Bagian Satu

15 5 0
                                    

Adikku rusuh keluar masuk kamar Nenek yang sedari tadi kabarnya terjatuh di dapur. Aku yang baru datang pun segera melihat keadaannya. Benar kan. Entah itu apa, yang jelas perasaan tidak enak tadi ada benarnya. Terjadi sesuatu pada Nenek yang aku sendiri tidak tau apa yang dilakukannya di dapur. Bahkan adikku yang menemukan Nenek terkapar baru sampai rumah lima menit yang lalu.

Aku segera melempar tas sembarangan. Mengambil minyak kayu putih lalu duduk di sebelah ranjang Nenek. Mengusap kedua tangannya berkali-kali karena mulai terasa dingin.

'Nenek, bangunlah. Kumohon.'
Aku memejam. Lalu merasakan sesuatu bergerak di sekitarku. Saat kubuka mata, Rahma sudah duduk di ujung ranjang sambil mengelap kaki Nenek dengan air hangat. Sekaligus untuk membersihkan telapaknya yang terlihat kotor tadi.

'Ah, Nenek. Aku disini.'

Beberapa warga mengusap pundakku pelan sambil berpamitan setelah memastikan Nenek akan baik-baik saja. Satu-persatu pergi meninggalkan aku dan Rahma mengurus Nenek kami sendiri. Rahma mengangguk takjim pada seorang ibu yang tinggal di dekat rumah ketua RT yang kemudian pergi setelah tersenyum padaku.

“Terimakasih bu, untuk bantuannya."

Sahutku enggan saat Bu Ayla baru sampai di ambang pintu.

“Tidak perlu sungkan, Mawar. Sudah menjadi kewajiban semua manusia untuk saling tolong menolong. Apalagi kita kan tetangga. Yang bahkan sudah sejak kamu lahir kita tinggal bersebelahan.” Aku hanya mengangguk pelan. “Sudahlah, ibu pamit pulang ya. Jaga baik-baik Nenek kalian.” Sambungnya waktu melihat Rahma keluar kamar.

Aku melirik Rahma sekilas. Di sebelahku, dia masih berdiri kaku dengan seragam SMP-nya yang lusuh. Pelipisnya basah oleh keringat yang memperlihatkan jelas raut wajah khawatirnya. Tatapannya nyaris kosong sampai aku seperti tidak mengenalinya lagi. Sadar diperhatikan, dia menoleh. Lalu tersenyum tipis untuk kemudian kembali memandang lurus ke depan dengan tangan yang sibuk menekan lap bekas mengusap kaki Nenek yang kotor.

Tiba-tiba perasaan itu menyergapku lagi. Tidak tega dengan semua yang terjadi di rumah ini. Akulah anak sulung itu. Dan aku merasa sangat tidak berguna. Lihat. Seorang adik cantik di sebelahku nampak sangat kacau. Dia menunduk. Lalu kembali melihat sekilas kearahku sebelum pergi ke kamarnya.

Malamnya, aku tidak bisa tidur. Bukan soal Nenek. Pasalnya aku sendiri yang menyaksikan dia terbangun dan memberikannya segelas air putih. Dia kembali tertidur setelah aku menyuapinya nasi goreng yang dibuat Rahma. Nasi goreng spesial dengan telur mata sapi diatasnya. Sengaja. Nenek memang suka makanan sederhana itu. Dan yang lebih istimewa adalah, Nenek paling suka nasi goreng buatan Rahma yang menurutku selalu keasinan.

Aku menggeleng keras-keras sambil mengganti posisi berbaring. Membiarkan ingatanku lari sesukanya. Kemanapun dia mau. Yang penting, aku bisa tidur sebelum penyematan anggota baru klub sastra besok.

...

Bella sudah ada di koridor saat aku baru saja sampai di sekolah. Merapikan bajuku yang kusut bekas duduk di angkot yang penuh sesak. Kulihat, Bella mengusap pelan kepalanya sambil memasukan sampah roti yang sudah dihabiskannya.

"Assalamualaikum, Maw."

"Waalaikumsalam, Bell," aku mengernyit "kamu gak apa-apa? Kok pucat? Sakit?" Aku mulai mendekat. Berusaha meraih kedua tangannya.

"Gak apa-apa, Maw. Tadi aku hanya telat sarapan." Bella menyeringai polos.

"Betulan?" Aku ragu.

"Iya Mawar. Ayo masuk. Aku pegel berdiri terus."

Aku mengangguk lalu mengikuti Bella dari belakang. Langkahnya pelan. Seperti menahan sesuatu. Dan aku hanya berani melihat cara berjalannya tanpa berniat bertanya. Pasalnya, berkali-kali aku bahas soal ini, berkali-kali pula Bella mengelak. Bilang kalau dia selalu sehat. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Dan aku berusaha untuk percaya pada apa yang dia katakan.
Kuharap dia benar. Walau aku sedikit meragukan ucapannya. Aku takut dia menutupi banyak hal dariku. Takut kenyataan menamparku dengan hal sebaliknya.

"Oh iya," seru Bella setelah duduk. "Tadi Surya kesini nanyain kamu."

"Mau apa katanya?"

"Gak tau. Dia gak bilang."

Aku manggut-manggut sambil berpikir. Kalau dilihat dari kebiasaan, Surya biasanya mencariku untuk meminta data sesuatu. Dia ketua Klub Sastra. Laki-laki yang paling dekat denganku di sekolah. Lumayan akrab, dan membuatku nyaman tanpa khawatir terjadi hal yang aneh-aneh. Tidak tau juga aneh seperti apa. Yang jelas hal yang tidak diinginkan.

Aku hampir bicara lagi sampai kutangkap Bella sudah tenggelam lagi dalam bacaannya. Aku mendesah. Padahal masih pagi. Bella sudah meninggalkanku sendirian.

'Buku memang lebih menarik ketimbang aku ya, Bell.'

"Bella!" Aku geram.

"Apa?" Bella langsung menoleh. "Nenek?" Seakan mengerti, dia langsung bertanya.

"Nenek baik-baik aja."

"Terus?"

"Sepertinya aku makin menyukai Pandu."
Aku menghela napas. Memandang langit-pangit kelas sambil membayangkan wajah Pandu yang memang bertemu denganku di gerbang sekolah. Senyumnya manis, meskipun semua orang kebagian senyumnya. Tapi tidak apa-apa. Yang penting aku tidak dia lupakan untuk diberi senyum paling indah sejagat itu.

Bayanganku semakin indah.

Mengkhayalkan macam-macam soal Pandu yang kadang kutangkap salah tingkah ketika berbicara denganku. Entahlah. Mungkin aku yang geer. Tapi tidak. Dia memang salah tingkah. Aku yakin.
Bella tertawa keras sambil menutup mulutnya. Dia menunduk dalam. Berusaha keras untuk menenggelamkan tawanya yang katanya harus dijaga, tidak boleh keras-keras. Wanita harus benar-benar menjaga etika.

"Aku bosan, Mawar. Tiap pagi kamu bilang soal itu. Kukira masalah serius."

Aku hanya cengengesan. Dan berhasil membuat tawanya keluar lagi.

Tawa yang tiba-tiba memunculkan kekosongan. Bohong. Aku tidak menyukai Pandu. Aku hanya kagum. Sebab satu-satunya orang yang berhasil membuatku paham arti cinta pertama hanya Surya. Yang paling dekat, yang membuatmu merasa aman dan nyaman, dan paling mengerti aku setelah Bella. Yang sayangnya, semua harus berakhir hari ini. Saat pelepasan. Mengingat, Surya adalah orang yang profesional. Bicara dan bertanya hanya saat butuh. Bagaimana mungkin kami akan tetap dekat setelah penyematan anggota baru?

Bel berbunyi beberapa menit kemudian. Dengan aku yang tidak fokus pada pelajaran sebab memikirkan apa yang akan terjadi setelah siang nanti.

...

Namanya Surya. Hanya Surya. Kalau yang aku tau, artinya adalah matahari. Tepat seperti yang selalu kutangkap setiap pagi, yang selalu kutunggu kehadirannya setiap hari. Satu-satunya sumber cahaya yang tidak pernah kehilangan keindahannya. Menenangkan, persis seperti raut wajahnya yang terpahat sempurna. Membahagiakan, persis seperti ketika aku menatap lekat matanya saat sedang bilang 'Mohon perhatiannya.' Yang seringkali mendorongku untuk bilang, 'Aku selalu memperhatikanmu.'

Sejak kapan ya?

Mungkin sejak pertama kali memasuki ruang klub sastra. Yang ketika itu dia sedang duduk di pojok ruangan meskipun aku tau jiwanya tidak disana. Melainkan ada dalam dunia fiksi yang dibacanya.
Maka, sudah terhitung tiga tahun hingga hari ini.

Tiga tahun aku menyayanginya dalam doa. Berharap dia juga melakukan yang sama. Lupa pada kecewa. Sebab aku telah berani-beraninya menyimpan harap pada manusia selama itu.

Mungkin Bella akan bilang, 'Bayangkan kalau Allah cemburu!'

Aku lupa. Aku terlalu fokus pada obsesi perasaanku. Menggugu apa yang aku rasakan pada Surya hingga aku menutup diri dari siapapun yang mendekat. Aku lupa. Surya juga punya hati dimana milikku belum sampai ke tempatnya. Ada orang lain.

Bella.

Sahabatku yang cuma tau kalau aku menyukai Pandu. Tidak pernah tau sedikitpun kalau nama Surya benar-benar memenuhi kepalaku. Sampai-sampai namanya menjadi bagian dari berdetaknya jantungku setiap saat.

Mereka telah mulai membuat cerita.

...

Assalamualaikum, temen-temen.
Semoga kalian suka cerita pertamaku dan juga semoga kedepannya aku rajin posting. wkwk.

Jangan lupa buat ketik komentar kalian di kolom komentar supaya semua elemen dalam cerita ini semakin menarik dan berfaedah.

Salam Literasi.

Vote juga yah.
I Love You So Much.

AngganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang