EMPAT PULUH SEMBILAN

1.2K 64 2
                                    


Raungan sirine ambulance memecah keheningan malam. Ambulance berhenti di bangunan yang cukup tua. Penghuninya berjajar menyambut dengan haru. Entah kapan akan menyusul menjadi jasad Seperti penghuni ambulance yang baru datang.

Sesosok jasad tak bernyawa dikeluarkan dari ambulance. Tetes air mata mengiring kedatangan. Esok atau lusa, pasti akan bernasib sama. Menjadi mayat tanpa tangis keluarga.

Mereka hanya insan terbuang, menjadi cibiran, sampah masyakarat. Entah sampai kapan cap itu akan melekat pada mereka. Penyakit yang menghimpit dijadikan alasan membuang mereka ke jalanan.

Padahal saat itu adalah masa paling sulit. Diambang hidup dan mati. Mereka teramat membutuhkan sokongan dan dukungan keluarga dan orang terdekat.

Seharusnya karib kerabat dan sahabat mendekat, merangkul dan menguatkan bukan membuang dan mengucilkan.

Jasad kurus tinggal tulang bersalut kulit itu diletakan di tengah ruangan. Beberapa orang mengaji di sebelah jasad. Menunduk dan menangis mengenang nasib.

Hanya sendiri, benar sendiri. Tak ada tangisan kerabat dan keluarga menyertai. Tak ada sanak saudara mengirim do'a. Mereka sudah lama dianggap mati.

Semua orang tak ada yang mengenang, bahkan tak ingin tahu seperti apa nasibnya. Ketika vonis penyakit disebutkan, saat itu raga telah dianggap mati. Tak ada yang perduli lagi, masih hidup atau sudah tak bernyawa lagi.

"Ada pesan terakhir dari almarhumah?" tanya ustadz yang dipanggil untuk menyalatkan jenazah.

"Dia menyuruh kami menghubungi nomor ini ...."

Seorang perempuan mengulurkan sebuah kartu nama.

"Baiklah, tolong telpon dan kabarkan kematiannya!" titah Ketua yayasan.

Seseorang menelepon nomor yang tertera di kartu nama.

"Jangan di kafani dulu, Pak ustadz. Pinta orang yang kami hubungi tadi. Mereka sanak saudaranya. Langsung akan datang ke sini," tegas yang menelpon pada ustadz.

Ustadz mengangguk, mengiyakan.

Gema alunan ayat suci Al-qur'an menggema seiring bertambah pelayat yang datang. Semua berempati karena persamaan nasib mereka. Sadar jika sang malaikat maut juga tengah mendekat, seiring penyakit yang menjalar kian liar.

******

Menjelang subuh.

Saat tapakur bersujud menghamba Sang Pencipta, kabar duka itu datang. Mengguncang. Tak kuasa isak tangis membahana.

Rasanya belum lama wajah lelah Risma ada dihadapan keluarga Hadi Wijaya. Menyerahkan tanggung jawab pengasuhan si mungil pada Keluarga.

Isak Ayu mengiring sentuhan lembut pada si mungil, Naura. Kasihan.  Masih kecil harus kehilangan ibunya. Raga tanpa dosa didekap di dada. Tangan yang satu mengelus perut perlahan. Menenangkan Janin yang seperti turut berduka. Meronta.

Ayu mendekap erat Naura yang terlelap. Mobil melaju kencang membelah keramaian pagi buta. Begitu cepat laju kereta besi. Membuat semua yang didalamnya oleng ke kiri dan kanan.

'Nak, kamu masih punya mama, tak usah takut. Takan mama sia-siakan. Meski kau tak dikandung sembilan bulan lamanya. Tidak dilahirkan dengan susah payah. Kamu tetap anakku, percayalah.'

Tak harus sebutan ibu hanya untuk mereka yang mengandung dan melahirkan. Aku akan menjadi ibumu. Meski hadir si mungil anak kandungku, takan kamu kekurangan cinta dan kasih sayang. Tekad Ayu di hati.

Mobil terhenti di sebuah bangunan tua. Keluarga Hadi Wijaya turun tergesa.

Seorang datang mempersilakan masuk.

ANAK GUNUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang