TUJUH

1.3K 66 8
                                    

Emak sibuk mengaduk Nira yang mengental dan meletup-letup di atas wajan di perapian kayu bakar. Sedikit senyum tersungging di bibirnya. Setelah sekian lama Emak tak bisa tertawa. Kabar hari ini membuatnya lega.

"Pak, untung anak kita tidak menerima lamaran keluarga Hadi. Emak lihat sendiri kelakuan Hadi. Tadi mabuk dan di seret Pak Herman. Asalnya Emak kesal sama Ayu menolak Hadi. Mana kuping panas, tetangga mengatakan kita keluarga tak tahu di untung, menolak kebaikan keluarga Herman," ujarnya.

"Ya Mak, Ayu memang pandangannya ke depan. Kita hanya memikirkan kenyamanan ekonomi saja. Kita lupa bahwa agama seseorang itu lebih penting dari kriteria apapun. Bapak ngeri membayangkan Ayu bersuamikan orang pemabuk. Bukan tak mungkin Hadi juga doyan judi. Bapak dengar selentingan kalau Pak Herman juga sering judi.
Alhamdulillah, tidak kita titipkan pada keluarga yang salah. Diamnya Ayu dan ketabahannya mendengar segala caci maki Allah beri ganjaran. Tanpa menunggu waktu kita lihat Allah beri jawaban."

"Sekarang Ayunya ke mana Pak ?"

"Mahasiswa UNPAD datang hari ini, pasti membantu Pak RW menyambut kedatangan mereka."

"Mahasiswa kedokteran katanya, Pak. Seandainya Ayu punya suami seorang dokter kita pasti bahagia. Derajat kita tak lagi di anggap hina ya, Pak."

"Kenapa tidak? Jodohnya presiden juga bisa, Mak. Tak ada yang tak mungkin. Semoga kelak Ayu akan berjodoh dengan seseorang yang bernasab baik, berakhlak baik dan berparas rupawan. Aamiin."

"Aamiin,pak. "

Napas lega di embuskan kedua orang tua Ayu, ternyata langkah mereka menolak pinangan adalah benar. Meski, sakit hati atas gunjingan dan kata-kata tak enak di dengar belakangan di tujukan pada keluarga. Hari ini, Allah bukakan mata mereka atas kelakuan bejad sang calon mantu dan keluarganya. Mereka yang mencibir kini juga bungkam seribu bahasa.

*****

Rombongan mahasiswa kedokteran itu mengular. Ada kurang lebih sepuluh kendaraan datang pagi itu. Bagi orang kampung, kehadirannya bagaikan sebuah tontonan istimewa. Anak kecil berlari mengekor di belakang rombongan mobil. Mereka terlalu senang dengan banyaknya kendaraan yang datang.

Cuaca sangat bersahabat. Langit sangat cerah. Padahal seminggu hujan tak henti mengguyur belakangan. Matahari seolah riang mengucap selamat datang. Menyambut kawanan pasukan mahasiswa dari Bandung.

Yudistira tampak berjalan memasuki bale desa. Seluruh warga terpesona dengan penampilannya. Menjadi fokus perhatian. Orang yang paling keren di antara semua pasukan yang datang.

Ayu yang membantu di sana sekilas melihat Yudistira. Sungguh Ayu terpesona dengannya. Makhluk ini berbeda dengan yang lainnya. Paling tampan dan berkharisma. Astaghfirullah, ternyata aku normal juga, bisa merasakan ketertarikan pada lawan jenis. Apalagi makhluk Tuhan ini Allah berikan kesempurnaan penciptaan. Ayu senyum sendiri.

Yudistira mengedar pandangan. Mengapa tak menemukan gadis putih abu di antara kerumunan warga. Tak susah mencarinya. Hanya dia yang menggunakan penutup kepala di kampung ini. Tapi, mengapa tak kelihatan batang hidungnya. Entah mengapa begitu terpesona dan penasaran. Padahal tak sekalipun melihat seperti apa rupa gadis itu.

Ayu memang bertugas di belakang. Segera pergi pamit pulang setelah tugas selesai. Tak mau kampungan menyambut mahasiswa seperti menyambut dewa.

"Lu celingukan nyari apa, Dis?" suara Utari mengagetkannya.

"Enggak, hanya sedikit heran dengan sambutan meriah mereka pada kita. Serasa jadi artis"

"Hooh, sayang red carpet nggak di gelar ya," tukas Yudha.

ANAK GUNUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang