Bagian Empat

7 1 0
                                    

...
Lalu siapa Pandu itu?

Dia teman dekat Surya. Tidak terlalu dekat seperti dengan Riez, tapi seringkali kulihat mereka melewati lorong berdua. Pandu bukan anak klub apapun. Tapi dia sangat populer. Mantan kandidat ketua osis yang sangat fenomenal. Perawakannya tinggi, rambut rapi, kulit putih dan mata sipit. Dia idola semua orang. Tidak heran aku menjadikan dia penutup dari perasaanku pada Surya.

Tapi kudengar, dia punya kepercayaan diri yang luar biasa.

Makanya kuanggap dia bahaya. Ancaman besar jika dia tau aku sesering itu mengatakan pada Bella bahwa aku sangat menyukainya. Pasti akan terjadi sesuatu. Walau aku sendiri tidak tau apa yang akan terjadi. Tapi pasti dia akan mengambil tindakan.

Pernah sesekali aku berpapasan dengannya, dia tersenyum. Aku membalas senyumnya malu-malu lalu segera berlari dengan Bella yang menertawakanku dengan usaha mati-matian menjaganya agar tidak terdengar keras. Pandu itu memang tampan. Tapi Surya juga tidak kalah tampannya.

Hanya saja mungkin beberapa bulan lagi, Surya bukan sesuatu yang pantas dikejar. Atau bahkan mulai detik ini. Ketika dia dengan semangat mengatakan kalau persis setelah kelulusan nanti, dia akan melamar Bella. Bella hanya tersenyum di ranjangnya dengan muka pucat yang sumringah. Dia bahagia.

Yang tanpa siapapun tau, kebahagiaan itu tepat berada diatas hatiku yang teriris sembilu. Ingin sekali berteriak. Cukup! Aku tau kalian bahagia.

Dan sepanjang cerita mereka yang terdengar mengesankan-namun mengerikan di telingaku- aku hanya terdiam. Menatap Bella dengan senyum tipis. Riez pun sesekali menimpali Surya yang sangat bersemangat dengan rencana-rencananya.

Aku juga sebenarnya punya rencana.
Aku ingin pulang dan menghentikan perasaan itu sekarang juga. Walau tidak mudah. Aku harus bisa.

Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Riez. Pukul empat sore. Alasan yang masuk akal untuk kabur dari sini. Bukan jahat. Aku hanya ingin mengobati hatiku dulu, menyiapkan amunisi agar kuat untuk datang di acara lamaran Bella nanti.

Walau aku sendiri kemudian tau kalau lamaran itu tidak pernah terjadi hingga aku kembali.

***

Riez memutuskan mengantarku pulang. Dia masih memikirkan perihal satu tetes air mataku yang jatuh diatas kebahagiaan Bella dan Surya. Dia cukup pintar memahami situasi hatiku. Matanya menatap iba awan-awan mendung yang berada diatas kepalaku, yang berusaha menyamarkan kesedihan itu. Kesedihan atas penolakan yang terjadi tanpa aku mengutarakan.
Penolakan yang lugas, tegas dan tidak bisa diganggu gugat.

Di perjalanan, Riez tidak bicara sama sekali. Dan langit seolah mendukung, mengurung dirinya dalam kumulonimbus di sekitar kami. Lalu kemudian gerimis, yang kemudian membuat Riez segera bicara.

"Kita berteduh dulu ya. Hujannya mulai deras."

Aku hanya mengangguk samar. Turun setelah Riez menepikan motornya di depan warung kopi yang mulai ramai oleh orang-orang yang berteduh. Aku meremas ujung kerudung yang tempias. Sekaligus menahan rasa ingin mengusap dadaku yang kesakitan sejak kemarin. Mataku nanar. Andai saja Riez tidak mengajakku berteduh, mungkin aku sudah menangis sejadi-jadinya dan berterima kasih pada hujan. Karena sungguh telah berbaik hati menutupi kesedihan.

Ujung mataku menangkap Riez berlalu. Menghampiri ibu pemilik warung sambil berbicara samar. Mungkin membeli sesuatu. Dan benar saja, dia membawa segelas teh hangat. Memaksaku duduk dan menikmati hangatnya teh yang ternyata manis itu. Teh manis. Dia juga membeli beberapa keping gorengan yang baru diangkat dari wajan. Menyuguhkan padaku. Memintaku memakannya dengan anggukan lembut sambil menyodorkan piring gorengan itu padaku.

AngganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang