Bagian Tiga

7 3 0
                                    

Aku tertidur dengan mimpi indah dan harapan baru yang membangkitkan. Nenek sembuh. Senyum dan tawanya telah kembali.

"Pagi, Kak."

Rahma sudah berseragam rapi saat menyiapkan sarapan dan aku baru keluar kamar. Dia jadi mandiri dan cantik. Tumbuh seperti yang selalu ibu katakan dulu. Padahal masa kecilnya saja aku sampai tidak mau lagi mengingatnya. Hitam, kurus, jarang mandi. Ah. Apa pula yang penting dari masalalu selain jadi pelajaran? Yang jelas, Rahma sudah beranjak dewasa sekarang.

Nenek tersenyum melihatku. Matanya mengerling lucu. Mungkin dari tadi dia sudah duduk di meja . Memperhatikan Rahma yang sibuk bolak balik ke dapur sampai lupa mengetuk kamarku. Aku juga sebenarnya kesiangan. Karena tidur terlalu lelap dan lelah pulang kemalaman menunggui Bella.

Setelah mandi dan sarapan, aku dan Rahma bergantian mencumi Nenek yang tertawa geli melihat dua cucu perempuannya yang begitu bahagia. Lihatlah. Kami berebut dulu-duluan untuk bersalaman dengan Nenek.

"Kami duluan ya, Nek. Nenek baik-baik di rumah. Nanti Rahma akan segera pulang. Soalnya, Kak Mawar sibuk di sekolah. Pasti telat pulang." Kata Rahma sambil melirikku, "iya kan kak?"

Aku mengangguk pelan. Merasa bersalah.
Dan kami pun berangkat menaiki angkot yang berbeda arah.

***

"Mawar!"

Itu bukan suara Bella. Tapi Riez. Mantan ketua di Klub Rohani. Sebenarnya, nama aslinya Rieza Arga Kusuma. Orang-orang memanggilnya Arga. Sedangkan aku memanggilnya Riez karena lebih nyaman begitu, ditambah terdengar lebih keren.
Ngomong-ngomong, aku mengenalnya sejak kelas sepuluh. Dia anak yang baik, rajin, dan suka mengaji. Suaranya merdu. Dia juga satu klub denganku. Walau tidak seaktif Surya karena Riez mengikuti dua klub sekaligus. Klub sastra dan rohani. Dia juga pintar, penuh inovasi. Itu juga yang jadi alasan mengapa dia jadi ketua di klub rohani. Klub yang sekarang kegiatannya semakin banyak dan berfaedah. Padahal klubnya baru dibuka saat awal tahun aku masuk SMA.

Senang. Satu kesan yang muncul ketika menyadari kalau aku berteman baik dengannya.

"Udah lama yaa kita gak ngobrol." Riez bergumam.

"Iya, Riez. Padahal dulu kamu bawel banget. Sibuk di klub sebelah siih." Sahutku, "eh, kamu udah lengser jadi ketua?"

"Udah. Kenapa?"

"Kapan?"

"Dua hari sebelum klub sastra."

Aku mengangguk paham. Dia tersenyum lagi. Senyum yang mengingatkanku pada Surya.

Surya lagi? Ya ampun!

"Aku duluan ya, Mawar." Sahut Riez saat memasuki kelasnya karena sampai lebih dulu. Kelasku masih harus melewati dua kelas lagi.

Sambil melangkah, apa lagi yang aku lakukan selain berpikir? Benar. Aku terus berpikir. Sampai lelah rasanya dan ingin sekali membuang otak. Tapi tidak mungkin. Kalau mau kubuang, sekalian saja dengan hidupnya kan? Toh, aku masih punya penyemangat. Ada Nenek, Rahma, dan Bella tentunya. Walaupun secara tidak langsung keberadaannya mematahkan hatiku.

Tidak ada yang bisa disalahkan. Bella tidak salah, Surya juga tidak. Aku? Bisa jadi iya atau tidak. Sebab menyalahkan diri sendiri juga menyiksa batinku. Lagipula jika sudah begini, apa masih penting memikirkan perihal sumber kesalahan itu sendiri? Tentu saja tidak. Semuanya sudah terlanjur.
Dan aku harap, Pandu tidak mendengar sedikit pun soal apa yang selalu aku utarakan pada Bella. Kuharap dia tidak pernah tau sampai kapan pun.

Aku berhenti di ambang pintu. Bangku sebelahku kosong, padahal biasanya Bella sudah duduk disana dengan bukunya. Kemana dia?

Teringat sesuatu, sontak aku menepuk jidat. Kemarin kan aku meninggalkan Bella di rumah sakit tanpa pamitan. Dia marah tidak yah?

AngganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang