6 | Bertemu Kembali

708 129 104
                                    

Rian dan Dita sama-sama melanggar janji mereka. Dita dengan ketidakpatuhannya terhadap perintah Ilham dan Rian dengan ketidakteguhannya terhadap apa yang dia ucapkan.

Hari ini Dita menghubungi Rian di hari liburnya untuk meminta di temani oleh laki-laki itu di rumah sakit. Dita berani meminta Rian untuk datang ke rumah sakit karena Ilham tidak ada, Ilham tidak bisa menemani dirinya di rumah sakit karena harus bekerja kembali untuk liputan.

Bekerja dan bekerja. Dita tau dirinya egois karena sesungguhnya dia ingin sekali di temani oleh Ilham di saat sedang sakit seperti ini. Tapi Ilham tidak bisa menuruti kemauan Dita karena dirinya sudah terikat kontrak kerja. Padahal sebagai seorang yang menjalin hubungan, wajar bila dia menuntut kepada pasangannya untuk ada di saat-saat yang di butuhkan. Dita sekarang butuh sosok seseorang yang ada di saat dia membutuhkan. Ilham bukanlah orangnya dan pilihan Dita kali ini adalah Rian, walaupun Dita sadar kalau dirinya telah melanggar janjinya kepada Ilham untuk tidak menghubungi lagi Rian. Tapi lagi-lagi Dita butuh seseorang.

Begitu juga dengan Rian. Kemarin dia mengatakan bahwa tidak akan datang lagi menemui Dita. Rian bahkan hampir memantrai dirinya untuk stop menjadi pemicu timbulnya masalah di dalam hubungan orang lain meskipun Rian dengan amat sadarnya tidak pernah ingin jadi pemicu. Namun permintaan Dita langsung mematahkan semuanya, apa yang dia teguhkan sebelumnya, apa yang dia mantrakan sebelumnya pada dirinya sendiri itu tidak berhasil. Katakanlah di sini Rian egois.

__________

Di tempat yang sama, hari ini Hana mengantar adik bungsu kesayangannyan Arbani yang kerap di panggil Aban untuk menjalani operasi usus buntu.

Hana kesal setengah mati pas mengetahui kalau adiknya sakit usus buntu dan harus segera di operasi. Tapi kekeselannya itu tidak bisa dia utarakan karena bagaimanapun nasi sudah menjadi bubur. Malah dia makin merasa kasihan berkali-kali lipat kala adiknya itu meringis kesakitan.

"Tungguin dulu di sini ya, Mama sama Papa mau urus rujukan sama administrasi dulu" ujar Mama Hana dan Aban kepada mereka berdua.

"Iya, Ma" jawab Hana, sedangkan adiknya diam tak menjawab.

Orang tua mereka pun meninggalkan kedua anaknya di ruang tunggu yang terletak di lantai dasar. Tidak ada ketakutan karena mereka berdua sudah dewasa.

"Sudah tau kan rasanya sakit?" Cibir Hana.

Aban yang merasa di cibir hanya mendengus, menurutnya Kakanya itu bukannya mengasihani dirinya malah mencibirnya.

"Lain kali jaga makanannya, jangan hanya karena enak tetap di makan. Kalau sudah sakit seperti ini kan berabe"

Aban yang terduduk lemah di kursi roda menginterupsi, "Kak, Aban lagi sakit. Nanti kalau udah sembuh Kakak boleh ngomel"

Hana di buat gemas oleh adiknya yang sama sekali tidak terlihat seperti seorang adik karena postur tubuh Aban lebih besar dari Hana, begitu pun dengan wajahnya yang sama sekali tak terlihat seperti seorang adik. Yang ada malah terbalik, Aban terlihat seperti seorang kakak dan Hana seorang adik kecil.

"Ih, gemesin banget kamu tuh. Awas aja nanti kalau kamu bener sembuh, aku omelin"

"Kak! Jauh-jauh" Aban risih dengan Hana yang mencubit kedua pipinya seperti anak kecil.

Meskipun sedang sakit, dirinya masih harus mementingkan imagenya. Imagenya tidak boleh sampai jatuh hanya karena ulah sang Kakak. Nanti perempuan-perempuan yang sudah dia tandai di sekitarnya malah tidak jadi menaruh perhatian kepada dirinya.

"Kenapa?"

"Nanti di sangka Kakak pacarnya Aban, mana mau Aban di sangka punya pacar modelan Kakak"

Rendezvous | Rian ArdiantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang