Bagian Tujuh

2 1 0
                                    

Cinta adalah rahasia Tuhan. Seberapa jorok cinta itu, ada pada bagaimana dan untuk siapa cinta itu datang. Sebenarnya bukan jorok sih, terlalu kasar. Mungkin maksudnya ajaib, tidak terbaca. Seperti masa depan, takdir, hanya Tuhan yang tau. Cinta pun begitu. Dan aku belum pernah membuktikan cinta itu sehebat apa.

Apa sungguh-sungguh ajaib?

Apa benar-benar membahagiakan?

Dan disinilah, ditengah terik mentari telingaku menangkap suara yang keluar dari mulut Riez. Apa katanya?

“Aku serius sama kamu, Mawar.”

“Serius apa?” Sumpah aku tidak mau geer. Tapi jantungku entah kenapa tegang dan berdebar kencang menunggu jawabannya.

“Serius mau nikah.” Melihat raut wajahku yang keheranan, Riez malah tertawa lalu berlari menjauhiku. Dia terlihat sangat senang. Dan aku baru menyadari kalau kunci motor yang sejak tadi kugenggam sudah berpindah tangan. Dia memperlihatkan gantungan kunci boneka sambil tertawa mengejek.

“Eh, Riez!’

Kami berkejaran. Dengan aku yang membawa lari jantungku dengan debaran aneh yan berdesir di dalam aliran darah. Seperti ketika aku bahagia bersama Surya dulu, bedanya Riez menyenangkan. Seribu kali lebih menyenangkan karena lucu, suka membuatku tertawa belakangan ini. Sejak tadi malam.

Bagiku, Riez sangat luar biasa. Dia menyuguhkan banyak kebahagiaan saat bersamaku.

Tapi..

Bolehkah? Bolehkah aku bahagia saat bersamanya? Karena aku sangat bersemangat kali ini. Sungguh. Bolehkah? Bisakah?

...

Beberapa hari setelah aku menjemput Riez, berkejaran denganku, tidak ada lagi komunikasi di ponsel. Tidak ada telepon kedua, ketiga dan seterusnya. Aku sendiri lagi, dan Riez bersikap biasa lagi. Seolah apapun yang terjadi di terminal itu bukan antara dia dan aku. Status sosial medianya juga tidak ada yang aneh atau berbeda sama sekali. Karena biasanya orang-orang akan menuangkan isi hatinya untuk dilihat semua orang, atau seseorang. Seperti aku yang uring-uringan bilang terimakasih di status tapi Riez yang melihatnya sama sekali tidak menanggapi. Statusnya juga masih sama perihal hadist, sejarah islam, dan aku tidak tau bagaimana cara membaca pikirannya lewat apa yang dia bagikan.

Namun, apa perlu aku mencari tau?
Mungkin Riez memang biasa saja. Aku cukup seorang teman yang melindunginya dari kesepian atau persepsi orang lain soal dia itu jomblo atau tidak baginya.

Pandu masih tidak mau bicara padaku. Dia hanya sesekali tertangkap sedang menatapku. Gelagapan dan kembali melakukan tugasnya. Menyapu lantai, dan aku duduk di belakang meja kasir dengan senandung Bruno Mars yang menjalari telingaku lewat dua helai kabel headset.

Pikiranku menjelajah. Disaat matahari baru saja mau menampakkan diri, jiwaku mengembara lebih jauh, lebih cepat. Ke tempat-tempat yang tidak pernah aku tau akan menjadi saksi perjalananku. Ke koridor sekolah, warung kopi, hujan dan terminal. Riez, mungkin aku lancang. Aku telah menganggapmu pengganti Surya setelah kamu begitu menyenangkan.

Padahal baru sekali kan?

Tapi cinta memang begitu. Aku tau mungkin ini tidak adil. Maaf, Riez.  Aku terlampau percaya diri. Mudah memfokuskan pikirku pada sikapmu yang mungkin biasa kalau hatiku sedang tidak terluka. Tapi iya. Aku sedang terluka dan sembarangan menganggapmu sebagai obatnya. Kamu obat bagi semua yang terjadi belakangan ini padaku.

Kamu dimana Riez?

Aku candu akan kehadiranmu.
Seketika telingaku tidak lagi mendengar melodi musik melainkan nada dering telpon. Tertulis nama seseorang yang aku pikirkan disana. Seulas senyum terlintas dan segera kugeser ikon berwarna hijau untuk segera mendengar suaranya.

AngganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang