Bagian 9

1.9K 161 13
                                    

Ya semua pembunuhan yang terjadi disekolah merupakan ulahku. Aku merasa kasihan pada bisu yang selalu tertindas. Aku berniat menolong, membantunya. Tapi siapa bisu bagiku? Apa hakku untuk membantu bisu? Hingga aku tahu bahwa bisu merupakan saudaraku– adik kembarku. Jika dilihat memang kami tidak terlihat kembar. Wajah kami berbeda. Memangnya kembar harus mirip dari segi wajah? Yang kutahu bahwa kembar adalah anak yang sama-sama berada dalam kandungan Ibu diwaktu yang sama. Dan Ibu bilang dia mengandungku dan bisu secara bersamaan. Pada intinya kami saudara. Cukup itu yang kalian tau.

Semua kulakukan untuk membantu bisu. Pembunuhan yang kulakukan jelas bertujuan untuk menghentikan penindasan yang dilakukan oleh kelompok yang mengaku berkuasa disekolah kami. Sekaligus mewakili rasa dendam teman-teman sekolahku yang selama ini mereka tindas. Awalnya aku bingung siapa yang pertama yang harus kuhabisi. Kemudian aku berpikir untuk membunuh pemimpinnya dulu. Kupikir dengan membunuh si bos terlebih dahulu itu membuat pengikutnya ikut menghentikan aksinya menindas murid disekolah ini. Namun ternyata dengan matinya si pemimpin tak menyurutkan langkah mereka untuk terus menindas disekolah ini. Mereka bahkan makin menjadi. Kesedihan yang mereka tampilkan setelah kematian pemimpin mereka hanya bualan. Mereka mungkin bisa saja menipu mata para polisi, guru, orangtua atau bahkan murid sekolah ini. Tapi tidak denganku. Aku dapat melihat kilat senang dimata mereka. Bagaimana tidak? Tidak ada lagi yang memerintah mereka sesukanya, tidak ada lagi yang memperlakukan mereka layaknya budak, dan mereka bisa berkuasa melakukan apa saja yang mereka mau. Termasuk menindas bisu yang memang menjadi langganan orang yang mereka tindas. Akupun sendiri tidak tau kesenangan apa yang mereka dapatkan ketika usai menyiksa bisu. Bisu yang selama ini diam, tidak berbicara bahkan tidak melawan mereka. Apa yang kau rasakan ketika melakukan sesuatu tanpa ada timbal baliknya? Kurasa begitu dengan bisu. Mereka hanya menyiksa tanpa menerima timbal balik berupa perlawanan.

Bukan saatnya aku menjelaskan mengenai kenapa bisu selama ini diam. Kenapa aku masih menyebutnya bisu padahal aku tau bahwa dia masih bisa berbicara. Bukan. Aku tidak berhak untuk bercerita itu. Biarlah bisu sendiri yang mengutarakan alasannya berlaku demikian. Meskipun aku tau kalian bingung dengan itu dan ingin segera mendapatkan jawaban. Kuharap kalian masih bersabar untuk itu.

Sejujurnya aku hanya ingin menyampaikan mengenai alasan aku melakukan pembunuhan disekolahku sendiri. Bagiku aku harus menolong saudaraku. Menurutku bisu terlalu baik. Dengan lapang memaafkan bahkan membiarkan mereka melakukan hal itu padanya. Jika bisu diam, tidak denganku. Aku akan melakukan apapun agar mereka berhenti melakukan tindakan semena-mena pada bisu. Jika kalian bertanya, apa kepuasan yang kudapatkan? Aku senang melihat bisu tidak lagi tersiksa. Aku cukup muak dengan mereka yang selalu memasang wajah sombongnya. Dan kini mereka tidak ada lagi. Sudah lenyap. Mereka semua sudah mati dan dengan bangganya aku mengatakan kalau mereka mati ditanganku. Suatu kebahagiaan melihat wajah sombong mereka berubah menjadi wajah penuh kesakitan akibat ulahku. Mendengar jeritan mereka bagai nyanyian pengantar tidur bagiku hingga membuatku mengantuk. Yeah aku melakukannya di malam hari. Selain tidak ada orang, itu melancarkan aksiku.

Pembunuh cerdas merupakan pembunuh yang tidak meninggalkan satupun jejaknya. Begitupun denganku. Aku berusaha melakukan semuanya dengan bersih tanpa meninggalkan sedikitpun jejak yang membuatku ketahuan. Aku membiarkan bisu yang menjadi pihak dicurigai, awalnya. Lagian orang benar akan selalu benar. Hingga akhirnya kepolisian mengetahui bahwa bukan bisu pelakunya. Mereka menemukan jalan buntu. Apakah aku harus tertawa bahagia akan hal itu? Mungkin aku akan mengadakan acara makan-makan begitu kepolisian menutup kasus ini. Seminggu dari sekarang jika kepolisian tidak menemukan bukti apapun lagi dan tidak ada lagi mayat yang ditemukan.

Bisu sudah dikeluarkan dari rumah sakit. Keadaannya sudah berangsur membaik meski luka pada wajahnya dan memar di beberapa bagian tubuhnya masih ada. Kuajak dia untuk ikut pulang bersamaku namun dia menolaknya. Aku bertanya mengenai alasannya namun dia hanya diam dan menghindar.

"Aku lebih nyaman tinggal di panti asuhan. Disana begitu ramai dan aku tidak merasa kesepian. Ada banyak adik-adik yang menunggu kepulanganku untuk bermain bersama mereka," jawabnya.

"Tapi, kau juga memiliki keluarga. Aku, ibu, tidakkah kau merindukan mereka? Apa kau tidak ingin tinggal bersama kami?"

Bisu tampak menggeleng. "Aku sudah terbiasa."

Terbiasa? Terbiasa tanpa kami begitu?

"Terbiasa tinggal di panti. Aku menyukai suasana disana," katanya seolah bisa membaca apa yang ada di benakku.

Aku juga tidak bisa memaksanya. Jadi kubiarkan saja dia kembali ke panti dengan aku yang mengikutinya. Tau aku mengikutinya, dia berbalik. "Kau sudah puas, 'kan? Mereka semua sudah mati. Jadi tolong, hentikan! Aku tidak mau menjadi alasanmu untuk membunuh ataupun menyakiti oranglain," katanya.

"Hey! Seharusnya kau berterima kasih padaku. Aku menolongmu agar kau tidak lagi disiksa oleh mereka."

"Seharusnya kau diam saja. Biarkan mereka melakukan hal sesukanya hingga dia bosan." Dia menjeda kemudian menatapku. "Seharusnya kau tidak perlu tau kalau kita saudara. Kau membelaku karena tau kita saudara, bukan?" Dia kembali melanjutkan langkahnya masuk ke panti asuhan tempatnya selama ini tinggal.

Kenapa? Kenapa aku tidak perlu tau kalau kami ini saudara? Apa dia tidak menyukaiku? Apa dia menyesal memiliki saudara sepertiku?

***

Oke saya tidak tau bahwa cerita ini memiliki banyak pembaca. Sebenarnya saya berhenti menulis karena kesibukan saya di kampus. Draf ini ada 16 Juni 2019 dan sekarang sudah April 2020, hampir setahun ditunda.

BISUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang