Bagian Lima

12 1 0
                                    

Dua bulan yang lalu, aku wisuda. Mengalami perpisahan yang seketika mengalihkan duniaku ke tempat yang keras, penuh perjuangan untuk mencapai kecerahan masa depan yang penuh dengan perwujudan mimpi. Di tempat ini, aku memulainya. Restoran jepang.

Rahma sudah menginjak kelas 2 SMA jurusan ipa. Sekolahnya dipindahkan ke sekolah lamaku karena di sekolah lamanya kami terinjak biaya. Rahma juga tidak kuat. Katanya, pembullyan masih berlaku di sekolah tersebut. Meskipun guru-gurunya melarang, tetap saja anak-anak seperti itu sibuk mencari pembenaran. Dari yang masuk akal, sampai yang aneh. Mengada-ngada.

Sudahlah. Membicarakan soal itu tidak akan pernah selesai.  Aku sudah mau berangkat ke restoran. Menyiapkan banyak hal, menyambut lelah dan pulang di jam sembilan malam. Lelah pasti, tapi ini untuk Nenek. Mengingat seminggu setelah aku wisuda, tiga orang bertubuh besar dan kekar datang membawa amarah yang menuntutku melakukan sesuatu sebagai anak paling dewasa di rumah.

Aku sedang mencuci piring ketika Rahma terburu-buru menghampiri dengan napas tersengal dan ketakutan. Lalu segera berlari menemui mereka. Sumber keributan hari itu.

"Dimana ibumu?!" Laki-laki yang bertubuh paling kecil menggertak. Air mukanya keras, tegas dan menusuk. Menurutku, dia adalah pemimpinnya.

"Ibu tidak ada." Sergahku pelan sambil memalingkan muka.

"Lalu siapa yang paling tua di rumah ini?!"

"Nenek," aku menjawab ragu, "tapi bapak ada perlu apa?"

"Hutang ibumu menumpuk sejak empat tahun yang lalu. Kami mencari kamu kemana-mana. Gagal. Selalu meleset. Tapi syukurlah, kelihatannya sekarang kalian sudah mampu bekerja untuk melunasinya. Iya kan?"

"Saya baru lulus."

"Dan saya tidak peduli. Harus ada jaminan kalau kamu mau minta perpanjangan waktu."

"Berapa hutang ibu?"

"Dua puluh juta rupiah. Belum termasuk bunga dan denda telat bayar. Totalnya jadi lima puluh tujuh juta rupiah."

"Apa?!" Aku tersedak. Ini benar-benar merugikan. Ditambah lagi kami tidak tau kebenaran yang diungkapkan orang ini.

Lengang.

Laki-laki yang sejak tadi berbicara mulai tertawa diikuti dua laki-laki sisanya.
"Kami beri waktu satu tahun. Ingat, jangan main-main denganku. Lunasi hutangnya saat aku kembali nanti, di tanggal yang sama tahun berikutnya. Paham?"

Aku diam. Meloloskan suaranya yang tegas memasuki telinga dan mempengaruhi hidupku kedepan. Perjalanan yang kemudian memprioritaskan semuanya untuk mengumpulkan kemampuan bertemu tahun berikutnya.

Aku menghela napas. Mengingat itu sungguh membuatku kelelahan. Disini, di belakang meja kasir aku menatap pintu restoran. Memperhatikan air muka Pandu yang sedang menyapu halaman depan.
Benar.

Pandu bekerja di tempat yang sama denganku. Biasanya kami bergantian untuk bagian kasir. Jika sedang tidak giliran, kita bisa melakukan apa saja. Mulai dari menyapu, merapikan meja, membawa piring kotor, dan sesekali jadi pramusaji. Hanya ada enam orang pegawai. Empat orang yang lain bekerja di dapur. Tapi karena restoran jepang kurang ramai pengunjung, empat orang di dapur itu tidak semuanya memasak. Lebih sering merangkap dua bagian. Pramusaji dan koki. Dan aku adalah satu diantara dua perempuan yang bekerja disini.

Sudah pukul empat sore. Giliranku istirahat dan shalat dengan Ghea. Dia langsung menujuku, menarik tanganku dan membawaku ke mushalla. Kalau sudah seperti ini, mungkin dia ingin membicarakan hal yang serius. Matanya gelagapan. Melirik kanan kiri dan mengatakan sesuatu sambil berbisik.

"Aku nembak Pandu."
Hah? Kali ini aku yang gelagapan.
"Terus dia minta waktu. Katanya ini keputusan yang sulit karena dia baru aja patah hati." Ghea mendesah, sambil menyimpan mukena dan duduk selonjoran, dia melanjutkan kalimatnya. "Aaah, Pandu jatuh cinta sama siapa sih?"

AngganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang