempuan? Apakah itu 100% benar? Aku masih belum sepenuhnya percaya, karena kami memang baru sekelas selama seminggu. Dan ya, kabar buruknya lagi adalah dengan raut terpaksa, Firlan akhirnya menerima tawaran yang Sheila berikan. Disitu aku merasa kehilangan salah seorang teman idamanku yang baru.
Sheila masuk ke kelas kami dengan wajahnya yang penuh ceria, namun sedikit muram juga. Karena katanya, ya memang pada akhirnya ia sudah nyaman berada di kelasnya yang dulu, yang notabenernya adalah kelas jurusan mipa. Kesannya begitu terpaksa dia masuk ke kelas kami, yang kebalikannya adalah jurusan sosial. Padahal dari raut air mukanya sekarang, aku jamin dan tebak, mungkin sebenarnya dia begitu bersyukur setelah ia melirik ke arah tempat duduknya Gibran.
Well, Gibran si laki-laki so popular dan si ratu drama Sheila sudah bersatu kembali. Aku muak melihatnya.
Kenapa aku muak? Karena sepenglihatanku sih, Gibran masih memiliki perasaan juga kepada Sheila, walaupun kesannya memang cuek. Dan disisi lain, Sheila juga masih mengejar cinta seorang Gibran yang telah lama ia putuskan. Aku mana tahu cerita asli diantara mereka berdua bagaimana, dan aku tak peduli. Karena aku masih geram atas kepindahan Firlan.
Namun fakta baru terkuak, hati-hati karena dengan secara sengaja dan tampang juga lakon yang tak bersalah, Gibran selalu menjadikan perempuan lain sebagai 'tameng' dia untuk menghindar menjauhi Sheila agar tidak sampai mengulang kisah kasih putih birunya itu, lalu Sheila pada akhirnya selalu menemukan 'mangsa' barunya. Mangsa yang berarti adalah sesosok perempuan lain yang ia anggap tak tahu diri karena jelas sekali telah berhasil dengan seenaknya merebut dan tak tanggung, serta merta mendapatkan perhatian khusus dari lelaki itu--Gibran tersayangnya. Yang tentu saja sudah ia siap remukkan dan patahkan, juga hancurkan setiap kesehariannya, tanpa rasa ampun. Terasa seperti siksaan neraka di dunia. Padahal jika diterka, ia tak pantas disebut sebagai malaikat sekali pun.
Well, lupakan hal itu sejanak. Mari kita beralih ke suasana kelas setelah adanya Sheila. Setelah Sheila masuk, kelas menjadi lebih ricuh. Masalah dimana-mana, tak tentram, tak nyaman dan terkesan hawa panas terus di dalam. Entah alasannya apa, tapi aku tetap berusaha tak mempedulikannya. Lagi pula urusanku di sekolah hanya untuk memikirkan pelajaran, masa depan, dan bukannya terjerumus ke dalam masalah karena orang yang tak berfaedah. Aku ingin lulus sempurna di tingkat SMA ini. Termasuk nilai sikapku juga, tanpa pengeculian. Lalu hubunganku dengan kedua orang diatas, hanya sebatas teman biasa-bukan sahabat ataupun kerabat. Itu pun hanya sebatas partner kerja kelompok. Tak lebih, tak juga kurang. Aku juga toh tidak dekat dengan Gibran. Walaupun dia sering mendekatiku dengan segudang caranya, aku sangat malas menanggapinya, karena aku tahu Sheila ada di belakangnya jikalau aku berani macam-macam, lenggak lenggok berakting layaknya perempuan genit nan centil yang tak tahu diri.
Disatu sisi, malah sejenak aku pernah berpikir, toh asal korban penindasannya bukan diriku sendiri, mengapa harus dengan ribetnya ikut campur?
Namun, tentu saja pemikiran ku salah besar.
Setelah aku amati, Sheila tak sebaik yang aku pikirkan sebelumnya. Dia itu bahaya. Pemberontak kelas kakap. Siapapun mangsanya, pasti akan dia terkam, tentu saja dengan seenaknya. Walau itu adalah orang tak bersalah yang sekedar mampir melintas di depannya kelewat tenang.
Dan, kalian tahu apa?
Sesosok perempuan itu adalah aku.Sabtu, 9 Februari 2019.
• END •[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Kata Rin-du.
Non-FictionHanya berisi potongan-potongan kecil memo seseorang perempuan rapuh bernama Rin dalam perjalanannya mencari tentang apa arti sebenarnya hidup ini, sementara terkadang tak seindah bayangan anak kecil berumur 4 tahun yang masih menikmati indahnya play...