EMPAT PULUH DELAPAN

1.2K 64 2
                                    


Ruangan itu mendadak hening. Berjuta kata direka dalam benak dan kepala semua yang hadir disana.

Perempuan bercadar tertunduk dengan isak yang tertahan. Naura lelap dalam dekapan Yudistira. Yudis enggan melepaskan atau menidurkan si cantik.

Ayu mendekap kaki Naura. Mengelus lembut dengan penuh kasih sayang. Tamu itu kian merana melihat perhatian dan kasih sayang keluarga itu pada Naura. Sedih bercampur bahagia.

"Maaf, Dek, siapa adek ini? Apa maksud kedatangan ke sini?" tanya Om Wijaya.

Perempuan itu menarik napas panjang. Mengatur napas yang sedikit tersengal. Tampak dada agak turun naik karena sesak. Mencoba memperbaiki posisi duduknya.

Lama semua menunggu. Dengan seribu satu pertanyaan.

"Mohon maaf jika kedatangan saya menggangu ketenangan kalian. Saya ...."

Ucapnya tertahan tangisan. Semua sabar menunggu.

"Ya, siapa anda? Mengapa bisa bersama Naura tadi di gerbang komplek. Bisa jelaskan semua pada kami!" tanya Om wijaya

Perempuan itu menunduk dalam. Tangannya perlahan membuka cadar yang menutupi wajah.

"Risma!?"

Yudis dan Ayu kompak menyebut nama.

"Maaf, saya datang lagi. Menggangu lagi," ucapnya terisak.

Yudis dan Ayu tak mengenali Risma. Tubuh kurus dengan napas yang tak normal. Wajahnya pucat dan tak bercahaya. Seperti menderita. Padahal Risma dulu begitu cantik dan berwajah segar.

Jantung Yudis  berdegup kencang. Bayangan kejadian malam itu datang. Apakah mungkin ....?

Ayu mulai menelisik wajah Naura. Cantik mirip Risma. Hidung dan bibir mirip Yudistira. Deg! Hatinya bagai di cabik rasanya. Mungkinkah Naura?

"Maaf, saya tidak bermaksud menggangu ketenangan kalian. Saya datang karena terpaksa. Maaf ... "

Semua makin bingung dengan ucapan Risma. Degup jantung Ayu dan Yudis kian bertalu. Mulai menebak tujuan kedatangan Risma dengan debaran.

"Saya ingin memberikan Naura pada kalian. Saya meminjam Naura seharian. Malam ini dikembalikan."

"Naura itu anakmu?" Om Wijaya kian penasaran.

Risma mengangguk.

"Naura adalah anak saya dan juga ...."

"Yudistira Hadi Wijaya," sambung Ayu memotong ucapan Risma.

Om Wijaya terkejut bukan kepalang. Lututnya mendadak lemas. Beruntung tidak koleps.

Bagaimana mungkin anak kesayangan akan berbuat durjana? Sebandel apapun Yudis tak pernah melecehkan perempuan. Terlebih ia tahu betapa Yudis mencintai Ayu. Takan mungkin berpaling dan menghianati.

Risma dengan suara serak dan parau menceritakan semua yang terjadi tanpa ada yang disembunyikan.

Om Wijaya terhenyak. Mengapa Anak menantu menyimpan rahasia sebesar ini darinya. Menutup rapi tanpa pernah terendus. Tak dinyana rahasia itu terbongkar juga.

"Jadi Naura itu cucuku? Darah daging Yudis?"

"Ya, pah. Maaf kami merahasiakan kejadian itu. Kami menutup aib itu rapat karena tak ingin melukai Papa. Tak di sangka akan terlahir Naura dari kisah tak sengaja itu," jawab Yudis menunduk.

Om Wijaya tak bisa berkata apa-apa. Tak ada yang bisa disalahkan atas peristiwa malam itu. Yudis tak tahu jika itu bukan Ayu. Risma juga dalam pengaruh alkohol. Semua terjadi tanpa disengaja.

ANAK GUNUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang