Bagian 1

10.8K 484 22
                                    

Dia selalu duduk di bangku sudut kiri kelas bagian paling belakang. Seorang diri. Tidak ada yang mau duduk bersama dengannya. Mungkin lebih baik duduk sendiri daripada duduk disampingnya. Setiap pelajaran berlangsung, dia hanya diam dan matanya fokus menatap guru yang menjelaskan mata pelajaran. Buku pelajaran dan catatan terbuka di mejanya dengan tangan kanan yang memegang pena. Sesekali dia menggerakkan penanya mencatat apa yang guru tulis di papan tulis putih atau kalimat penting yang keluar dari mulut guru. Dia memang rajin, tapi tidak pintar. Bodoh? Mungkin bisa dibilang begitu mengingat nilai ujian tertingginya yaitu 50 di mata pelajaran Sejarah Nasional Indonesia.

"Ya, ada yang kurang di mengerti? Jangan ragu untuk bertanya." Bu Fatma, guru Biologi memandang seisi kelas, tak terkecuali dia yang duduk disudut kiri kelas.

Dia menundukkan kepalanya dan mengambil satu lembar kertas hvs dari map yang sering dia bawa. Dia memang selalu begitu, menggerak-gerakkan penanya diatas kertas itu membuat coret-coretan, tulisan, atau sebuah gambar. Sejauh ini, aku hanya melihat itu di kertas yang selalu dia remukkan menjadi kasar berbentuk bulat. Dia sering membuang kertas itu ketika jam pelajaran sudah usai.

"Karena kalian diam semua, saya menganggap kalian mengerti. Cukup sekian pelajaran saya hari ini, sampai jumpa di ujian minggu depan," tutup guru Biologi itu sebelum meninggalkan kelas. Tadi memang  Bu Fatma menyampaikan bahwa di pertemuan selanjutnya, kelas ini ada ujian.

Setelah pelajaran Biologi usai, waktunya istirahat. Dia selalu membawa makanan dari rumah. Jangan berfikir dia akan ke kantin. Ke kantin sama saja dengan bunuh diri. Dengan kedatangannya ke kantin, semua anak-anak akan bubar dan enggan makan di kantin. Hal itu membuat Ibu kantin marah dan memaki-makinya. Tidak hanya itu, sepanjang lorong sekolah, anak-anak sibuk menyorakinya, memberi kalimat-kalimat kasar, dan bahkan melemparinya dengan sampah. Aku pernah liat dia sampai di kelas dengan seragam yang kotor dan bau dan dia menutupinya dengan jaket jeans lusuh yang setiap hari dia bawa. Karena baunya menyengat dan takut mengganggu kenyaman anak-anak yang lain, aku memberikannya parfum. Tapi itu malah membuatnya mendapat masalah. Dia di ejek satu kelas dan mengatainya perempuan karena menggunakan parfum perempuan. Saat di ejek seperti itu, dia hanya melihatku tanpa mengatakan apa-apa.

Memangnya apa yang mau dia katakan?

DIA BISU!!!

***

Aku terbiasa datang ke sekolah di saat sekolah masih sepi. Anak-anak lainnya akan datang saat bel sebentar lagi akan berbunyi. Berbeda denganku, sebagai seorang anggota perpustakaan aku harus datang pagi-pagi untuk membuka perpustakaan dan membersihkan perpustakaan. Mulai dari menyapu, mengepel dan merapikan buku-buku. Menata buku-buku agar kembali ke tempatnya adalah hobiku. Aku mengerjakan ini dengan ikhlas tanpa di gaji sedikitpun. Aku sama sekali tidak membutuhkan uang. Orangtuaku kaya, mereka bisa menyekolahkanku di sekolah swasta mahal seperti ini, memberikanku uang jajan berlebih, dan memenuhi semua yang kumau. Untuk apalagi aku mencari uang dari menjadi anggota perpustakaan kalau aku sangat berkecukupan? Anggap saja aku mencari pahala.

Perpustakaan terletak di lantai dua. Ada balkon yang bisa kutempati untuk melihat lingkungan sekolah dari lantai dua. Jadi setiap aku selesai melaksanakan tugasku, aku berdiri di balkon untuk melihat lingkungan sekolah.

Setiap harinya, yang mampu aku lihat hanya dia-si bisu yang membantu Pak Tarjo membersihkan sekolah ini. Mungkin dia harus bekerja keras untuk membayar biaya tambahan sekolah ini. Dia tidak bisa terus mengharapkan beasiswa inklusi dari pemerintah untuk bisa bersekolah disini. Jangan harap beasiswa itu cukup membayar sekolah swasta elit ini.

Dia mendapatiku sedang melihatnya. Si bisu itu. Jadi ku putuskan untuk berbalik masuk kedalam perpustakaan dan menutup pintu balkon. Aku harus ke kelas sekarang. Masih ada waktu lima belas menit yang bisa ku gunakan untuk mempelajari rumus Fisika. Hari ini akan ada ujian papan tulis yang diadakan oleh Pak Badar. Pak Badar adalah satu-satunya guru yang mengerti dengan keadaan si bisu. Setiap ujian dia mengadakan ujian papan tulis atau ujian meja. Setiap mengajar bahkan Pak Badar memanggil si bisu maju ke mejanya dan menyuruh si bisu menuliskan keluh kesahnya dan beberapa pertanyaan yang tidak dimengerti si bisu pada Pak Badar. Dan Pak Badar menjawabnya dengan sabar.

Lima belas menit itu sudah berakhir dengan masuknya Pak Badar di jam pertama ini. Pak Badar akan mengisi hingga tiga jam kedepan. Dan kulihat, si bisu sudah masuk ke kelas dan dengan tenang duduk di mejanya sembari membuka catatannya.

Ujian pun dimulai!

Aku sudah menyelesaikan ujian papan tulisku dengan hasil yang menurutku sudah cukup bagus. Pak Badar tidak banyak berkomentar. Hanya melihat cara kerjaku mendapatkan hasil dari soal yang dia berikan.

Aku tidak mendengar nama si bisu di panggil. Begitu aku duduk, sudah kulihat dia berdiri di depan papan tulis dengan memegang spidol di tangan kanannya. Soal sudah ditulis oleh Pak Badar, si bisu tinggal mengerjakannya saja.

Dia mulai maju menulis dan mencakar di papan tulis. Tak lama dia mundur dan meletakkan spidol di meja guru kemudian duduk. Aku cukup terkejut dengan jawabannya. Jawaban serta cara kerjanya benar!

Pak Badar menatap bisu sebentar sambil menahan senyum. Mungkin beliau bangga, perjuangannya mengajar bisu tidak sia-sia. Untuk kali ini, dapat kupastikan ujian papan tulis si bisu lolos dengan nilai yang memuaskan. Dan hari ini merupakan hari bersejarah bagi bisu mendapatkan nilai diatas 50.

***

Waktunya jam istirahat. Untuk hari ini aku menolak ajakan teman-temanku untuk ke kantin dan memilih untuk berdiam diri di kelas. Sebenarnya bukan berdiam diri. Dari bangku ku, aku bisa melihat apa yang dikerjakan atau yang dilakukan bisu. Entah kenapa aku suka melihatnya.

Dari pintu kelas, kulihat gerombolan anak nakal sekolah masuk ke kelas ini. Tanpa mereka menyebutkan tujuannya datang ke kelas ini, aku sudah tau apa maksudnya. Mereka pasti ingin membully bisu seperti setiap harinya. Aku bahkan bisa menghitung berapa kali mereka membully bisu.

"Ku dengar kau lulus ujian papan tulis Fisika, apa itu benar?"

Sebenarnya percuma mereka bertanya seperti itu pada bisu. Toh bisu tidak bisa menjawabnya.

Bisu hanya diam dan menundukkan kepalanya.

"Aku tau kau bisu. Tapi setidaknya jawab pertanyaan kita! Kau bisa mengangguk ataupun menggeleng!" teriak salah satu dari empat orang itu yang kuketahui sebagai pimpinan mereka. Untuk mengetahui namanya, kurasa tidak penting.

"Boss, sepertinya bisu ini perlu diberi pelajaran seperti biasanya."

"Pelajaran apa yang cocok buatmu? Yang jelas, kita tidak akan memberikan pelajaran fisika, kimia, bahasa Indonesia atau apalah itu!"

Aku hanya memerhatikan tanpa berniat mendekat. Apalagi untuk membantu bisu. Memangnya apa kekuatanku untuk bisa menolong bisu? Aku hanya seorang perempuan yang pasti akan kalah dengan empat orang lelaki.

Bisu di seret keluar dengan paksa oleh dua orang diantara empat orang itu setelah boss-pimpinan mereka memberi perintah. Setelah mereka keluar kelas baru aku juga keluar mengikuti mereka dari belakang dengan diam-diam. Aku tidak mau kalau mereka sampai melihatku.

Mereka ternyata membawa bisu ke toilet putra. Kebetulan saat itu toilet sepi jadi mereka bisa masuk seenaknya dan menyiksa bisu didalam. Karena toilet itu sepi, aku jadi ikut masuk kedalam untuk melihat. Beruntung mereka belum menguncinya saat aku masuk. Mereka menguncinya begitu aku sudah didalam dan menemukan posisi yang tepat untuk melihat apa yang mereka lakukan.

Bisu dibawa ke salah satu bilik didalam toilet dan dihimpit ke dinding sudut bilik toilet. Disana, bisu dikepung oleh empat orang. Salah satu yang merupakan pimpinan geng itu menampar pipi kiri bisu dengan tenaga kuat hingga kepala bisu terpelanting ke kanan. Teman yang berada di sisi kiri pimpinan geng itu mencoba menegakkan tubuh bisu yang mulai oleng dan menampar pipi kanan bisu. Lalu dua orang lainnya bergantian memukul dan menendang bisu hingga lemah dan jatuh terduduk di lantai. Mereka berempat, geng itu tertawa terbahak-bahak melihat keadaan bisu yang lemah. Bisa saja setelah ini bisu pingsan dan itu membuat mereka senang. Mereka sangat menyukai menyiksa bisu. Jangankan untuk mengadu atau meminta tolong, meringis kesakitan saja bisu tidak bisa. Karena tidak bisa bicara inilah yang menjadikan orang disekitar bisu menindasnya sesuka hati mereka.

"Empat lawan satu? Apa itu adil?!"

***

BISUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang