DUA PULUH DUA

1.3K 65 1
                                    

Siang sudah sepenggalan. Terik matahari begitu menusuk kulit. Kemarau melanda, sudah dua bulan lamanya. Angin kering membuat suhu udara naik beberapa angka dari hitungan Celcius.

Dua sejoli sudah selesai melihat koleksi lukisan dengan berkeliling. Lumayan lelah mengelilingi bangunan yang cukup besar.

Yudis mengajak Ayu masuk sebuah butik yang berdiri tepat di samping galery.

Ayu mematung di pintu. Melihat koleksi di dalamnya membuat pusing kepala. Bagus semua, susah milihnya.  Deretan list harga juga membuat perut melilit.

Ayu sudah menebak maksud Yudistira. Mungkin melihat tampilan pakaian Ayu yang orang akan memekik, oh, no. Membuatnya ingin memermak habis, seperti dalam cerita sinetron di layar kaca.

Mendandani agar tak memalukan saat berjumpa di khalayak ramai. Pamer dengan tampilan baru yang membuat mata terpana karena tampilan yang tak lagi sederhana. Berbeda.

"Ayo masuk, sayang. Aku ingin membelikan kalian hadiah. Ayu boleh memilih beberapa yang di suka. Pilih juga sekaligus buat orang di rumah." Desak Yudis yang mulai kesal ketika Ayu menolak dan menggeleng kepala.

"Kakak malu punya calon istri seperti Ayu? Tak punya apa-apa. Penampilan yang tak menarik dan kampungan, " lirih Ayu perih.

Yudis menatap pilu manik mata yang luka itu. Nada terhina tersebar dari suaranya. Harga diri Ayu koyak. Tatapan penuh hina dari Sisca membuatnya begitu terluka. Marah dan sedih dengan ucapan Ayu. Marah karena sikap Siska yang meremehkan calon istrinya, mendorong ingin memermak habis tampilan Ayu. Sedih karena ucapan itu nyata adanya.

Tampilan ayu memang tak up to date. Kampungan dan sedikit norak. Bajunya terlihat sangat irit budget.  Murah meriah. Jauh dari kata layak menurut gaya hidupnya Yudis.

"Siapa aku bagimu?" tanya Yudis.

Ayu bingung menjawab. Ayu tak mau di panggil kekasih Yudis. Sudah Azam tak mau ada komitmen sebelum menikah. Cukup nanti hanya komitmen pernikahan. Bukan status pacar.

"Kakak, in syaa Allah calon imam Ayu," jawabnya pelan.

"Boleh, kalau calon imam memberi hadiah? Apa hanya orang lain yang boleh memberimu, sedangkan aku tidak."

"Apa maksudmu?"

"Bukankah Yoga memberi satu set perhiasan mahal dan Ayu menerima. Hanya yoga yang berhak memberikan hadiah."

Ayu diam. Bungkam. Memang terbuka soal pemberian hadiah dari yoga. Takut Yudis salah paham. Kini itu di jadikan alasan untuk menyerangnya.

"Bukan seperti itu, Kak."

"Lalu seperti apa?"

"Kakak melakukan ini karena Tante Siska, kan?"

Yudis menarik napas panjang. Terlalu pintar untuk di bodohi kau, Ayu.

"Antara Ya dan tidak. Tak bolehkah aku membuat Ayu istimewa. Tak hanya memberi hati juga apapun yang aku punya? Ingin melihat Ayu tampil beda, apakah salah jika ingin melihat orang lain melihat Ayuku juga begitu sempurna."

"Ayu tetaplah Ayu, seberapa tebal dempulan juga tetap gadis gunung. Kakak tak usah malu jika jalan sama Ayu. Inilah Ayu apa adanya bukan ada apanya. Biarlah Ayu tetap seperti ini."

"Oh, jadi hanya yoga yang boleh merubah Ayu jadi lebih cantik dengan pemberian hadiah yang mahal, sedangkan Yudis tak boleh"

"Ya Allah, kenapa kakak berpikir begitu. Ayu mohon jangan seperti ini."

"Kakak mohon juga, Ayu jangan menolak. Jadi kita impas."

"Baiklah. Kakak menang. Tapi ... kakak yang pilihkan. Ayu tidak pernah tahu fashion yang bagus."

ANAK GUNUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang