BAB III

30 2 0
                                    

"Apapun dilakukan untuk mencari perhatiannya."

MATAHARI pagi sudah semakin naik, Edwin yang sudah hampir 10 menit duduk di kursi kayu panjang di sebuah tempat tambal ban dengan cemas terlihat bagaimana kakinya yang naik turun dengan cepat dan ia berkali-kali melirik jam pada hp, walaupun sebenarnya di tangannya sudah ada jam yang setiap hari dia pakai. Ini awal yang buruk, baru setengah jalan Edwin menuju sekolahnya ban motor miliknya bocor. Edwin enggan meninggalkan motornya dan melanjutkan perjalanannya ke sekolah

"Mas, ini ban motornya robek, nggak bisa ditambal," ucap pria yang sedang mencoba mencari tahu penyebab bannya bocor itu menoleh ke arah Edwin.

Tanpa berpikir. "Ya ganti aja. Bisa tolong cepet gak pak? Saya udah telat," pinta Edwin pada pria yang mungkin sudah berumur 40-an.

Setelah setengah jam Bapak tukang tambal ban tersebut selesai mengganti ban motor Edwin yang robek dengan yang baru. Edwin segera membayar dan berlalu tanpa mengambil kembaliannya, karena bapak tersebut mengatakan masih pagi dan belum ada kembalian.

Dengan terburu-buru Edwin segera memarkirkan motornya di kawasan parkir adundas, koridor yang sepi karena memang ini jam pelajaran, membuat Edwin berlari tanpa hambatan, hanya siswa-siswi yang sedang berolahraga di lapangan yang memperhatikan Edwin, tetapi tiba-tiba ia sadar satu hal, dia memegang bagian pinggangnya dan melihat satu atribut sekolahnya yang kosong, dia lupa memakai ikat pinggang. Langkah kakinya berhenti tepat di depan ruang kelasnya, dia duduk di depan kelasnya dengan lemas, Edwin enggan memasuki kelasnya tanpa atribut lengkap apalagi dia telat di pelajaran Bu Anis, harusnya sebagai ketua kelas harus mencontohkan perilaku yang baik, bukan?

Edwin kini duduk sendiri didepan kelasnya, memutar otaknya supaya bisa masuk kelas tanpa dimarahi sang guru, dan Edwin nggak mau kehilangan nyawanya yang tinggal 2, maksudnya Bu Anis mempunyai aturan yang masing-masing murid dia diberi 3 nyawa, 1 nyawa akan hilang jika sekali tidak masuk tanpa keterangan, apa yang terjadi jika nyawanya habis? Kalian tidak akan pernah mengikuti pelajaran dia sampai tahun pelajaran berjalan berakhir. Seram bukan?

Sepasang kaki dengan sepatu kets berdiri tepat di depan Edwin, Edwin mendongakkan kepalanya dan Cewek itu berkata,

"Gue tau lo lagi cemas karena gak mau kehilangan nyawa di tangan bu Anis." sambil menyodorkan sebuah benda yang sedang dibutuhkan Edwin."Nih pake punya gue,"

Edwin masih bingung dengan kelakuan cewek yang berseragam olahraga. membuat tangan cewek itu mengambang di udara dengan sebuah ikat pinggang bertuliskan SMA Nusantara di tangannya.

"Ini ambil, gak mau?" Tanyanya lagi seperti mengancam.

Dengan Ragu Edwin mengambil ikat pinggang milik cewek itu dan memakainya.

"Oh tenang, gue masih pelajaran olah raga jadi gak pake gesper," ucap cewek itu cepat tanpa titik koma seperti sudah menebak isi kepalan Edwin. Belum sempat Edwin mengucapkan terima kasih cewek itu sudah kabur lari ke lapangan.

"Edwin, ngapain kamu masih berdiri disitu. Udah tau telat masih santai aja." Suara bu Anis mengejutkan Edwin yang masih memperhatikan cewek itu berlari kembali menuju lapangan.

"Iy- iya bu, ini saya lagi rapihin baju." Edwin nyengir dan segera berjalan melewati bu Anis yang berdiri di depan pintu.

♡♡

Dugaan Nike salah besar.

"Jadi sekarang apa?" Tanya Uci yang sedang membetulkan kerudungnya, oh iya satu yang kalian belum tau Uci sekarang berhijab.

"Nggak tau ci." Nike menggeleng pelan. "Kan gue ngikutin saran lo,"

"Saran yang mana oon?" Uci langsung mengernyitkan dahinya dan menoleh ke arah Nike.

Second ChancesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang