Sarada

5.3K 243 4
                                    

Namaku Haruno Sarada, aku setengah sadar saat banyak suster dan dokter bergegas masuk keruangan rawat ibuku. Suara sepatu mereka terdengar sangat kencang dan tergesa. Nenekku mendekap tubuhku yang kubaringkan dipangkuannya dengan sangat erat, saat aku meronta ia tidak perduli. Dari sebelah mataku yang bebas, karena yang satunya tertutup oleh tubuh nenekku, kulihat kakek seperti menempelkan tubuhnya pada jendela ruang rawat ibuku. Ada sesuatu yang berdesir dari dada menuju perutku, bahkan perutku terasa sedang ditonjok dengan keras-aku tidak suka perasaan ini. Sesuatu yang gawat sedang terjadi.
.

.

Malam itu, saat empat suster dan dua dokter yang tergesa menuju ruang rawat ibuku, aku tahu ada sesuatu yang salah dengan ibuku. Aku menatap petinya tanpa berkedip. Perlahan-lahan peti mati yang diukir indah itu dimasukan kedalam sebuah lubang besar, lebih besar sedikit dari peti milik mama. Nenek dan kakekku menyentuh pundakku, tak lama nenek merosot jatuh dan tak sadarkan diri. Aku hanya terus disana, diposisi yang sama sambil menatap benda yang sama-peti mati mama.

Perlahan tanah dijatuhkan keatas peti mati itu, lama-lama peti itu sudah tertutupi sempurna oleh tanah. Tidak ada lagi bagian dari peti mati yang terlihat. Aku masih diam ditempat yang sama, disisi makam mama. Nenek yang pingsan tadi entah dibawa kemana, kakek ku juga entah dimana mungkin sedang menemani nenek. Pendeta mulai membacakan doa untuk mama saat proses pemakaman selesai, dan aku masih diam ditempatku sejak awal.

Seseorang menyentuh pundakku dengan lembut, " Kau adalah gadis yang kuat seperti ibumu." Bisiknya. Dari suaranya aku tahu jika ia adalah bibi Matsuri, sahabat ibuku sejak kecil.

Paman Gaara lalu menghampiriku, ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi tubuhnya denganku, " Kau tahu, kau tak perlu khawatir merasa sendirian. Ibumu selalu bersamamu, ia ada disini. Dihatimu." Katanya sambil menunjuk dadany.

Satu persatu pelayat pergi meninggalkan makam mama dan aku masih diam ditempat yang sama sejak awal. Nenek dan kakek, entah sejak kapan mereka sudah ada disampingku.

" Kau masih terus ingin disini sayang, ?" Tanya kakek. Dan aku hanya menggeleng.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya pelan, " Kalian pasti lelah. Kita harus pulang."
.

.

Aku Haruno Sarada, usiaku 10 tahun. Seminggu yang lalu ibuku baru saja meninggal, kanker darah penyebabnya.

Ini hari minggu, hari libur sekolah. Aku bangun pagi meski ini hari libur, karena mama sangat disiplin dan mengajarkan kedisplinan padaku, jadi libur atau tidak bangun pagi dan merapihkan kamar sendiri adalah hal yang wajib aku lakukan.

Aku keluar kamar setelah selesai merapikan kamar dan mandi, ini waktunya sarapan. Nenek dan kakek akan marah jika aku terlambat datang untuk sarapan. Disiplin. Bagi keluargaku kata itu adalah kata ajaib. Disiplin dalah menjalani hidup, sekolah dan lain sebagainya.

" Selamat pagi Sarada-chan, " sapa ayame saat aku baru tiba dimeja makan. Ayame adalah pekerja rumah tangga keluarga kami.

" Pagi Ayame, "

Aku menicum kakek dan nenek yang sudah ada dimeja makan, menyapanya dan duduk dikursiku. Nenek masih terlihat sendu, kakek sepertinya sama saja.

Acara sarapan pagi ini tenang, lebih tenang dari biasanya. Tetapi suasananya dingin, aku tidak nafsu untuk makan apapun, atau minum apapun karena rasa sedih akibat kehilangan melenyapkan selera untuk makan dan untuk hidup. Tapi, perutku menuntut untuk diisi, akhirnya aku berdamai dengannya lalu mengam bil potongan roti bakar dan memakannya. Hambar. Lalu aku meminum susu. Hambar. Selera makanku makin hilang dan perutku makin meronta kelaparan. Aku tak perduli, keinginan berdamai dengan perutku pun sudah hilang.

" Aku sudah selesai, bolehkah aku pergi. " pintaku. Begituhlah kebiasaan dikeluarga kami, jika kau selesai makan dan ingin pergi, kau harus memintanya.

Nenek sepertinya baru kembali ke alamnya setelah entah kemana ia menghilang, ia lalu melihat piringku ada roti bakar dengan satu gigitan disana. " Kau akan pergi?, bahkan kau belum menghabiskan sarapanmu sayang, " katanya.

Aku hanya menunduk dalam, laluenggerutu dalam hati. Ia saja tidak menyentuh sarapannya.

" Pergilah, " izin kakek.

Nenek hendak memprotes tapi ia batalkan setelah kakek menggenggam tangannya. Aku lalu bangkit dan memberikan salam pada mereka.

Niatku pergi kekamar dan menyibukan diriku sendiri dengan berbagai hal. Namun ku urungkan niatku setelah melihat pintu kamar mama terbuka. Ayame sedang membersihkan kamar mama. Aku masuk kedalam, dan tersentak saat mencium aroma parfume mama. Dipelupuk mataku, aku melihat mama sedang memangkuku dan membacakan buku cerita sambil mengelus puncak kepalaku- kenangan saat usiaku 6 tahun. Perutku terasa sakit, seperti ada yang menonjoknya.

" Sarada-chan, " Ayame menyentuh pundakku dan aku tersadar.

Aku mengelus dadaku, " Aku ingin disini sebentar, bisakah kau meninggalkanku sendiri?," pintaku pada Ayame, ia hanya mengangguk dan berlalu pergi.

Aku duduk ditepi ranjang mama yang berukuran Queen size mengelus spreinya. Lalu menjatukan tubuhku, menatap langit-langit kamarnya dan tanpa kusadari air mataku tumpah.

" Kau adalah harta mama yang paling berharga. "

Didalam HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang