Bagian Delapan

6 1 0
                                    

Aku kembali..
Selamat menikmati kisah Mawar dan Riez yang sempat hilang. Sayang kamuuu semua


Sudah dua bulan tanpa kebiasaan itu, rasanya asing. Hari-hariku seperti potongan puzzle yang kehilangan salah satu bagiannya. Riez. Aku juga sudah pindah kerja ke restoran yang lebih besar, bagian administrasi dan urung untuk memberitahu Riez. Sebab mungkin dia sudah bosan denganku. Dia bosan dengan segala hal tentangku disaat aku malah candu.

Haruskah begini?

Sebelumnya, aku juga sudah berusaha untuk memperbaiki hubungan kami yang renggang tanpa sebab, menjadi dingin tanpa angin. Kubuka kolom chat nya, menanyakan kabar terakhirnya yang dibalas dengan tanda sudah dibaca. Tidak ada jawaban. Hingga kemudian aku lupa diri dengan memintanya mengantarku pulang dengan alasan macam-macam. Tidak berani naik ojek online, dan berbagai alasan klasik lainnya yang aku sendiri tidak percaya dari mana munculnya. Bagaimana bisa aku melakukannya untuk membawa Riez lagi padaku.

Tapi berhasil. Dia membalas pesan singkatku dan datang dengan sepeda motor yang berbeda di hadapanku. Kupikir, dia meminjam motor seseorang.

Aku hanya bisa tersenyum saat dia datang dan menyuruhku bergegas. Duduk dibelakangnya menjadi canggung setelah sekian lama. Aku malu dengan diriku, malu pada semesta, malu pada Tuhan, malu pada dia. Pria dihadapanku yang tidak mengucapkan sepatah katapun kecuali menjawab pertanyaan dengan jenis jawaban ‘gak apa-apa’ saat kutanya apa dia keberatan harus mengantarku.

Setelah itu, tawaku pun tidak lagi menjadi penghangat suasana kami. Justru aku merasa angin malam yang dingin lebih baik daripada tawaku yang kesepian. Iya. Beberapa kali aku mencoba bergurau, dia hanya diam.

Bodohnya, aku tidak melihat betapa dia sangat keberatan malam itu. Aku terus bicara hingga lelah menusuk dada begitu dalam dengan heningnya timbal balik yang kuterima. Bahkan setelah sampai rumah, aku tidak ingat apapun selain dirinya.

Aku khawatir berlebihan. Takut sekali jika terjadi sesuatu padanya di perjalanan pulang hingga satupun chat-ku tidak terbaca. Sebelumnya tidak pernah aku segila ini memikirkan kemungkinan buruk soal seseorang. Aku benar-benar takut. Takut kalau dia kecelakaan dan sebagainya. Bahkan malam itu, saat aku terbangun tengah malam, kusempatkan menanyakan lagi keadaannya hanya untuk sadar esoknya kalau dia hanya membaca semua pesan masuk bernada cemas dariku tanpa berniat menenangkan.

Apa semua perasaan selalu berujung kandas? Apa semua orang mengalami ini saat jatuh cinta?

Apa benar aku telah jatuh cinta? Tapi harus kuapakan berikutnya adalah pertanyaan terbaik. Riez sama seperti Surya. Mereka pergi setelah mendapatkan hati yang tidak mereka butuhkan. Kupikir dia sudah menemukan aku yang lain. Perempuan yang lebih bisa membahagiakanya tanpa pernah menyulitkannya. Tanpa pernah menaruh beban sedikit pun di pundaknya.

Aku minta maaf Riez kalau itu semua yang membuatmu pergi dari kita.

Aku kesepian lagi. Tidak berani untuk mengiriminya pesan dan berusaha untuk tidak peduli pada apapun soal dirinya. Aku mematikan semua garis yang bisa menghubungkanku dengan dia. Memblokir kontaknya, menghapus beberapa akun sosial media dan membuat yang baru. Sebisa mungkin aku tidak boleh melihat namanya, dimanapun agar melupakannya bukan lagi jadi sebuah kesulitan, siksaan dan sebagainya.

Tapi aku gagal. Namanya muncul lagi tanpa sengaja, dan sial. Aku kembali mengingat semua kenangan itu seperti kaset rusak. Terus berulang-ulang. Aku pasti sudah gila jika nenek tidak datang mengajakku bicara.

“Sudahlah. Mungkin Riez sibuk hingga tidak punya waktu sama sekali untuk bercengkerama lagi denganmu. Dia itu laki-laki, Mawar. Laki-laki lebih mudah menemukan pengalih perhatian.”

Seharusnya kalimat nenek itu membuatku sadar. Nenek hanya ingin mengatakan kalau dia berpendapat bahwa Riez sudah menemukan perempuan lain. Yang boleh jadi akan menjadi lebih spresial dari sekedar tempat menyimpan janji kemudian membawanya pergi lagi. Mungkin perempuan berikutnya akan memberikan dia kebahagiaan yang dia cari.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan semangatku yang sempat hilang, lalu kembali lagi setelah kupikir ‘buat apa memikirkan yang tidak memikirkan kita?’ Aku kembali menjadi Mawar yang kuat, walau ternyata semangat itu masih kurang satu dari empat bagian. Fakta bahwa Nenek sakit lagi setelah malamnya tertawa bersamaku dan Rahma. Keadaannya memburuk hingga harus dibawa ke rumah sakit.

Aku panik. Menemaninya yang terlelap hanya membuatku semakin kacau. Terlintas beberapa ketakutan yang terekam dalam kepalaku. Kemungkinan-kemungkinan terburuk yang tidak kami inginkan sama sekali. Pikiran yang membuatku tidak bisa tidur, tidak bisa menelan makanan, bahkan sampai kesulitan bernafas.

“Nenek harus sembuh.” Bujukku saat menyuapi Nenek sarapan yang disediakan pihak rumah sakit.

Melihatnya tersenyum membuatku sedikit tenang. Mungkin Nenek memang sudah merasa baikan. Aku berusaha berpikir positif belakangan ini, terutama soal Nenek. Makannya juga lahap. Seharusnya tidak ada masalah. Nenek bisa pulang hari ini.

Benar saja. Nenek memutuskan meninggalkanku pulang hingga Rahma pingsan di lobi rumah sakit.

Tubuhnya ditemukan sudah terbujur kaku dengan senyuman dan sinar yang tak pernah kulihat di wajahnya. Tenggorokanku tersekat menatap suster yang bulak-balik sibuk memastikan bahwa Nenek benar-benar sudah tidak ada. Berkali-kali mereka mencoba menggunakan pengejut jantung, semuanya repot. Dengan aku yang hanya menatap kosong ke arah keributan di dalam melalui jendela besar dibalik pintu.

Nenek, kini aku benar-benar harus sendirian ya?

AngganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang