Bagian 8

3.7K 282 55
                                    

"Kau sudah pulang? Ibu sudah menunggumu sedari tadi."

Aku meletakkan tas ku dan menyalimi tangan Ibuku.

"Memangnya kenapa?" tanyaku. Tentu saja aku bertanya, ini tidak biasa. Ibu tidak pernah menungguku pulang dari sekolah.

"Ibu akan mengajakmu ke suatu tempat. Kuharap kau menyukainya." Aku mengerutkan kening.

"Kemana?"

"Ganti bajumu dan ikut dengan Ibu. Kau juga akan tau nanti."

Masih dengan kening yang berkerut aku menuju kamarku untuk membersihkan diri dan ganti baju.

Aku masih bertanya, kemana Ibu membawaku. Ternyata ibu membawaku ke panti asuhan. Aku tidak tau untuk apa Ibu membawaku kesini. Dia ingin mengadopsi anak lagi atau ingin membuangku ke panti asuhan ini.

"Jangan pikir Ibu akan membuangmu kesini. Ibu hanya ingin mengenalkanmu kepada seseorang. Kuharap kau senang mendengar ini. Dan tidak terkejut."

Kedatangan kami disambut wanita paruh baya yang kutebak sebagai pengelola panti ini. Dia membawa kami memasuki sebuah kamar yang kutebak merupakan kamar lelaki.

Pintu kamar tersebut dibuka dan benar kamar tersebut merupakan kamar lelaki. Didalamnya berisi perabotan kamar pada umumnya juga seorang lelaki yang membelakangi pintu. Tahu pintu kamarnya dibuka, dia berbalik dan aku terkejut begitu tahu siapa lelaki itu.

"Nak, kenalkan dia saudaramu. Adik kembarmu."

Dan aku lebih terkejut mendengar perkataan Ibu.

***

Aku merasakan tangan bisu dirambutku. Dia mengelusnya naik turun.

"Berhentilah..."

Aku melepas pelukanku dan menatapnya dengan tajam. "Apa maksudmu? Berhenti? Berhenti dari apa?"

"Mereka, mereka yang sering menyakitiku sudah mati. Hilangkan dendam dihatimu. Aku tidak apa-apa," katanya.

"Kau pikir setelah mereka sudah mati aku akan berhenti? Mereka semua yang pernah ikut menyiksamu atau menghinamu harus merasakan sakit. Minimal mulutnya harus dirobek atau dijahit agar tidak berani macam-macam dengan mulutnya."

"Aku tidak suka melihatmu begini. Kau kemanakan kakakku yang manis? Kenapa sekarang yang ada dihadapanku perempuan yang kejam?"

"Aku bukan kejam! Tapi mereka yang jahat. Aku sayang padamu! Sebagai kakakmu aku akan melakukan apapun untuk melindungimu. Termasuk membunuh."

Bisu meletakkan jarinya dibibirku. "Sstt, tenanglah. Jangan berbicara dengan suara keras. Orang lain bisa mendengarnya dan rahasiamu akan terbongkar."

"Tak apa! Aku memang ingin orang lain tau siapa aku. Aku ingin mereka tau apa yang telah aku lakukan dan tidak berani lagi macam-macam denganku maupun denganmu."

"Tapi aku tidak ingin mereka tau. Kau tau, kalau kau ketahuan dan ditangkap, kau akan menerima hukuman yang sangat berat. Bahkan hukuman mati. Aku tidak mau itu terjadi padamu."

Aku tersenyum. Uh, saudaraku yang manis.

"Ibu tau kau kesini?" tanya bisu kemudian. Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Tidak, dia tidak tau. Dari sekolah aku langsung kesini belum sempat pulang."

Bisu tampak menghela nafas. "Seharusnya kau minta izin dulu pada Ibu. Kalau Ibu cemas karena kau tidak dirumah bagaimana?" Bisu tampak seperti kakak bagiku, memberi nasehat ini itu. Padahal akulah yang kakak.

"Ibu tidak akan mencemaskanku. By the way, Ibu sudah menjengukmu?" Ibu panti pasti sudah memberitahu Ibu mengenai keadaan bisu.

"Sepertinya Ibu kesini. Tapi aku belum sadar. Aku melihat banyak buah-buahan dimeja. Pasti Ibu yang membawanya." Aku melihat kearah yang ditunjuk bisu. Ada beberapa buah-buahan seperti apel, jeruk, pir, pisanh dan lain sebagainya. Aku juga melihat ada piring dan pisau buah.

"Mau kusuapi? Aku akan mengupasnya untukmu."

"Jika kau tidak keberatan."

Aku mengambil jeruk, apel dan pir. Untuk mengupas jeruk, aku hanya mengupasnya dengan tanganku. Sedangkan apel dan pir, aku mengupasnya menggunakan pisau.

"Rasanya aneh menggunakan pisau ini," kataku.

"Aneh kenapa?"

"Aku menggunakannya untuk mengupas buah. Padahal aku lebih sering menggunakannya untuk menguliti dan mengambil mata orang. Tanganku kurang terbiasa. Daging buah dengan daging manusia teksturnya berbeda," jelasku. Tidak ada kesenangan buatku saat mengupas kulit buah ini. Berbeda saat aku mengupas kulit manusia. Membuatku senang dan tertawa bahagia. Apalagi ketika mendengar teriakan kesakitan juga tangis mereka. Tapi karena buah ini untuk bisu, aku senang melakukannya.

"Buka mulutmu," pintaku ketika aku sudah selesai mengupas buah. Dengan pelan aku menyuapkan potongan buah kedalam mulutnya.

"Kita seperti pasangan kekasih saja," celetuk bisu. Aku tersenyum mendengarnya.

"Orang memang akan salah paham ketika melihat kita. Kau tau teman sebangkuku? Dia mengira aku menyukaimu. Padahal memang aku menyukaimu. Kau 'kan saudaraku. Sudah lama rasanya aku menginginkan seorang adik." Sejak aku mengetahui bisu saudaraku, aku menjadi punya teman untuk berbicara. Selama ini aku kesepian. Ibu dan Ayah selalu keluar dan jarang dirumah. Kalaupun ada, jarang kulihat. Ketika pulang sekolah aku langsung masuk kamar dan keluar ketika makan malam. Saat makan malamlah aku bertemu dengan mereka. Lagipula tidak ada perbincangan pada saat makan. Ayah tidak menyukainya.

Memang saat aku dan bisu bersama, bisu cenderung diam. Aku yang lebih banyak bicara. Bisu bicara ketika bertanya, menjawab, atau memberiku nasehat. Bahkan dia jarang bercerita mengenai kehidupannya selama ini. Termasuk alasan kenapa dia tinggal di panti asuhan, bukan bersama kami keluarganya. Aku lebih memilih bertanya padanya ketimbang Ibu. Tapi dia malah diam dan tersenyum ketika ditanya, tidak memberiku jawaban sama sekali. Aku pun penasaran setelah ini. Apakah dia masih tetap tinggal dipanti asuhan atau ikut bersama kami pulang. Dia kelihatan lebih senang tinggal di panti asuhan. Meskipun ketika bertemu Ibu dia kelihatan sangat sayang dan rindu. Padahal setahuku Ibu setiap hari mengunjunginya dipanti asuhan.

"Sepertinya hari sudah sore. Aku akan pulang dan kembali besok. Sampai jumpa," aku mencium keningnya dan meninggalkan bisu diruang rawatnya. Kuharap sebentar malam ada seseorang yang menemaninya diruang rawatnya.

"Apa yang kau lakukan disini dengan pakaian sekolahmu di jam seperti ini? Kau tidak pulang kerumah?" Aku berlalu meninggalkannya tanpa melihatnya sedikitpun. Sayangnya dia mencekal pergelangan tanganku, menahanku untuk melangkah, "jawab pertanyaanku!"

"Lepaskan!" Aku berusaha untuk melepaskan tanganku yang berada dicekalan tangannya.

"Tidak sebelum kau menjawabku!"

"Lepaskan! Ini bukan urusanmu!" Ketika cekalan tangannya terlepas, aku langsung berlari meninggalkannya. Sambil berlari aku menoleh kebelakang untuk melihatnya, beruntung dia tidak mengejarku. Menyebalkan!

***

BISUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang