Dokter itu pamit pulang setelah dirinya mendadak terkena serangan salah paham. Ia pikir, Zevanya memanggilnya dengan sebutan 'sayang'. Eh, tidak tahunya ia lupa bahwa lelaki yang baru saja ngobrol dengannya adalah pacar Zevanya.
Setelah selesai makan dengan lahapnya karena kelaparan, Zevanya memutuskan untuk tidur. Apalagi hari sudah larut malam. Berlin dengan setia menemani Zevanya saat itu. Sedangkan Arthur pamit pulang.
"Zeva, tadi lo dapet telepon dari sahabatnya Mama, lo. Katanya, kehidupan lo bakal ditanggung sama mereka," ujar Berlin.
Zevanya yang sedang memejamkan mata, seketika membuka matanya, "Siapa?" tanya dia.
"Siapa, ya tadi. Tante Mur-mur- siapa, sih tadi?!"
"Tante Murwani?" timpal Zevanya.
"Lah, iya itu namanya."
Zevanya terdiam. Sedang memikirkan sesuatu.
"Kenapa, Zeva?" tanya Berlin.
"Eh, gue kayaknya nggak suka deh kalo tinggal sama Tante Murwani," ujar Zevanya menampakkan raut muka sedih.
"Kenapa, Zeva? Kan enak tinggal sama Tante. Daripada sendirian di rumah segede ini. Ih, nakutin kayak di film-film horor gitu."
Zevanya mendengus kesal, "Gue jelasin ya, Berlin. Tante Murwani itu orangnya alim banget, disiplin. Lah, lo tau kan gue tipe orang kayak gimana? Ogah banget!" gerutu Zevanya menjelaskan seperti apa Tante Murwani pada Berlin.
"Iya juga. Lo kan rocker yang tampilannya udah kayak manusia abnormal. Hahaha..." Berlin terkekeh.
"Ye... Gini-gini gue normal. Rocker juga manusia!" timpal Zevanya.
"Iya, deh. Tapi, gue tadi udah bilang ke Tante Murwani kalo lo bakalan mau. Dan, besok Tante Murwani dan suaminya bakal jemput lo," jelas Berlin.
Zevanya melotot, seakan matanya ingin keluar dari kelopak matanya. Meneguk salivanya sendiri yang terasa amat sakit ditenggorokan. Kemudian, Zevanya menatap Berlin seakan ingin melahap gadis yang duduk di sampingnya itu.
"Kenapa nggak bilang gue dulu, Berlinnn??"
Zevanya marah. Berlin meringsut, menutupi dirinya dengan selimut tebal milik Zevanya.
Zevanya menggelitiki Berlin. Hukuman yang tepat untuk Berlin yang notabennya gelian jika disentuh sedikit saja.
----------•••----------
Pagi yang cerah bagi Arthur yang sedang menjemput Zevanya untuk pergi ke sekolah. Dan, pagi yang buruk bagi Zevanya yang siap menolak ajakan sang Tante untuk tinggal bersama setelah pulang sekolah. Dan, Zevanya akan terus bersikeras menentang kemauan Tantenya untuk pindah sekolah.
Bagaimana jadinya jika ia pindah sekolah? Meninggalkan kenangan indah bersama teman-temannya, Berlin, serta Pak Tian. Baginya, sekolahnya saat ini adalah sejarah paling hebat. Dimana ia biasa bolos, tebar-tebar pesona dan melakukan hal konyol lainnya.
"Kamu kenapa, sayang?" tanya Arthur sambil terus berkonsentrasi dengan laju kendaraannya.
"Lagi bete aja," jawab Zevanya singkat.
"Kenapa, sih? Pagi-pagi udah cemberut gitu. Semangat, dong!" rayu Arthur sambil mencubit kecil pipi Zevanya.
Zevanya menepis tangan Arthur, "Bodo amat!"
Arthur terdiam. Ia berpikir, ini bukan waktu yang tepat untuk bicara dengan Zevanya. Cukup biarkan Zevanya menenagkan diri sendiri. Arthur hanya perlu mengantarkan Zevanya sekolah dan memastikan pacarnya itu benar-benar sekolah.
Mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Namun, Zevanya tak kunjung membuka pintu mobil. Arthur menatap Zevanya heran.
"Kenapa lagi, sayang?" tanya Arthur.
"Gue bolos aja, deh!" jawab Zevanya mengerucutkan bibirnya.
Arthur menghela napas jengah, "Apa perlu diantar sampek ke dalam kelas?"
Zevanya melirik Arthur sekilas. Melihat tampilan pacarnya yang kali ini hanya menggunakan celana komprang selutut dan kaos bewarna hitam tak bergambar. "Nggak, deh. Makasih!"
Zevanya membuka pintu mobil dan langsung bergegas masuk ke dalam sekolah. Disana sudah ada Berlin yang sedari menunggunya.
"Lama amat, sih. Padahal udah berhenti dari tadi!" gerutu Berlin.
"Males sekolah, gue. Mending bolos!" jawab Zevanya.
Berlin berdecak, "Ckckck... Sekolah itu penting buat masa depan lo, Zeva!" ujar Berlin.
Zevanya memutar bola matanya malas, "Lah, yang penting gue pernah sekolah!"
Berlin menghela napas kesal, "Nilai lo tuh ancur banget karena sering bolos, Zeva. Gimana nasib lo kalo udah gede nanti?" tutur Berlin seperti jadi ibu-ibu yang menasehati anaknya.
"Gue udah gede kali, Ber. Dan, satu hal lagi. Nilai itu nggak menjamin kesuksesan di masa depan. Gue aja udah sukses jadi vokalis band Zee Galaxy. Bayangkan.. Gue lagi naik daun saat ini!" timpal Zevanya sambil melakukan gaya ala rocker.
Berlin seakan mati kutu. Berdebat dengan gadis kolot seperti Zevanya tidak ada gunanya. Nasehatnya bagai angin yang lalu. Apalagi dibumbui dengan bantahan-bantahan Zevanya yang sulit terelakkan. Bahkan kata-kata mutiara apapun tak akan mampu menembus kekukuhan dan pendapat dari seorang Zevanya.
----------•••----------
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijabers Rock'n Roll #Wattys2019
Teen FictionSiapa sangka, gadis bernama Zevanya Alexandria yang terkenal kolot, tomboy dan urakan kini berubah menjadi gadis fashionable dengan balutan hijab? Tidak ada yang tahu, ia dapat pencerahan darimana. Vokalis band bergenre rock and roll itu masih berku...