7. Masa yang Terlupakan

62 4 0
                                    

Zevanya mendadak terkena stroke kala melihat seorang perempuan berjilbab. Itu Tante Murwani yang sudah berjanji akan menjemputnya sepulang sekolah.

Dengan langkah kaku sambil menunduk ia berjalan melewati Tante Murwani yang sibuk memperhatikan murid lainnya yang sedang berlalu-lalang. Berharap Tante Murwani tak melihatnya.

Dan ternyata, Zevanya salah. Dengan gerakan cepat, tangan Tante Murwani telah sampai di bahu Zevanya, "Nak Zeva, Tante cariin dari tadi, lho."

Zevanya menelan ludahnya sendiri. Akhirnya, ia putuskan menoleh ke belakang dan ia mendapati Tante Murwani sedang menatapnya sambil tersenyum lega.

"Eh, Tante lagi ngapain disini?" tanya Zevanya pura-pura tidak tahu apa maksud kedatangan Tante Murwani di sekolahnya.

Tante Murwani tertawa dan menggiring tubuh Zevanya untuk masuk ke dalam mobilnya. "Tante kan udah bilang, Tante bakal urusin kamu. Sekarang, kamu bisa tinggal sama Tante."

Zevanya meringis, "Zevanya udah gede, Tan. Zevanya bisa kok urus diri Zevanya sendiri. Lagian, Tante kan cuma sahabatnya Mama. Bukan keluarga. Jadi, Tante nggak perlu repot-repot bantuin Zevanya segala."

"Jangan begitu. Anaknya Vandia juga kami anggap sebagai anak kami sendiri," ujar seorang lelaki yang baru Zevanya sadari telah duduk di depan kemudi sejak tadi, "Kamu nggak inget, dulu kamu sering banget nginep di rumah Om?" lanjut lelaki paruh baya itu.

Zevanya melihat raut muka seseorang yang menyebut dirinya sendiri sebagai 'Om' dari kaca mobil. Lelaki paruh baya yang memiliki kumis hitam tebal itu sedang tersenyum.

Sungguh, Zevanya tak ingat sama sekali pernah menginap di rumah mereka. Bahkan Zevanya telah lupa indahnya masa kanak-kanaknya dulu. Saat kedua orang tuanya masih memprioritaskan dirinya, putri kecil semata wayang mereka. Hingga semuanya berubah kala bisnis yang Papa dan Mamanya geluti semakin maju. Mereka berdua semakin sibuk dan jarang menemui Zevanya.

Ah, seharusnya itu telah Zevanya abaikan. Mengingat kedua orang tuanya telah berada di pelukan Tuhan. Biarlah semuanya jadi kenangan terindah Zevanya bersama kedua orang tuanya, walaupun itu terasa pahit jika diingat. Karena tak ada lagi kenangan lainnya yang berhasil Zevanya ingat.

"Tante juga udah pilihin sekolah yang dekat sama rumah Tante. Sekolah elite dan berada dalam lingkungan yang baik," jelas sang tante disela-sela lamunan Zevanya.

Tak sadar, ternyata mobil yang ia tumpangi juga sudah melaju, membelah angin yang tengah berlalu.

"Tapi, Zevanya suka sekolah yang saat ini," ujar Zevanya.

"Sekolah kamu yang saat ini, Tante kurang suka. Masa', Tante lihat tadi banyak murid-murid yang seragamnya nggak sopan. Roknya di atas lutut, kancingnya nggak dibetulin. Aduh, auratnya tersebar kemana-mana," ujar Tante Murwani sambil menampakkan muka risih yang teramat jelas.

Zevanya menatap dirinya sendiri. Bahkan ia tak jauh berbeda dengan apa yang Tantenya ucapkan barusan. Malah, ia lebih parah tampilannya dibanding teman-teman yang lainnya.

Tiba-tiba saja, ponsel Zevanya berbunyi. Menampakkan nama 'Bay' yang tertera pada layar ponselnya.

From Bay :
Lo udah baikan? Ntar kita manggung di acara pembukaan kafe baru. Ntar gue share location.

To Bay :
Okay. Gue udah baik. Gue bakal dateng!

----------•••----------

Zevanya memasuki rumah yang super besar milik Tante Murwani. Om Seno, yang tak lain adalah suami Tante Murwani tengah bersusah payah membawakan barang bawaan Zevanya yang di packing rapih di dalam tiga buah koper.

Zevanya melihat sekeliling dan melihat sebuah foto. Ada dirinya di dalam foto tersebut. Itu foto semasa kecilnya. Dan, di sampingnya ada seorang anak laki-laki yang umurnya lebih tua dengan dirinya.

"Siapa, ya? Kok gue lupa, sih!" ujarnya pelan.

"Kangen, ya. Sama masa kecil kamu? Ikal pulangnya malem. Jadi, tunggu aja. Mending kamu cemil dulu makanannya. Tente juga udah buatin teh anget buat kamu, sini duduk dulu!" ujar tante Murwani yang tiba-tiba muncul entah darimana sambil membawakan beberapa piring berisi roti kering dan secangkir teh hangat.

Zevanya terlihat cengo, alias bingung. Tak paham dengan apa yang Tantenya jelaskan. Entah siapa yang disebut Tantenya tadi. Ikal? Kayak familier di pikirannya, tapi Zevanya tidak ingat. Sama sekali tidak ingat.

"Tante, Zevanya nanti ada acara bareng temen-temen Zevanya. Boleh nggak kalo Zevanya pinjem mobilnya Om Seno?" tanya Zevanya.

Ia tidak mungkin menyuruh Arthur menjemputnya di rumah Tante Murwani. Bisa-bisa Zevanya tidak dibolehkan pergi. Pasti Tantenya bakal bilang: "Nggak baik anak gadis pergi malem-malem sama orang yang bukan muhrimnya."

"Temen Nak Zevanya perempuan apa laki-laki?" tanya Tante Murwani.

Dengan sangat terpaksa, Zevanya harus berbohong, "Sama Berlin, Tante. Dia perempuan baik-baik, kok. Dia juga sering jadi peringkat kelas kalo di sekolah."

"Oh, Berlin yang angkat telepon kemarin itu, ya? Boleh-boleh. Apa perlu Om yang anterin?" ujar Tante Murwani.

"Eng... Nggak-nggak usah Tante. Nanti malah ngrepotin Om Seno!" cegah Zevanya kelabakan.

Dari arah pintu depan, terdengar suara salam yang menggelegar. "Assalamu'alaikum...."

Zevanya dan Tante Murwani menoleh. Zevanya terhenyak melihat kedatangan seorang lelaki bertubuh tinggi dengan menggunakan balutan kemeja biru tua sambil menenteng jas putih di lengannya.

Tante Murwani berdiri menyambut kedatangan lelaki itu yang langsung mencium tangan kanan Tante Murwani. Dengan lembut, Tante Murwani mengusap rambut anaknya tersebut.

"Dokter Haikal kok disini?" tanya Zevanya tak percaya.

Yang disebut dokter Haikal itu menoleh dan tersenyum, "Assalamu'alaikum, Zeva. Semoga kamu nyaman tinggal di rumah orang tua saya."

Zevanya membelalakkan matanya. Tiba-tiba ia teringat foto yang tadi ia lihat. "Ja-jadi.... Cowok yang ada dalam foto itu dokter?"

Haikal mengangguk, sambil tersenyum seramah mungkin. Sedangkan Zevanya diam tak berkutat, tiba-tiba ia terserang syok berat.

Hijabers Rock'n Roll #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang