TIGA PULUH TUJUH

1K 38 2
                                    


Mobil Yudis masuk pekarangan rumah. Sepi. Rumah itu seolah tak berpenghuni. Ayu sering pulang terlambat dengan alasan kegiatan kampus. Padahal Yudis tahu ingin menghindar dan melupakan lara hati.

Gazebo yang biasanya ramai dengan anak tetangga kini kosong melompong. Tak ada canda tawa atau riuh teriakan bocah yang main di sana.

Biasanya tiap hari, jika Ayu ada maka tetangga berkumpul bercengkrama. Sekedar hanya mengasuh anak di depan rumah. Beberapa waktu lalu rumah itu seperti rumah singgah tak pernah sepi. Ayu senang menjamu mereka walau hanya dengan makanan kecil sederhana dan air teh tawar yang disuguhkan secara percuma.

Kolam renang di samping rumah tampak lengang. Biasanya Ayu duduk membaca buku di tepian sambil membawa makanan. Menunggu Yudis pulang. Tak ada lagi secangkir kopi dan cemilan terhidang di meja. Hanya riak air dan sampah mengambang menghiasi sudut sana.

Ruang tamu yang biasanya di jadikan tempat bermanja juga tak lagi ada siapa-siapa.

Ruang keluarga tempat menonton TV dan berdebat berebut Chanel favorit juga lengang. Tanpa ada TV menyala.

Rasa haus mengantarkan Yudis kedapur. Tempat favorit Ayu menyiapkan makanan untuknya. Kadang masak bersama. Biasanya Mak Inah akan berteriak kesal saat bahan makanan jadi guyonan. Tepung dan telur tumpah di mana-mana. Kini dapur itu tampak teramat rapi dan bersih, persis seperti sebelum Ayu menjadi penghuni rumah.

Sayup Yudis mendengar suara kecapi suling. Musik mistis khas Sunda yang begitu menyayat hati. Suara dentingnya seakan mengoyak hati.

Yudis berjalan mendekati sumber suara. Kamar Yudis dan Ayu yang sudah lebih dari sebulan di tinggalkan.

Yudis mematung di ambang pintu. Terdengar suara tangis Ayu di sela suara dentingan kecapi. Ayu tengah melihat video pernikahan mereka. Tangisnya kian menjadi, saat video sedang memutar akad nikah. Terdengar suara sah.

Yudis berlari memeluk istrinya.

"Maafkan aku, Sayang."

Ayu hanya diam. Tak berontak atau mendorong tubuh Yudis. Tatapan matanya kosong. Air mata mengalir di pipi. Tanpa ekspresi.

"Jangan diam begini, marahi aku. Bentak aku. Pukul, sayang. Cakar atau seret  juga tak apa. Tapi tolong jangan diam membisu."

Yudis mengambil tangan Ayu. Memukulkan ke wajahnya sekeras mungkin. Wajahnya memerah juga tangan Ayu. Ayu masih tanpa reaksi. Diam bagai patung tanpa nyawa.

Yudis membingkai  wajah istri dengan kedua tangannya. Menatap matanya. Mengusap air mata yang mengalir deras meluncur di pipi yang terlihat sangat tirus. Ayu membalas tatapan itu. Sebulan mereka tidak bisa begitu dekat seperti ini. Kali ini mata mereka beradu pandang. Tatapan perempuan pengisi hati itu tajam menghujam.

Bersama dalam satu atap tapi begitu terhalang sekat. Seolah ada jurang pemisah diantara keduanya. Tebing curam menjadi penghalang komunikasi. 

Dua bulir air bening kembali mengalir di ujung netra. Seolah Mata Ayu berkata, mengapa?

"Kita akhiri semua. Cerai saja. Sudah cukup kita saling mencintai. Cukup saling menyakiti." Suara Ayu terdengar jelas walau pelan.

Yudis tak terkejut dengan permintaan istrinya. Mengambil napas yang dalam. Dadanya sesak.

"Yakin ingin melakukan hal itu?"

Ayu diam.

Mengapa berkata demikian, kak? Bukannya menolak. Apa kamu tak tahu, jika aku tak sanggup berpisah dari kamu sedetik saja. Bagaimana jika berpisah selamanya?

ANAK GUNUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang