DELAPAN BELASAN

1.2K 61 1
                                    


Pintu gerbang sekolah di buka lebar. Tampak lengang. Semua sudah masuk di Aula sekolah. Dengan  tergesa dan tertatih Ayu melangkah. Kain panjang membuat langkahnya susah. Apalah daya ini hari istimewa. Hanya datang sekali. Walau ribet harus aku lakukan.

"Sampai lupa, terima kasih, Pak Yoga, " ucap Ayu. Tubuhnya rengkuh sebagai tanda hormat dan terima kasih.

"Sama-sama, hati-hati." jawab Yoga tersenyum. Lucu melihat si telanjang kaki, susah payah berjalan memakai higheel. Samping  yang di pakai menambah susah melangkah.

Yoga menatap Ayu dengan kagum. Sudah banyak mendengar ukiran prestasi gadis manis itu semenjak kecil. Bagaimana perjuangan ingin bersekolah. Sungguh kagum di buatnya. Luar biasa. Limited edition.

Yoga pergi dengan tersenyum. Semoga  bisa memetik bunga mawar putih dari lereng gunung. Masih putih, murni dan alami. Belum terjamah dan ternoda. Tanpa terkontaminasi paparan polusi.

"Ya Allah, Ayu! Bagaimana bisa datang terlambat. Ini harimu, kamu bintangnya hari ini. Masak kesiangan juga," teriak Irniaty bak geledek menyambut sahabatnya.

"Emang sudah mulai?"

"Belom, cuma takut saja acaranya akan redup tanpa sang bintang" jawab Eva.

"Kalian itu kenapa, selalu bilang bintang. Apanya yang bintang?Aku hanya purnama yang terkena gerhana. Redup tiada cahaya."

"Aiih ... merendah. Kamu itu juara satu kabupaten. Hebat selalu begitu sedari SD ya kan?" Nurasiah Jamilah menepuk pundak Ayu.

Ayu menarik napas panjang. Betapa sesaknya dada.

"Hanya tertulis di kertas. Pada kenyataannya. Aku hanya seorang pejuang tanpa peruntungan. Langkahku hanya bisa sampai di sini. Tidak seperti kalian yang masih bisa lanjut pendidikan."

"Bener, nggak lanjut kuliah, Yu?" Thien kaget mendengar ucapan Ayu.

"Kan dapet beasiswa. Masak nggak lanjut kuliah. Sayang beasiswanya. Bahkan ada yang jauh-jauh dari UGM, segala. Ambil Ayu! hanya kamu yang dapet beasiswa itu." Nurasiah tampak merasa sedih.

"Biaya kuliah Alhamdulillah beasiswa. Tapi, buat sehari-hari makan sama ongkos dari mana. Aku sudah merasa kasihan melihat bapak harus putar otak membiayai biaya sekolah sekarang. Belum adik saya yang tiga sudah mulai besar dan harus sekolah. Dari mana bapak bisa membiayai? Kuliah itu butuh biaya banyak, tak hanya bayaran bulanan atau semester. Butuh biaya harian yang tak sedikit. Aku tak mungkin mogok makan lagi untuk demo pada orang tua. Sekarang tinggal terima nasib saja. Alhamdulillah, akhirnya bisa wisuda jadi sarjana SMA," ujar Ayu tersenyum kecut.

Jadi sarjana SMA. Ya lulus sekolah setingkat SMA seperti jadi sarjana.   Sudah lulus jadi alumnus SMA juga sangat bahagia. Sudah cukup, setidaknya jadi orang pertama di kampungnya dapat ijazah SMA. Harapan memakai baju toga hanya impian semata.

Empat sahabatnya merangkul Ayu erat. Sungguh di sayangkan jika gadis sepintar Ayu tidak bisa melanjutkan pendidikan. Apa hendak di kata, sudah suratan, jika Ayu harus menelan pil pahit kenyataan. Mereka
berangkulan bersama. Terisak. Memeluk Ayu erat.

Sebuah panggilan terdengar menyebut nama Ayu. Saatnya penerimaan piagam penghargaan siswa terbaik. Ayu maju terdepan sebagai kebanggaan sekolah. Prestasinya membuat harum almamater. Dengan bangga Bapak kepala sekolah memberikan piagam dan piala, juga sebuah bingkisan tanda penghargaan.

Ayu melangkah dengan pasti. Podium menjadi saksi si gadis gunung menjadi juara untuk kesekian kalinya. Tepukan tangan mengiringi langkahnya. Bukan bahagia dan sumringah di wajah. Mendung menggelayut, lara menerpa. Setitik air mata menyertai uluran selamat yang di berikan padanya. Ini kali terakhir piagam dia genggam. Penghargaan mampir di tangan.

ANAK GUNUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang