Haru No Sakura

3K 93 8
                                    

Lee Haruki

Aku terbangun saat mendengar ada seekor burung yang mengetuk-ngetuk jendela kamarku. Sinar mentari sudah menelusup kedalam kamar meski hari masih teramat pagi. Aku berjalan menuju jendela, menyibakan horden yang menutupinya. Tak kutemui seekor burungpun namun aku dapat mendengar cicitnya yang bersautan dengan burung lainnya. Aku membuka jendela kamar, harum musim semi langsung menguar mengisi seluruh ruang dalam pernafasanku. Rasanya cerah, secerah langit biru dimusim semi dengan bunga sakura yang bermekaran.

Aku segera beranjak menuju kamar mandi, menyikat gigi dan membasuh wajahku. Setelahnya aku memakai seragam sekolah, memakai softlens bening dan mengikat rambut hitam panjangku. Aku pergi ke ruang tengah kemudian, menuju kuil kecil milik ibuku, menyalakan dupa, mengayun lonceng dan berdoa untuknya. Ayah bilang, ibu meninggal setelah melahirkanku dan tidak ada penjelasan apapun lagi. Aku tidak pernah ingin membahasnya, karena aku takut melukai hati ayahku, terlebih hatiku. Karena melahirkanku, ibu meninggal. Aku fikir itu sudah cukup menyiksa ayah. Tapi tidak bagi ayah, ia selalu mengatakan bahwa kelahiranku adalah hadiah terindah untuknya. Bersamaku adalah hal yang luar biasa dan pengalaman yang tak pernah ia dapatkan dari siapapun. Cukup aneh untuk seorang suami yang kehilangan istrinya karena melahirkan anak mereka.

"Ne, Haruki-chan. Ibu pasti bahagia jika aku merawatmu dengan baik."

Begitu katanya yang selalu ku ingat.

Aku menuju dapur untuk membuat sarapan dan bekal makan siangku. Hari ini ayah pergi ke Suna untuk 'bertemu' ibu. Sudah beberapa hari lamanya, tapi ia bilang akan pulang sore ini atau besok pagi. Ayah belum pernah sekalipun mengajak aku pergi ke sana, ia bilang "Belum waktunya. Nanti akan ada waktu yang tepat untukmu pergi kesana". Baiklah, tidak ada perlawanan, karena aku adalah anak yang baik.

Bel rumahku berbunyi tepat ketika aku menyelesaikan sarapanku. Aku yakin itu Yano-chan dan Suzui-chan. Kami biasa berangkat ke sekolah bersama sejak SMP. Dan sudah dipastikan kami masuk SMA yang sama karena hanya ada satu sekolah TK, SD, SMP dan SMA di pulau ini. Dan tidak ada perubahan dengan teman yang kami miliki sejak kecil, karena yang bersekolah disini hanya anak-anak penghuni pulau.

"Haruki-chan, aitakatta yo" sapa Yano-chan dengan suara nyaring dan bersemangatnya.
"Aku bawakan oleh-oleh untukmu dari pulau Hoshi" ia menyodorkan hanbag.

"Ne, Yano-chan bagaimana kabarmu? Apa liburanmu menyenangkan?" tanyaku.

"Ya, Yano-chan ceritakan tentang anak laki-laki itu," sambung Suzui.

Raut wajah Yano berubah menjadi lesu, "Aku sebenarnya tidak berminat menceritakan ini kepada kalian. Tapi, bagaimanapun harus kuceritakan. Agar kalian paham kalau orang kota itu sangat menyebalkan. Terlebih mereka yang berasal dari kota besar seperti Konoha, Suna dan lainnya."

Keluarga Yano memiliki villa di pulau Hoshi yang biasanya disewa oleh orang-orang dari pulau besar untuk berlibur terlebih dimusim panas. Biasanya, saat libur Yano akan menjadi bagian dari tour guidenya.

"Tamuku kemarin adalah sekelompok anak laki-laki yang berasal dari Konoha dan mereka sangat menyebalkan. Aku bahkan sampai mencatat nama-nama dan alamat  mereka untuk jaga-jaga jika aku pergi ke Konoha aku tidak akan pergi kedaerah tempat mereka tinggal." ia mengatur nafasnya, "Pertama namanya Uzumaki Boruto, ia anak lelaki menyebalkan berambut kuning dan bermata biru. Aku fikir dia adalah ketua dari kelompok itu karena dia yang paling menyebalkan."

" Tunggu... " sela Suzui,"Uzumaki? Bukankah itu adalah nama walikota Konoha? Uzumaki Naruto?. Benarkah?"

"Aku fikir dia adalah walikota yang hebat, karena dibawah kepemimpinannya Konoha menjadi sangat maju dan berkembang. Apa kau yakin anak lelaki itu bernama Uzumaki? Kok aku gak yakin ya?"

"Ne, Suzui kau meragukanku ya?. Aku tidak mungkin salah dalam mendata tamuku, yang salah itu otak Uzumaki Boruto"

"Lalu bagaimana dengan yang lainnya?" tanyaku.

"Ah itu, ada Nara Shikadai. Dia terlihat pandai namun sangat pemalas dan cuek dengan sekitarnya. Lalu ada Shibaku no Shinki. Sebenarnya ia berasal dari Suna, tapi ia pindah karena mendapatkan beasiswa dari Konoha Internasional High School.."

"Tunggu, bukankah Haruki-chan pernah mendapatkan beasiswa ke sana juga?" tanya Suzui.

"Ne, tapi aku fikir Konoha itu terlalu jauh. Aku tidak bisa pergi jauh tanpa ayaku. Maksudku, aku tidak bisa meninggalkannya sendirian disini"

"Ah, ngomong-ngomong sudah beberapa hari ini dokter Rock Lee tidak praktek ya. Apakah dokter baik-baik saja?"

"Ah itu. Ayah sedang pergi ke Suna, berziarah ke makam ibuku dan membeli beberapa keperluan serta obat-obatan. Ayah bilang, selain Konoha, Suna juga maju dalam bidang kedokteran." jawabku.

Yano-chan berhenti, "Kau tidak ikut pergi?"

"Ayah bilang, ini bukan waktunya."

"Tapi tahun lalu juga bukan waktunya kan?" tanya Yano dengan dahi yang berkerut. Aku menggeleng pelan.

"Lalu kapan waktunya?"

Aku menggeleng lagi, aku juga tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk pergi ke makam ibu. Meskipun aku ingin, meskipun aku merajuk, meskipun aku kabur dari pulau ini. Saat ayah mengatakan bukan waktu yang tepat, itu adalah hal yang mutlak. Aku hanya bisa menunggu kapan waktu yang tepat agar bisa 'bertemu' ibu. Meskipun itu lama, meskipun itu sulit, meskipun diakhir nyawaku, aku akan tetap menantinya.

Tanpa sadar pembicaraan kami tentang anak-anak Konoha yang menyebalkan menurut Yani menjadi tema yang menarik untuk dibahas sampai-sampai kami tidak sadar jika sudah sampai di Sekolah.


>>Didalam Hati<<

Saat aku tiba dirumah sepulang sekolah, aku mendapati ayah yang sedang meringkuk disofa yang terletak diruang tengah. Aku bergegas menghampirinya dan mengecek suhu tubuhnya. Panas. Ayah terkena demam.

Aku berlari menuju klinik milik ayah yang berada disamping rumah untuk mencari paracetamol. Selalu seperti ini, setiap ia pulang dari tempat ibu ia akan pulang dengan keadaan seperti ini. Mengigil, meracau sambil mengatakan, "Maafkan aku.. Maafkan aku.." entah apa yang terjadi, tapi ini selalu menggangguku.

Sudah beberapa kali aku katakan padanya untuk tidak pergi, tapi ia selalu ingin pergi meski tahu akan pulang dengan keadaan begini.

Keadaan ayah sudah lebih baik saat ku buatkan bubur, menyuapinya dan memberikannya obat. Aku menyelimuti ayah agar tidak kedinginan, aku juga menempatkan handuk dingin didahinya untuk menurunkan suhu tubuhnya. Aku menemani ayah tidur disofa pada malam harinya. Dan aku bersyukur demamnya sudah turun.

Didalam HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang