[9] Last

45 7 2
                                    

Ada yang bilang, "Berhenti menangisi orang yang bahkan tidak peduli dengan tangisanmu." Mungkin itu benar. Tapi, bagaimana jika kepedulian besar itu tidak bisa diungkapkan? Hanya di dalam hatinya saja.

Saat itu, entah dari mana dan sejak kapan, aku tiba-tiba saja berhadapan langsung dengan Raay. Di sini, di lapangan luas milik sekolahku, keramaian sangat memelikkan telinga. Begitu banyak murid yang berlalu-lalang di area lapangan. Cuma kami berdua yang hanya diam dan saling menatap tak percaya.

Tak butuh waktu lama, air mataku pun menetes satu demi satu. Tanganku terangkat untuk menutup mulut yang seakan menahan sebuah isak tangis.

Akhirnya, aku lekas pergi walaupun seluruh tubuhku masih gemetar karena gugup. Entah kemana langkah kaki ini akan membawaku pergi, yang jelas aku ingin menjauh saja.

Di bangku taman ini, aku duduk, menunduk, dan masih berusaha menenggelamkan isak tangis. Beberapa kali aku menyeka pipiku yang basah karena air mata. 'Bodoh' Aku memaki diriku sendiri.

Sepasang kaki pun terhenti di depanku, aku terpaku, perlahan, aku mengangkat wajahku untuk melihat seseorang yang berada tepat di depanku.

Dia...?

RAAY?!

Lagi-lagi aku menatapnya dengan air mata yang berlinang.

"Ke-kenapa...?" suaraku terdengar gemetar.

Sesaat Raay terdiam menatapku dengan pandangan yang tajam, "Lo bener-bener...," tiba-tiba Raay membuka suaranya, "Jahat Tih!" lanjutnya.

Aku menghadap langit sembari berkedip beberapa kali, agar air mata sialan ini menghilang.

"Gue gak tahan jauh-jauhan kayak gini, Tih." Ucapnya serak.

Aku menatapnya lekat-lekat. Aku juga baru menyadari bahwa Dia... juga menahan tangis?

"Lo pikir gue kuat jauh-jauhan kayak gini, Raay? Gue sama sekali gak bisa jauh dari lo tau gak? Di sini, rasanya... sakit! Raay!" Aku tak bisa lagi membendung air mata ini, Aku juga menepuk-nepuk dadaku yang terasa nyeri. Hanya terdengar isakan tangisku yang keras.

Raay mulai mendekatiku, "Jangan nangis, Tih."

Aku mulai membuka bibirku. Sungguh, rasanya berat untuk mengatakan sesuatu.

"Tenangin diri lo dulu." Pintanya.

"Raay, gue pengen balik kayak dulu lagi. Gue pengen perbaikin semuanya dari awal. Gue... gue janji gak bakal nyia-nyiain lo lagi!" Tangisanku semakin menjadi-jadi.

"Tih, dengerin gue dulu." Ucapannya membuatku semakin tak bisa bernapas. Aku takut dia akan menolakku mentah-mentah lagi. Seperti dulu...

"Gue itu emang orang yang temperamental, gak bisa sabar, gak mau ngalah, nakal, playboy, semuanya! Semuanya yang buruk itu ada di hidup gue! Ngerti gak lo?! Tapi...," nada suaranya melemah. "Semenjak ada lo di hidup gue, semua kebiasaan buruk gue hilang." Jelas Raay dengan penuh penekanan.

Aku diam menatapnya.

"Jujur, gue emang capek sama semua itu. Gue capek ngadepin sifat jutek lo yang kebangetan. Gue juga capek diperlakuin kayak gitu. Gue capek banget nunggu lo sadar gimana caranya merlakuin gue kayak pasangan lain." Lalu Raay mengepalkan kedua tangannya, sedikit menunduk memalingkan wajah.

Aku berjingkat kaget melihat ekspresi Raay yang baru ia tunjukan, antara rasa sedih atau kecewa. Buru-buru Aku berdiri, dan menggenggam tangannya. Raay sedikit kaget melihat tindakanku yang tiba-tiba, "Raay...," Ucapku lirih. "Maafin gue, Raay."

Sungguh, kata-kata Raay tadi seribu kali lebih menyakitkan daripada lewat chat. Bibir Raay sedikit mengembang entah itu sebuah senyuman atau seringaian.

IS RAAY [I'm Sorry Raay] - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang