5. Sayang, Aku Mau Makan!

60 5 1
                                    

Tangisan Zevanya semakin pecah, kala ia melihat jasad kedua orang tuanya yang berada di ruang jenazah. Luka di bagian kepala dan sekitar tubuh milik orang tua Zevanya semakin terlihat setelah darahnya telah dibersihkan.

Pak Tian dan bu Nias mencoba menenangkan Zevanya. Entah apa yang akan terjadi jika kedua guru tersebut tak bergegas menyusul kepergian Zevanya dari area sekolah.

"Sudah, Zeva. Yang tabah dan sabar!" ujar pak Tian mengelus pundak Zevanya.

Zevanya tak berkutat pada posisi memeluk tubuh sang mama. Bayangkan saja, selama ini Zevanya tak pernah mendapat kasih sayang yang lebih dari kedua orang tuanya. Kini, mereka berdua telah pergi dari kehidupan Zevanya. Untuk selamanya.

Seorang dokter memasuki ruang jenazah. Pak Tian dan bu Nias saling menatap.

"Kecelekaan tersebut telah merenggut nyawa bu Vandia. Beliau meninggal di tempat kejadian perkara, sedangkan pak Yahya sempat dilarikan ke rumah sakit dan hanya bertahan beberapa saat," jelas dokter tersebut pada pak Tian dan bu Nias.

Zevanya yang mendengar langsung bangkit berdiri, "Harusnya dokter selamatkan nyawa papa saya. Setidaknya saya masih punya papa di dunia ini! Tapi, lihat! Saya nggak punya siapa-siapa sekarangg!!" tangis Zevanya kembali pecah.

Dan tiba-tiba tubuh Zevanya ambruk mengenai tubuh sang dokter. Dengan sigap, dokter itu membopong tubuh Zevanya ke ruang inap rumah sakit.

"Dokter, titip Zevanya. Kami berdua akan mengurus pemakaman kedua orang tuanya," ujar bu Nias.

"Apa tidak sebaiknya menunggu dia sadar?" tanya dokter.

Bu Nias terlihat berpikir. Melihat kondisi Zevanya saat ini, sangat tidak memungkinkan jika menunda pemakaman kedua orang tua Zevanya. Apalagi, Zevanya masih belum dapat menerima kenyataan pahit.

"Biarkan saja. Nanti, jika Zevanya sudah sadar, dia bisa mengikuti acara pemakaman kedua orang tuanya."

"Baiklah," jawab dokter.

Pak Tian dan bu Nias segera mengurus pemakaman.

----------•••----------

Zevanya sudah sadar. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang serba putih. Bau obat yang menyengat berhasil menusuk-nusuk indera penciumannya. Seketika ia teringat, kenapa dia berada di tempat seperti ini.

Zevanya menitikkan air mata. Tubuhnya bergetar hebat.

"Zevanya, sudah bangun?" suara seseorang terdengar di sela isak tangis Zevanya.

Ia menoleh, mendapati seorang laki-laki berbaju serba putih sedang menatapnya. Dia ingat, lelaki itu adalah dokter yang menangani kedua orang tuanya. Zevanya menatap cewek yang berada di belakang dokter tersebut. Wajah familier, dengan rambut yang agak sedikit berantakan. Ia ingat, rambut itu bekas jamahan tangannya tadi pagi.

"Zevanya, maafin gue!" ujar Berlin mendekati Zevanya.

Lekas, Zevanya mengusap air matanya, "Gue juga minta maaf!" ujar Zevanya kemudian.

"Gue turut berduka cita atas meninggalnya orang tua lo, Zeva."

Zevanya mengangguk pelan, berusaha bangkit dari tidurnya. Berlin membantunya.

Zevanya menatap dokter yang sedari tadi melihatnya.

"Dokter, saya mau pulang!" ujar Zevanya.

Dokter itu mengangguk pelan, "Saya akan mengantar kamu!"

"Saya pulang sama Berlin aja. Dokter nggak usah repot-repot anterin saya," jawab Zevanya cepat.

"Eh, aku tadi naik taksi. Mobil aku di sekolah. Lo tahu kan, gue abis pingsan tadi?" timpal Berlin.

Zevanya kembali menatap dokter yang kini tersenyum manis ke arahnya. "Mari saya antar!"

Mau tak mau, akhirnya Zevanya mengangguk. Dengan dituntun oleh Berlin, ia berjalan mengikuti dokter itu ke tempat parkir mobil.

----------•••----------

Selesai pemakaman kedua orang tua Zevanya, Arthur datang membawa sebuket bunga dengan ucapan bela sungkawa. Arthur turut berduka atas meninggalnya kedua orang tua Zevanya.

Teman se-band Zevanya juga datang.

Zevanya masih dalam keadaan terpuruk. Dengan ditemani Berlin, Zevanya menyandarkan kepalanya di bahu Berlin.

Zevanya yang biasanya bertingkah konyol dan pecicilan itu seketika melemah.

"Sayang, maaf ya. Aku baru datang," ujar Arthur menggapai tangan Zevanya.

Zevanya menatap Arthur dengan tatapan sendu, lalu ia mengangguk.

Arthur tersenyum sumringah. Ditatapnya mata kekasihnya lekat, "Sudah makan, belum?" tanya Arthur kemudian.

Zevanya menggeleng tanpa mengucap sepatah kata. Lidahnya terasa kelu, karena hatinya masih dirundung gejolak kesedihan yang teramat sangat.

"Ya sudah, aku bawain makanan kesini. Nanti kamu makan, ya?" ucap Arthur lembut.

Lagi dan lagi, Zevanya menggeleng lemah.

"Apa perlu aku suapin kamu?" tanya Arthur lagi.

Zevanya bersikeras tetap tidak mau dengan jawaban gelengan kepalanya.

Arthur mundur selangkah. Entah dengan rayuan apalagi ia harus membujuk Zevanya agar mau makan. Arthur bangkit berdiri. Meninggalkan Zevanya dan Berlin berdua yang tengah duduk di sofa ruang tamu.

"Gimana?" tanya Bay yang sedari tadi berdiri melihat percakapan antara Arthur dengan Zevanya.

"Nggak mau makan. Biarin aja dulu," ujar Arthur.

"Ya udah, gue sama yang lain balik dulu. Kalo ada apa-apa, lo hubungin gue, ya?" ujar Bay menepuk bahu Arthur.

Arthur mengangguk, "Makasih lo udah dateng sama yang lain."

"Yoi, Bro. Jaga Zevanya, ya!" ujar Bay dan berlalu.

Arthur pergi ke teras rumah milik Zevanya. Ia melihat seorang lelaki dengan pakaian kemeja biru muda dan celana kain hitam panjang. Lelaki itu sedang duduk sambil memainkan ponselnya. Arthur berjalan mendekati lelaki itu.

"Lo ini siapa, ya?" tanya Arthur mengagetkan lelaki itu.

Lelaki itu menoleh ke arah Arthur, "Eh, saya dokter yang menangani kedua orang tua Zevanya," ujar dokter itu sambil menjulurkan tangannya untuk menyalami Arthur.

Arthur membalas jabatan tangan dokter tersebut, "Kayaknya gue pernah lihat lo, deh. Dimana, ya?!"

Arthur mencoba mengingat-ingat kembali. Namun, tidak ingat sama sekali.

"Itu, di pesta pernikahannya pak Tian. Saya nggak sengaja numpahin jus ke bajunya Zevanya," jawab dokter itu.

"Oh... Iya. Bener-bener," ujar Arthur terkekeh, "By the way, nama lo siapa?" tanya Arthur kemudian.

"Oh, iya. Kenalin mas, nama saya Haikal. Kalo mas ini namanya siapa?" tanya dokter itu yang bernama Haikal.

"Gue Arthur. Pacarnya Zevanya," jawab Arthur.

Dokter yang bernama Haikal itu mengangguk dan tersenyum agak kaku.

"Lo ada hubungan apa sama gurunya Zeva yang namanya pak Tian?" tanya Arthur.

"Dulu pak Tian pernah jadi guru les privat. Waktu dia masih kuliah, buka les privat. Dan saya masih kelas satu SMA," jelas Haikal.

"Keren, ya. Sukses lho, sekarang. Jadi dokter muda," timpal Arthur.

"Iya, mas. Alhamdulillah."

Percakapan keduanya berhenti ketika Zevanya keluar. Zevanya menatap dokter Haikal dan Arthur secara bergantian.

"Sayang, aku mau makan!"

Kedua lelaki yang sedang duduk itu langsung bangkit. Yang satu tersenyum sumringah. Yang satunya lagi ternganga tak percaya. Kemudian, mereka saling tatap dengan rasa bingung. Sebenarnya, yang dipanggil 'sayang' sama Zevanya itu siapa?

Hijabers Rock'n Roll #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang